Fadia terbangun dari tidur nyenyaknya karena merasa tidak nyaman pada tangan dan kakinya. Ia merasa aneh, kenapa posisi tidurnya tidak bisa leluasa? Benar saja, saat membuka mata wanita itu terkejut saat mendapati tangan dan kakinya dalam keadaan terikat.
Fadia tiba-tiba merasa dejavu. Ia pernah merasakan seperti ini sebelumnya, tepatnya sehari sebelum rencana pernikahan yang paman dan bibinya susun berlangsung. Sampai kemudian Fadia tersadar kalau dirinya berada di kamar apartemen Arsen, bukan di kamar pengantin di rumah milik Juragan Iwan seperti kemarin.
Seketika Fadia merasa lega karena dirinya kini berada di tempat yang aman.
Tunggu … benarkah aman? Masalahnya adalah kenapa Arsen mengikatnya seperti ini?
Seingat Fadia, sebelum dirinya tidur Arsen mengatakan kalau pria itu akan tidur di sofa. Namun, kini Fadia mendapati sofa yang kosong dan tidak ada Arsen di situ. Padahal jam yang terpajang di dinding di hadapan Fadia menunjukkan pukul satu malam.
Pria itu selalu berbuat seenaknya sendiri!
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Seketika Fadia tahu rupanya Arsen berada di sana.
“Tolong lepaskan ikatan ini, Mas!” ucap Fadia setengah berteriak.
Arsen yang semula hendak mengambil ponselnya yang diletakkan sembarangan di sofa, mengurungkan niat untuk mengambilnya. Ia lebih memilih menghampiri Fadia.
“Astaga. Kamu pasti tidak nyaman dengan ikatan ini. Maaf saya belum sempat membukanya,” ucap Arsen yang sebetulnya tanpa rasa bersalah.
“Kenapa Mas Arsen mengikatku seperti ini?”
“Maaf tadi saya keluar sebentar, tapi saya khawatir kamu kabur lagi. Itu sebabnya saya terpaksa mengikatmu," jelas Arsen.
“Ya ampun, padahal ini bisa dibicarakan baik-baik. Lagian bisa-bisanya Mas Arsen berpikir aku bakalan kabur di saat-saat begini,” balas Fadia. “Mas Arsen tahu sendiri aku sudah seperti buronan. Aku kabur di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahanku. Jadi mana mungkin aku pergi dari tempat yang menurutku paling aman ini?”
“Sekali lagi maaf Fadia, saya hanya belajar dari pengalaman dua tahun lalu. Saya tidak mau kehilanganmu lagi.”
Melihat tatapan Arsen membuat Fadia salah tingkah sendiri. Ia lalu meminta Arsen agar segera melepaskan ikatannya.
“Aku nggak akan kabur, Mas. Untuk itu tunggu apa lagi? Tolong lepaskan ikatan pada tangan dan kakiku.”
“Apa jaminannya kalau kamu tidak akan kabur?” Arsen berkata seraya duduk di kasur, sepertinya pria itu masih ingin membiarkan Fadia dalam keadaan terikat.
“Aku udah bilang, kan, kalau aku sekarang seperti buronan. Mana mungkin aku kabur tanpa rencana dan tujuan?” jawab Fadia. “Aku nggak punya tempat tinggal di kota ini sedangkan balik lagi ke desa pun bukan pilihan yang tepat. Aku nggak mau menanggung risiko tertangkap lagi oleh paman dan bibi.”
“Lalu?” tanya Arsen.
“Jadi, aku merasa di sini adalah tempat persembunyian yang tepat,” kata Fadia. “Lagian aku nggak pegang uang dan ponsel. Pakaian pun hanya punya yang aku pakai sekarang. Itu pun pemberian dari Mas Arsen.”
“Tentang pakaian, jangan salah … kamu punya banyak. Sebelum kamu datang, saya sudah membeli banyak dan kamu bisa pilih sendiri di walk in closet mana yang ingin kamu kenakan,” ucap Arsen.
Masih dalam posisi duduk di kasur, Arsen menarik laci nakas dan mengeluarkan sebuah box. “Ponsel? Saya juga sudah membeli keluaran terbaru untuk kamu gunakan. Ini.” Pria itu sengaja menunjukkannya pada Fadia.
“Dan satu lagi yaitu uang, saya punya cash maupun cash less.” Arsen kali ini beranjak dari duduknya untuk mengambil beberapa gepok uang pecahan seratus ribu di brankas. Tidak lupa, ia mengambil sebuah kartu di dompetnya. Saat ini terdapat ponsel, uang dan kartu di atas nakas.
“Jika semua ini ada di tanganmu yang tidak dalam keadaan terikat … apa kamu akan pergi dari sini? Meninggalkan saya lagi.”
Fadia menggeleng. “Tidak, Mas. Aku sama sekali nggak kepikiran kabur dari sini.”
“Kamu berkata seperti itu supaya saya melepaskan ikatanmu, kan?”
“Serius, Mas. Aku memang nggak punya rencana pergi dari sini.”
“Kenapa?”
“Aku udah memikirkannya dan memang benar bahwa apartemen ini adalah tempat paling aman untukku setidaknya untuk saat ini. Ya, mustahil paman maupun Juragan Iwan bisa menemukanku di sini.”
“Setidaknya untuk saat ini? Artinya jika kamu menemukan tempat yang lebih aman selain di sini … kamu akan pergi?”
Fadia menggeleng lagi. “Aku nggak akan pergi. Harus berapa kali aku bilang kalau aku akan tetap di sini.”
Fadia melanjutkan, “Aku udah mempertimbangkannya dan ternyata nggak butuh waktu lama bagiku untuk memutuskan apa yang paling baik untuk hidupku.”
“Apa itu?” tanya Arsen kemudian.
“Aku setuju kita menikah,” jawab Fadia. “Baik, sebelumnya kita memang sudah deal akan menjalani pernikahan selama satu tahun ke depan. Tapi sekarang aku udah berubah pikiran tentang durasinya.”
“Jadi bagaimana, Fadia?”
“Kenapa harus satu tahun kalau bisa lebih?”
Tentu saja Arsen senang. Hanya saja ia perlu memastikannya sekali lagi, “Kamu serius? Kamu tidak sedang bercanda, kan?”
“Aku serius dan aku berkata seperti itu bukan semata-mata agar ikatan ini dilepaskan. Aku beneran udah memutuskan buat menerima ajakan menikah dari Mas Arsen. Ya, aku bersedia menjadi istri Mas Arsen. Aku mengatakannya dengan tulus dan bukan terpaksa seperti tadi.” Fadia mengakuinya kalau kesepakatan tadi hanyalah terpaksa.
Arsen tersenyum. Pria itu sungguh tak bisa menyembunyikan raut bahagianya. “Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran ingin menikah dengan saya secara suka rela padahal sebelumnya hanya terpaksa menerima?”
“Aku merasa … lebih baik menghadapi orang seperti Mas Arsen daripada harus menjadi istri Juragan Iwan.”
“Menghadapi orang seperti saya?”
“Ya, bagiku Mas Arsen bukanlah pilihan yang buruk. Sedikitnya aku bisa merasakan kalau perasaan Mas Arsen tulus padaku. Aku juga berpikir hidupku bisa menjadi lebih baik jika berada di samping Mas Arsen yang mencintaiku,” ucap Fadia. “Aku juga akan belajar untuk membalas perasaan tulus Mas Arsen padaku.”
“Fadia, saya jamin kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu itu,” balas Arsen.
“Sekarang pertanyaannya … sampai kapan Mas Arsen akan terus membiarkanku terikat begini?”
“Saya akan melepaskannya segera, tapi sebelumnya saya ingin begini dulu….” Setelah mengatakan itu, Arsen langsung menyerbu bibir Fadia.
Dalam keadaan berbaring dengan tangan dan kaki yang terikat, tentu saja Fadia pasrah tidak bisa menghindar. Ia membiarkan Arsen menciumnya dengan panas dan menggebu-gebu.
Sejauh ini Arsen bisa membuatnya nyaman. Melakukan ciuman seperti ini pun Fadia tetap merasa nyaman. Itu sebabnya ia membiarkan Arsen melakukannya sampai puas. Fadia bahkan refleks memejamkan mata, menikmati sentuhan bibir Arsen pada bibirnya. Ciuman mereka berlangsung cukup lama sampai kemudian Arsen mengakhiri aktivitas yang mulai menjadi favorit mereka tersebut.
Arsen tersenyum menatap Fadia lalu mulai melepaskan ikatan wanita itu.
Sambil melepaskan ikatan pada tangan wanita yang disayanginya, Arsen berkata, “Fadia, saya bisa saja melepaskan seluruh pakaianmu di saat-saat begini, tapi saya tidak melakukannya dan menunda hasrat ini sampai kita resmi menikah. Maka dari itu terima kasih telah bersedia menikah dengan saya tanpa rasa terpaksa.”
Kini semua ikatan pada tangan dan kaki Fadia sudah terlepas sepenuhnya. “Mas Arsen, bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Tentu saja? Silakan katakan tanpa ragu.”
“Aku … lapar.”
“Ya ampun kamu ini saya kira kenapa. Tapi kamu yakin mau makan menjelang pagi begini?”
“Memangnya nggak boleh?” tanya Fadia dengan nada pura-pura kecewa. “Padahal aku pengen banget makanan.”
“Makanan apa?”
“Mi atau apa pun yang hangat-hangat.”
“Pelukan dengan saya padahal hangat.”
“Aku serius, Mas. Aku pengen mi.”
Arsen tersenyum. “Kamu ngidam?” kekehnya. “Baiklah, kalau begitu saya buatkan sebentar, ya. Kabar baiknya makanan yang kamu inginkan bukanlah sesuatu yang sulit diwujudkan.”
Bahkan sekalipun sulit, Arsen pasti akan tetap berusaha maksimal untuk mewujudkannya.
Jujur, sebenarnya banyak yang ingin Arsen dengar dari Fadia. Terutama tentang yang terjadi dua tahun ini saat wanita itu menghilang misalnya terkait pekerjaannya di desa. Namun, Arsen akan membiarkan pembicaraan mereka mengalir saja apa adanya. Arsen tidak akan langsung membombardir Fadia dengan banyak pertanyaan, melainkan pelan-pelan saja.
***
Juragan Iwan masih dipenuhi amarah lantaran calon istri barunya menghilang. Kini setelah mengetahui siapa yang membawa Fadia kabur, pria yang usianya sudah menginjak kepala lima tersebut semakin naik pitam. Ia bahkan sudah memerintahkan pada anak buah kepercayaannya untuk mempertemukan dirinya dengan Arsen.
“Arsenio Madhava. Rasanya tidak asing,” ucap Juragan Iwan lagi. “Selain nama … kamu sudah mencari tahu tentangnya, bukan?”
“Sudah, Juragan.”
“Siapa dia sebenarnya?”
“Dia anak dari salah satu konglomerat di negeri ini, Juragan. Bisa dikatakan Arsen ini sangat pandai memanfaatkan previlege orangtuanya yang kaya raya. Bisnisnya banyak tersebar di mana-mana.”
“Tunggu, bukankah dia cukup dewasa untuk Fadia yang masih dua puluh tiga?”
“Ya, Juragan. Usianya empat puluh satu tahun. Usia mereka terpaut jauh.”
Sepertinya Juragan tidak sadar diri. Bahkan, dirinya jauh lebih tua dari Arsen.
Juragan Iwan kembali berbicara, “Bicara soal bisnis, memangnya dia menggeluti bisnis apa saja?”
“Dari properti, keuangan, retail, perhotelan hingga food and beverage. Semuanya bisnisnya berkembang pesat. Untuk mengelola semua itu, dia punya manajer profesional di masing-masing bidang. Jadi, bisa dikatakan Tuan Arsen ini bisa bersantai tapi uang tetap mengalir deras ke rekeningnya.”
“Sudah bisa ditebak, memiliki segudang harta pasti membuat banyak perempuan yang tergila-gila padanya,” ucap Juragan Iwan.
“Benar, Tuan. Apalagi dia belum pernah menikah. Banyak yang ingin menjadi istrinya. Ditambah lagi Tuan Arsen ini sangat tampan, tidak heran jika dia menjadi incaran banyak perempuan.”
“Termasuk Fadia,” balas Juragan Iwan. “Sial. Dari sekian banyak perempuan, kenapa Arsen sialan ini memilih Fadia yang merupakan calon istri saya. Dia pikir,” kesalnya lagi.
Juragan Iwan kembali berbicara, “Apa mereka berpacaran?”
“Dugaan kuat Tuan Arsen memang pacar Fadia.”
“Bruno sialan! Dia bilang Fadia tidak punya pacar.”
“Masih dugaan, Juragan. Sebenarnya ini belum selesai diselidiki. Mengingat selama dua tahun ini Fadia tinggal di desa dan tidak ada yang tahu, bisa jadi mereka sekadar memiliki hubungan di masa lalu.”
“Apa pun hubungan mereka, saya tetap ingin bertemu langsung dengannya. Meskipun saya kini tahu bahwa ternyata dia bukan orang sembarangan, tapi saya tidak takut sedikit pun. Saya tetap ingin memberinya pelajaran karena telah berani membawa lari Fadia,” ucap Juragan Iwan penuh amarah.
“Pokoknya saya tetap ingin bertemu dengannya secara langsung besok. Dia harus mengembalikan Fadia!” tambah Juragan Iwan.
“Baik, Juragan. Besok saya akan mengantar Juragan untuk menemui Tuan Arsen. Dari informasi yang saya terima, dia itu lebih sering berada di kantor Arsenio Capital.”
“Akan saya tunjukkan padanya … siapa saya sebenarnya,” pungkas Juragan Iwan.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.