Awalnya Fadia memang belum terbiasa dengan situasi baru yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia yang selama dua tahun ini memutuskan menjauh dari semua orang yang dikenalnya dan memilih tinggal di desa, tiba-tiba hidupnya mendadak berubah total saat Bruno menemukannya dan membawanya kembali ke kota untuk dinikahkan dengan saudagar kaya.
Tak hanya itu, kehadiran Arsen yang seakan menjadi malaikat penolongnya, membuat Fadia mengetahui bagaimana perasaan pria itu sebenarnya. Sungguh, Fadia baru tahu kalau Arsen benar-benar mencintainya. Padahal dua tahun lalu, Fadia pikir urusan mereka tidak lebih dari nafsu dan uang.
Nyatanya, perasaan Arsen bukan sekadar nafsu, melainkan cinta. Cinta yang tak pernah Fadia bayangkan akan ia dapatkan dari seorang pria.
Sebetulnya usia mereka terpaut lumayan jauh, tapi tak bisa dimungkiri kalau Fadia merasa nyaman bersama Arsen. Dua tahun yang lalu pun sama. Arsen adalah satu-satunya pria yang berani Fadia dekati walaupun demi uang.
Sekarang Fadia merasa tidak punya alasan untuk meragukan perasaan tulus pria itu. Fadia tak bisa menutup mata atas berbagai upaya yang Arsen lakukan untuk bersamanya. Itu sebabnya meski awalnya menolak, pada akhirnya Fadia bersedia menikah pria itu.
Tidak butuh waktu lama untuk mempertimbangkannya. Fadia berjanji akan mulai belajar membalas perasaan Arsen dengan cara menjadi istri pria itu.
Selain itu, Fadia menyadari di posisinya sekarang ia butuh seseorang yang bisa melindunginya dari orang-orang seperti paman dan bibinya. Tentu Arsen sangat bisa melakukan itu. Fadia percaya Arsen juga mampu mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Katanya, takdir itu datang tanpa diduga-duga. Jika ternyata Arsen sungguh takdirnya, Fadia akan menerimanya dengan perasaan terbuka.
Di luar sana, belum tentu ada paket lengkap seperti Arsen. Mencintainya dengan tulus, rela melakukan apa saja, dewasa, tampan dengan fisik yang sempurna dan tentunya kaya. Memangnya ada alasan untuk menolak Arsen? Fadia rasa tidak ada.
Saat ini Fadia sedang duduk di ruang makan sambil memandangi Arsen yang sedang sibuk memasak untuk sarapan mereka. Ya, setelah semalam pria itu membuatkan mi untuk Fadia, pagi ini pria itu juga menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
Fadia sedari tadi duduk sambil memperhatikan punggung Arsen. Tangan pria itu dengan lihai mengolah bahan-bahan masakan dan seolah menyulapnya menjadi hidangan yang lezat.
“Sampai kapan kamu memperhatikan saya seperti itu?”
“Yah, aku kepergok,” jawab Fadia.
“Daripada hanya memandang, lebih baik kamu ke sini dan mulai membantu saya.”
“Membantu? Tadi katanya aku hanya perlu duduk.”
“Membantu di sini bukan dalam artian membantu memasak,” jelas Arsen.
Fadia mengernyit. “Lalu?”
“Misalnya memeluk saya dari belakang,” jawab Arsen. “Dipandangi seperti itu saja sudah membuat saya bahagia, apalagi dipeluk dari belakang,” sambungnya.
“Mas Arsen ini bisa saja.”
“Saya tidak keberatan kalau kapan-kapan kamu mempraktikkan apa yang saya katakan barusan. Memeluk dari belakang,” tegasnya.
Fadia tersenyum. “Baiklah, baiklah.”
“Selesai.” Arsen lalu membawa piring-piring yang sudah terisi hidangan ke meja makan. Menyusunnya dengan rapi tepat di hadapan Fadia.
“Wow, Mas Arsen memang bisa memasak, ya?” tanya Fadia saat melihat masakan-masakan yang baru saja Arsen sajikan di meja.
“Ada yang bilang kalau saya ini serba bisa.”
“Siapa yang bilang?”
“Ada pokoknya,” jawab Arsen. “Saya pikir itu benar karena saya memang bisa melakukan apa pun selagi saya punya keinginan yang kuat. Sampai kemudian dua tahun ini saya menyadari saya tidak seratus persen serba bisa, karena saya tidak bisa melupakanmu.”
Arsen kembali berbicara, “Dengan kemampuan serba bisa yang tersisa … saya akhirnya melakukan apa aja agar bisa menemukanmu. Setelah menemukanmu pun saya tidak butuh berpikir berkali-kali untuk membawamu kabur di hari pernikahanmu.”
“Terima kasih udah mengatakannya, Mas. Makasih banget buat segala upaya yang Mas Arsen lakukan agar bisa bersamaku. Jujur, aku merasa beruntung. Padahal aku hanya perempuan biasa yang nggak ada spesial-spesialnya, tapi Mas Arsen memperlakukan aku begitu luar biasa.”
“Kamu spesial di hati dan hidup saya. Camkan itu,” tegas Arsen.
“Ya ya ya. Harus aku akui juga kalau Mas Arsen juga spesial di hatiku,” balas Fadia.
Arsen tersenyum. Betapa menyenangkan mendengar kalimat yang Fadia ucapkan barusan.
“Gimana kalau kita mulai sarapannya sekarang?”
“Boleh,” jawab Fadia.
Mereka pun mulai menyantap hidangan bersama-sama.
“Bagaimana rasanya?”
“Enak, kok.”
“Jelas enak karena saya memasaknya dengan penuh perasaan cinta.”
Fadia tertawa. “Mas Arsen bisa aja.” Lalu kembali menyantap makanannya.
“Ngomong-ngomong, setelah interaksi kita dari semalam hingga pagi ini, saya percaya kamu tidak sedang berbohong.”
“Aku memang nggak bohong,” kata Fadia.
“Ya, saya percaya itu. Makanya saya akan pergi tanpa mengikatmu lagi. Jadi, kamu bisa dengan bebas melakukan apa saja di apartemen ini dengan catatan … jangan keluar. Untuk sekarang sebaiknya kamu menghindari bertemu orang lain dulu.”
“Mas Arsen mau ke mana?” tanya Fadia kemudian.
“Sebenarnya saya sudah memutuskan untuk tidak mengurusi pekerjaan setidaknya satu pekan ke depan. Hanya saja, ada seseorang yang harus saya temui hari ini. Jadi terpaksa saya harus meninggalkanmu sendiri di sini,” jelas Arsen. “Tapi tenang saja, sepulang dari kantor hari ini … saya hanya akan fokus bersamamu. Fokus untuk kita.”
“Memangnya siapa yang ingin Mas Arsen temui?” Fadia jadi penasaran.
“Juragan Iwan.”
Tunggu, apa-apaan ini? Untungnya Fadia tidak tersedak saking terkejutnya.
“Apa? Mas Arsen mau bertemu Juragan Iwan?”
“Ya, lebih tepatnya dia ingin bertemu dengan saya. Walaupun tidak membuat janji, tapi saya yakin hari ini dia akan mendatangi kantor saya,” jelas Arsen.
Fadia semakin terkejut, apalagi Arsen menjelaskannya dengan begitu santai.
“Jadi Juragan Iwan tahu kalau aku sama Mas Arsen?”
“Bukan hanya Juragan Iwan, tapi pamanmu juga tahu.”
“Kok bisa? Bukannya Mas Arsen sudah menyusun rencana ini dengan sangat rapi. Bagaimana bisa ketahuan?” Fadia mulai panik.
“Fadia, santailah.”
“Mana bisa santai, Mas?”
“Tenang dulu,” kata Arsen lagi. “Asal kamu tahu, saya memang sengaja membuat mereka tahu.”
“Tapi untuk apa? Percuma sembunyi dong kalau begini.”
“Mereka tidak akan berhenti mencarimu kalau saya tidak langsung memberikan alasan agar mereka berhenti mengusikmu lagi.”
Fadia berusaha mencerna perkataan Arsen.
“Kamu tidak ingin selamanya menjadi buronan mereka, bukan? Jadi, saya akan membuat mereka berhenti mencarimu apalagi mengganggu hidupmu. Percayalah … setelah ini hidupmu menjadi lebih tenang tanpa perlu menjadi buronan mereka lagi. Kamu bisa menjalani hari-hari ke depannya tanpa rasa khawatir karena mereka tidak akan berani mendekat padamu.”
“Ta-tapi bagaimana caranya?”
“Itu urusan saya. Kamu hanya perlu tidak ke mana-mana dan tetaplah di apartemen ini,” jawab Arsen.
“Mas Arsen yakin bisa membuat paman dan Juragan Iwan berhenti? Aku pikir ini bukan sesuatu yang mudah.”
“Itu menurutmu, nyatanya sesuatu yang mustahil seperti membawamu kabur dari penjagaan ketat saja bisa saya lakukan, apalagi menghadapi mereka berdua. Itu tidak sulit,” balas Arsen. “Hmm, saya belum memberi tahu kamu, ya? Sebenarnya untuk pamanmu … sudah saya atasi.”
“Maksud Mas Arsen?”
“Semalam alasan saya mengikatmu adalah … karena saya harus pergi menemui Bruno yang dengan penuh percaya diri mengajak saya bertemu dan meminta agar saya mengembalikan kamu padanya. Ya, dengan wajah babak belurnya, dia meminta agar saya mengembalikanmu padanya.”
“Terus gimana?”
“Saya punya kartu mati yang membuatnya tidak bisa berkutik. Jadi, soal pamanmu … kamu tidak perlu mencemaskan apa pun lagi. Dia bahkan sudah menandatangani kesepakatan untuk tidak mengganggumu lagi.”
“Mas Arsen serius?”
“Kamu mengira saya bercanda?”
Fadia terdiam. Masih tidak menyangka kalau Arsen sungguh telah menjelma menjadi malaikat penolongnya.
“Mas Arsen….”
“Kalau mau berterima kasih … habiskan makanan ini dengan lahap,” kata Arsen yang sudah tahu kalau Fadia pasti akan berterima kasih.
“Bagaimana mungkin ada pria sebaik Mas Arsen? Aku hampir nggak pernah menduga bisa bertemu pria seperti Mas Arsen. Ini bukan mimpi, kan, Mas?”
“Mau saya cium? Untuk membuktikan kalau ini bukan mimpi.”
“Omes-nya konsisten banget,” canda Fadia. “Tapi serius … aku beruntung bisa bertemu Mas Arsen.”
“Sebut saja takdir. Kita kembali dipertemukan setelah dua tahun berpisah. Dan saya pastikan tidak akan pernah melepaskanmu lagi. Saya tidak akan membiarkanmu pergi dari hidup saya.”
Fadia tersenyum. Arsen juga. Selama beberapa saat mereka kembali melanjutkan sarapan. Sampai kemudian piring mereka sudah sama-sama kosong.
“Mas Arsen,” panggil Fadia saat Arsen mulai menumpuk piring-piring kotor di meja makan.
“Ya?”
“Biar aku aja.”
“Untuk sekarang biarkan saya saja. Bukankah kita akan tinggal bersama? Jadi bisa saling bergantian melakukan ini,” jawab Arsen.
“Setidaknya biarkan aku membantu sedikit,” kata Fadia sambil membawa gelas ke bak cuci piring. Ia mengikuti Arsen yang ternyata sudah mulai menyalakan keran.
“Memangnya Mas Arsen biasa melakukan ini sendiri?” tanyanya kemudian sambil menatap tumpukan cucian piring beserta alat-alat masak yang tadi Arsen gunakan.
“Memangnya siapa lagi kalau bukan saya sendiri? Saya itu tidak nyaman ada orang lain masuk ke ruang pribadi saya,” jawab Arsen sambil mencuci piring. “Bagi saya seluruh ruang di apartemen ini sangat pribadi dan tidak bisa dimasuki sembarang orang termasuk ART. Jadi, saya lebih suka melakukan semua ini sendiri,” jelasnya kemudian.
Pria ini sungguh luar biasa….
“Mas Arsen,” panggil Fadia lagi.
“Hmm?” balas Arsen sambil fokus mengalirkan air ke piring yang penuh busa sabun sehingga menjadi bersih dan kesat.
“Soal Paman Bruno, aku bersyukur udah beres. Aku tahu seharusnya nggak meragukan Mas Arsen, tapi aku pikir Juragan Iwan itu akan lebih sulit dihadapi daripada Paman Bruno. Dia bukan orang sembarangan.”
“Saya juga bukan orang sembarangan. Jadi, usirlah rasa cemasmu, oke?”
“Ba-baiklah. Semoga semuanya berjalan lancar ya, Mas.”
Meskipun Arsen meminta Fadia agar jangan cemas, tapi hati tak bisa dibohongi kalau Fadia sungguh merasa cemas. Tunggu, apa Fadia sungguh mengkhawatirkan Arsen?
“Semua akan baik-baik saja, Fadia.”
Padahal Arsen yang mau bertemu Juragan Iwan, bisa-bisanya Fadia yang deg-degan tak menentu.
Bagaimana jika hal buruk terjadi?
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.