Dugaan Arsen tidak meleset sama sekali bahwa Juragan Iwan pasti menemuinya hari ini. Ya, pria paruh baya itu pasti tidak akan tinggal diam setelah tahu orang yang membawa kabur calon istrinya.
“Apa kata orang suruhan kita yang mengawasi Juragan Iwan dan anak buahnya?” tanya Arsen pada Hedy.
“Mereka sudah menuju ke sini sejak beberapa menit yang lalu, Tuan.”
“Wow, menurutmu Juragan Iwan pasti mencari tahu tentang saya, bukan?”
“Sudah pasti, Tuan. Hanya saja dia tetap datang. Itu artinya dia tidak takut terhadap Tuan.”
“Tentu saja tidak takut. Dia tidak tahu saja kalau saya mengetahui kartu matinya. Kalau tahu, dia pasti tidak akan berkutik seperti Bruno,” ucap Arsen.
“Benar, Tuan.”
“Setelah urusan dengan Juragan Iwan beres, apa yang Tuan rencanakan selanjutnya?”
“Ayolah, kamu pasti tahu. Bagaimana mungkin kamu mengajukan pertanyaan retorik seperti itu?”
“Tuan akan menikahi Fadia?”
“Ya. Itu tahu jawabannya.”
“Saya tahu Tuan mencintainya sejak lama, tapi apa Tuan yakin akan langsung menikahinya? Lalu bagaimana dengan Revana?”
“Jangan sebut nama perempuan itu lagi. Saya hanya akan fokus pada Fadia. Titik.”
“Baik, Tuan. Maaf saya tidak punya maksud untuk menyinggung Tuan,” balas Hedy.
Belum sempat Arsen menjawab, tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk lalu tak lama kemudian pintu dibuka dari luar.
“Maaf Pak Arsen, ada yang mencari Anda,” ucap seorang wanita yang baru saja membuka pintu.
Tanpa menanyakan siapa yang mencarinya, Arsen langsung berkata, “Suruh dia masuk ke ruangan saya.”
“Baik, Tuan. Akan saya laksanakan.”
Tak lama kemudian wanita itu pamit undur diri dan tidak sampai lima menit, ia kembali bersama seorang pria paruh baya yang Arsen yakini adalah Juragan Iwan.
Setelah mempersilakan Juragan Iwan masuk dan duduk, Hedy tentu mengerti untuk membiarkan dua pria itu berbicara empat mata sehingga ia segera pamit undur diri.
“Melihat orang sepenting dirimu bisa sangat mudah ditemui, membuat saya yakin kamu sudah tahu siapa saya dan tujuan saya datang ke sini,” ucap Juragan Iwan. “Atau jangan-jangan kamu juga sudah tahu kalau saya akan datang ke sini?”
“Bagaimana mungkin saya tidak mengenal Anda, Juragan?”
“Baiklah, ternyata benar kamu sudah mengenal saya,” balas Juragan Iwan. “Sekarang tunggu apa lagi? Kembalikan calon istri saya yang kamu bawa lari.”
“Calon istri Anda?” Arsen berpura-pura polos.
“Fadia. Berani sekali kamu membawanya pergi pada hari yang seharusnya menjadi hari bahagia kami berdua.”
“Saya tidak salah dengar, kan, Juragan? Bagaimana bisa itu menjadi hari bahagia Fadia kalau dia saja tidak ingin dinikahkan dengan Anda.”
“Itu bukan urusanmu. Asal kamu tahu, saya sudah membayar mahal untuk mendapatkannya.”
“Jika ingin adu nasib, saya juga membayar mahal untuk membantunya kabur,” kata Arsen santai.
“Bukannya meminta maaf lalu mengembalikannya, kamu malah semakin lancang begini.”
“Saya tidak akan mengembalikan Fadia, karena dia adalah calon istri saya,” tegas Arsen. “Ya, saya adalah calon suami Fadia sebenarnya. Kami akan menikah dalam waktu dekat dan tidak ada istilah paksaan seperti yang pernah Anda lakukan.”
“Berhenti mengada-ada! Fadia adalah calon istri saya.” Sepertinya kesabaran Juragan Iwan semakin terkikis. “Jadi, jangan banyak omong dan katakan di mana Fadia sekarang!”
“Kalau saya menyebutkan di mana Fadia berada, apa yang akan Anda lakukan?”
Juragan Iwan berusaha tenang. Ia tidak tahu apa yang Arsen miliki sehingga tidak ada takut-takutnya sama sekali. “Seharusnya saya mengubah kalimatnya. Baiklah saya ulangi … apa yang kamu inginkan? Sebutkan berapa nominal yang kamu mau, sebagai jumlah yang layak untuk menebus Fadia darimu.”
“Tunggu, menebus? Anda berbicara seolah saya menculiknya dan Anda juga mengharapkan saya bisa mengembalikannya jika sudah membayar sejumlah yang saya mau.”
“Faktanya kamu memang menculik pengantin saya.”
Juragan Iwan menambahkan, “Tuan Arsen, saya tahu kamu kaya … tapi jangan pernah bermain-main dengan calon pengantin orang lain.”
Arsen mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Kalau begitu, anggap benar bahwa saya menculiknya. Anda juga sangat ingin saya menyebutkan apa yang saya inginkan sebagai tebusan.”
“Ya, katakan saja. Apa pun akan saya penuhi agar bisa mendapatkan calon istri saya lagi,” balas Juragan Iwan. “Saya yakin orang sepertimu mustahil menikah dengan Fadia yang bukan siapa-siapa. Bukankah anak konglomerat seharusnya menikah dengan yang sepadan? Sedangkan Fadia sangat jauh dari kriteria gadis yang layak kamu nikahi. Untuk itu berhentilah bermain-main dan kembalikan Fadia pada saya yang akan memberinya kehidupan lebih baik.”
Sungguh, Arsen tidak menyangka pikiran Juragan Iwan cukup dangkal. Padahal Arsen bukan orang kurang kerjaan yang akan bermain-main seperti yang Juragan Iwan katakan barusan.
Lagi pula … mana mungkin yang Arsen lakukan hanyalah main-main sedangkan ia telah melakukan segala hal yang nyaris mustahil dilakukan seorang pria jika tidak serius. Ya, upaya yang Arsen lakukan sudah sejauh ini yang bukan sekadar berkorban waktu dan uang, melainkan lebih dari itu.
Hanya saja, Arsen merasa tidak perlu menjelaskan seberapa serius cintanya pada Fadia yang tanpa ragu bisa menembus batas-batas seperti tingkat kekayaan, status sosial dan bahkan segalanya. Biarlah Juragan Iwan meyakini pemikiran dangkalnya tersebut. Arsen tak peduli.
“Maaf Juragan Iwan, saya sudah memikirkan soal tebusan yang Anda tawarkan agar saya bersedia mengembalikan Fadia pada Anda, tapi saya ragu apakah Anda bisa membayar penuh atau tidak.”
“Kamu meragukan betapa besar kekayaan yang saya punya? Dan tentunya hasil usaha saya sendiri, bukan mengandalkan kekayaan dari orangtua seperti yang kamu lakukan sehingga bisa sukses seperti sekarang.”
Arsen tertawa ringan, tidak habis pikir bagaimana mungkin Juragan Iwan masih sempat-sempatnya berusaha mengejeknya. Juragan Iwan pikir Arsen akan tersulut emosinya? Tidak sama sekali.
“Tebusan yang saya inginkan adalah … seluruh harta yang Anda punya, Juragan Iwan. Bahkan, sebenarnya itu masih kurang karena Fadia jauh lebih berharga dari segalanya. Jadi, bisa dipastikan Anda tidak akan sanggup menebusnya. Dalam kata lain, saya tidak akan mengembalikan Fadia yang bahkan sejak awal memang bukanlah milik Anda.”
“Apa kamu bilang?” Juragan Iwan mengepalkan tangannya.
“Anda mustahil bisa menebus Fadia dari saya, Juragan,” jawab Arsen santai. “Jadi, anggap saja Fadia akan menjadi tawanan saya selamanya. Tawanan yang tidak bisa Anda raih sampai kapan pun karena Anda gagal menebusnya,” lanjutnya.
Wajah Juragan Iwan mulai memerah. Amarahnya sudah siap untuk meluap. Pria paruh baya itu berkata, “Sepertinya kamu memang mencari masalah dengan saya! Padahal saya sudah berusaha baik-baik, tapi bisa-bisanya kamu menganggap remeh saya. Siap-siap saja….”
“Siap-siap apa?” potong Arsen. “Haruskah saya siap-siap melaporkan berbagai bisnis kotor yang membuat Anda kaya raya, Juragan?” tantangnya.
“Maksud kamu apa?” tanya Juragan Iwan cepat.
“Padahal saya pikir bisnis Bruno itu sudah sangat kotor, ternyata ada yang jauh lebih profesional darinya yaitu Anda, Juragan. Bisnis Anda bahkan jauh lebih besar dari yang Bruno lakukan.”
“Jaga ucapanmu.”
“Bandar judi online sekaligus obat-obatan terlarang, penipuan investasi, tergabung dalam sindikat jual-beli organ ilegal dan yang terbaru … usaha laundry Anda luar biasa sekali ya, Juragan. Bukan pakaian yang Anda cuci, melainkan uang,” kekeh Arsen.
Juragan Iwan terdiam, merasa tertangkap basah.
“Bagaimana mungkin Anda menjalani semua bisnis itu tanpa rasa takut? Bukan satu atau dua, tapi semua bisnis Anda kotor. Bahkan panti pijat di sekitar kediaman Anda itu terbilang sepi, kenapa pendapatan per bulannya sangat fantastis? Apa boleh se-jelas ini?”
“Sebenarnya kamu siapa sampai menyelidiki saya melebihi detektif? Terlebih berbicara selayaknya paling suci.”
“Saya hanyalah pria yang merasa marah saat wanita yang saya cintai diusik kenyamanannya oleh Anda, Juragan,” tegas Arsen. “Untuk itu, saya tidak akan ragu membuat hidup Anda berantakan jika masih terobsesi menikahi calon istri saya.”
Juragan Iwan merasa marah, sayangnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak menyangka Arsen itu cukup lihai menemukan kelemahannya. Apalagi tatapan Arsen seolah menunjukkan kalau pria itu siap melakukan apa pun tanpa rasa takut, membuat Juragan Iwan tak bisa berkutik lagi.
“Sejujurnya saya tidak terima kamu menjatuhkan harga diri saya seperti ini. Kamu cukup licik yang sampai membawa-bawa bisnis untuk mengancam saya. Sialnya, harus saya akui kalau saya merasa terancam. Untuk itu, mari akhiri urusan kita sampai di sini.”
“Anda menyerah, Juragan?” kekeh Arsen.
“Saya bukan orang yang bersedia kehilangan segalanya hanya demi mendapatkan satu perempuan. Saya bisa menemukan perempuan lain karena masih banyak yang mengantre untuk menjadi istri ke empat saya.”
Arsen tersenyum. “Anda cukup bijaksana, Juragan. Sungguh menyerah adalah pilihan yang tepat.”
Arsen melanjutkan, “Ingat, jika Anda masih macam-macam, saya tidak akan ragu untuk mengacaukan bisnis Anda bahkan hidup Anda.”
Meskipun kesal lantaran gagal memiliki Fadia, tapi Juragan Iwan tidak mau bertindak gegabah. Bukankah memang kenyataannya di luar sana masih banyak yang mengantre untuk menjadi istri ke empatnya? Untuk itu, ia akan berusaha melupakan ini karena Arsen jauh lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkannya.
“Saya tidak akan mengusik hidup Fadia lagi, tentunya kamu juga jangan pernah mengusik segala yang berkaitan dengan saya. Entah itu bisnis maupun kehidupan pribadi saya.”
Arsen bersorak gembira. “Saya suka ini. Padahal saya pikir Anda akan bebal demi harga diri, tapi ternyata Anda membuat urusan kita menjadi cepat selesai.” Pria itu kemudian mengulurkan tangannya, mengajak Juragan Iwan bersalaman. “Sepakat ya, kita tidak akan mengusik satu sama lain.”
Juragan Iwan tanpa ragu membalas uluran tangan Arsen. “Ya, sepakat.”
***
Fadia menunggu Arsen pulang sambil berharap-harap cemas. Ia berharap pertemuan Arsen dengan Juragan Iwan berjalan lancar dan jangan sampai hal buruk terjadi pada pria itu.
Sampai kemudian, Arsen pulang dan membuat Fadia segera berlari menghampiri calon suaminya itu.
Melihat Fadia menyambutnya, tentu Arsen tersenyum bahagia. “Inikah rasanya punya seseorang yang menunggu di rumah? Pulang kerja terasa lebih menyenangkan kalau disambut begini.”
“Gimana pertemuan dengan Juragan Iwannya, Mas?” Fadia benar-benar tidak sabar sehingga langsung menanyakannya tanpa basa-basi.
“Sejak awal saya sudah bilang agar kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, bukan?”
“Berarti beres?” tanya Fadia memastikan.
“Tentu saja. Juragan Iwan sudah setuju untuk tidak mengusik hidupmu lagi. Dia tidak akan menikahimu.”
Fadia terlihat lega. “Syukurlah, berarti aku bisa lebih bebas sekarang. Aku bukan buronan lagi. Tapi aku masih penasaran, bagaimana cara membuat Juragan Iwan seperti itu?”
“Saat memegang kartu mati musuh, jika memanfaatkannya dengan benar … pasti kita menjadi pemenangnya. Kamu mengerti maksud saya, bukan?” tanya Arsen. “Jadi intinya kamu adalah tawanan saya dari Juragan Iwan yang tidak bisa dia tebus sampai kapan pun.”
Fadia tersenyum. “Aku nggak bisa membayangkan hidupku kalau nggak bertemu Mas Arsen.”
“Kamu terharu?”
Fadia mengangguk. “Ya iyalah. Semuanya jadi terasa mudah di tangan Mas Arsen. Bahkan sesuatu yang mustahil sekalipun.”
“Kalau begitu, mari menikah secepatnya,” balas Arsen.
Fadia kembali mengangguk.
“Sekarang, mari siap-siap.”
Fadia terkejut. “Kita nikah sekarang?”
Arsen tertawa. “Bukan, saya perlu membawamu makan malam di rumah orangtua saya dulu. Sebelum menikah, tentu saya harus mengenalkanmu pada mereka, bukan?”
Tunggu, makan malam di rumah orangtua Arsen? Kenapa Fadia jadi deg-degan? Lebih deg-degan dari saat mengetahui Arsen hendak bertemu Juragan Iwan.
“Ayo siap-siap, Fadia. Kita berangkat ke sananya sore ini,” pungkas Arsen.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.