Mereka berdua ngobrolin banyak hal dan Lala pergi meninggalkan mereka menuju warung tuk memesan beberapa makanan. Lala lihat dari jauh Tama dan Hendro baru kenal sudah begitu akrab.
Tama berpamitan lebih dulu tuk pulang. Sedang Lala masih menikmati indahnya panorama Gunung. Tak terasa matahari sudah mau tenggelam. Hendro mengantar Lala pulang persis di depan rumah.
“Makasih ya mas”
“Tuk apa?”
“Untuk waktu seharian ini”
“Kamu kebiasaan, aku itu kan sayang kamu, wajar kalo aku tememin kamu. Gak usah gitu”
“Salah dimananya mas, kan aku cuma bilang makasih”
“Bagiku itu salah”agak sedikit jengkel
“Ya sudah kalo gitu, maaf ya mas”
“Maaf untuk apa?”
“Sudah buat kamu marah”
“Gak marah La kamu pahami yaa, sayang itu tidak ada trima kasih. Harusnya kamu itu kecup pipi aku, karna sudah capek nganterin kamu”
“Oh gitu, jadi modus nih”
Di teras rumah mereka tertawa bersama.
Hendro melajukan motornya menembus gelapnya malam yang dingin membeku.
Entah rasa apa yang sedang bergejolak dihatinya. Sejauh ini segalanya terlihat baik dimata Lala. Karena hendro masih memperlakukan sangat manis.
~~~~~~~
Chenting chenting, berkali kali bunyi ringtone chat di ponsel Lala. Karna masih mengikuti mata kuliah, Lala mengabaikannya.
Kringgggggg kringgggggg
Bel jam berakhirnya jam mata kuliah telah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar ruangan. Karena penatnya mata kuliah hari ini, ditambah lagi panas yang terik serasa membakar pandangan mata.
Baru Lala membuka ponselnya setelah bersantai di Taman sambil menunggu Hendro menjemput. Ternyata Tama, mengirimkan foto waktu itu.
“La,filenya sudah aku masukkan dilomba. Kamu bantu do’a ya La”
“Fotomu bagus La, itu kata teman-temanku. Mereka banyak yang mau kenalan sama kamu La. Tapi ku bilang kamu sudah punya cowok. Hhhhh” sambung chatnya.
“Ok, makasih ya Tam. Sama-sama berdo’a ya”
“Aku lagi di Taman nunggu ada yang nyamperin hhhhh”sambung Lala
“Maksud nya La”
“Nunggu pangeran lah. GR nih yeeee hhhh”
Gak lama ternyata Tama sudah ada dibelakang Lala.
“DORRRRR hhhhhhhh”
Seketika itu mengejutkan Lala
“Ngapain Tam”
“Temani kamu tunggu pangeran”
“Ah, modus kau ini”
“ Gak lah, aku itu orang serius, gak pernah modus. Gak tau kalo pangeranmu itu La”
“Heee Tam, jangan coba cuci otak aku loh ya”
“Hhhhh, kamu yang mudah terpengaruh itu Non”
Sambil bercanda, Lala melihat Hendro menyusuri Taman. Terlihat seperti binggung mencari diri Lala yang berada diantara aneka macam manusia muda disini.
Lala berlari kecil melambaikan tangannya, sambil meninggalkan Tama sendirian.
"Tam, aku tinggal dulu ya. Tuh yang jemput sudah nonggol batang hidungnya" ujar Lala
“Daaa Tam, sambung lusa ya klo ketemu, jangan lupa chat aku buat kasih kabar” sambung Lala sambil berlalu
“Lama mas! tumben?” tanya Lala
“Macet La, lagian tadi nganter Mama dulu” jawab Hendro
“Ooo, motornya parkir dimana?” tanya Lala
“Kalo sambil nganter Mama bawa mobil, tu disitu” jawab Hendro
“Asik nih, gak kepanasan. Tapikan aku gak bisa pegangan mas” ujar Lala sambil melirik ke Hendro
“Hhhh” Hendro tertawa tipis
“Aku tu kangen loh mas, aku tuh pingin klo bisa sejam aja sehari ketemu gitu” pinta Lala merajuk
“Dibahas lagi, kan diawal sudah aku bilang La” jawabnya sambil buka pintu mobil.
“Katanya sayang tapi kok gak mau ketemu tiap hari”
“Ya nanti klo sudah menikah kan tiap hari ketemu, gak hanya sejam La, bisa berjam-jam buat dengerin apa yang mau kamu omongin”
“Ihhh, pasti gitu jawabnya jadi bete dech”
Tiba-tiba Hendro berhenti di toko emas.
“ Kok berhenti disini mas”
“Mama tadi minta aku pesan cincin, sesuai keinginan Mama”
“Cincin, buat apa mas?” tanya Lala penasaran.
“Tau tuh Mama”jawabnya
“Kok kayaknya ada yang kamu sembunyikan dari aku mas?” selidik Lala
“Gak ada La, ayok ah masuk lihat-lihat kali aja ada cincin juga yang kamu suka.” Ajaknya
Pikiran Lala seketika itu entahlah berlarian kemana-mana.
"Mamanya memesan cicin untuk siapa?
Sedangkan Hendro adalah anak tunggal tidak ada saudara perempuan yang lain.
Apa buat sepupu atau buat kado teman?" guman Lala dalam hati
Sambil melihat-lihat dan memperhatikan Hendro bicara panjang lebar ke penjaga toko biar cincin yang di pesan modelnya bisa sesuai. Tak berapa lama, Hendro menghampiri Lala.
“Gimana La, apa ada yang kamu suka?” tanya Hendro
“ Belum ada yang cocok mas”
Sambil menunjuk kesatu cincin bermata hati dengan warna biru laut. Terlihat jelas kilaunya.
“Itu bagus, cocok kalo kamu pakai. Kalo kamu mau bisa sekalian di nota La”
“Emmmm”sedikit diam Lala berpikir.
“Itu pilihanmu, aku juga suka gak apa mas” lanjut Lala
“Ya sudah kita ambil ya” ujar Hendro
“Tapi ini dalam rangka apa mas?”
“Anggap saja ini kado dari aku”
“Owww gitu”
"kirain ini buat lamaran kita nanti, hehehe bercanda kok mas"
"Yaa nanti lah tunggu kamu lulus dulu, rencana kan ada. Tapi kita tidak tau perjalanan nanti"
"Hemmm"
"Sudah pakai langsung saja La, itu untuk kamu. Dan suratnya aku juga akan kasih ke kamu"
"terima kasih loh sayang, ini akan ku pakai terus"
Hendro membalas dengan senyum tipis.
Hendro membeli dua cincin itu. Meski Hendro tau cincin yang dipesan Mama nya itu untuk siapa. Namun,hingga detik itu Hendro masih merahasiakan pada Lala.Akhirnya administrasi sudah selesai semua. Selama perjalanan pulang, Lala masih saja heran dengan sikap Hendro.
Pagi ini Lala melihat pandangan Bapaknya yang mondar mandir dari depan ke belakang. Sambil memegang koran ditangan. Sesekali membenahi kacamatanya. Pandangannya tak lepas dari mengikuti kemana langkah Lala pergi.
“Bapak kenapa?kacamatanya tuh dibenahi Pak.” ujar Lala
“Kamu itu La, di perhatikan Bapak kok seperti orang binggung. Memangnya ada apa?”
“Gak pa-pa kok Pak”
“Gak biasanya ini masih pagi juga. Cerita aja klo ada masalah La. Siapa lagi yang bisa kamu tanya kalo tidak Bapak. Temanmu tidak akan bisa menyelesaikan masalahmu” jelas Bapak.
“Kan tadi Lala sudah bilang gak ada Pak”
“Kamu kok bohongin Bapak sih. Ya sudah, kamu juga sudah besar bisa memilah mana baik mana buruk”
Sambil berlalu, Bapak mengingatkan Lala. Dengan sedikit di pincingkan matanya dalam memandang Lala.
Lala tau betul Bapak itu begitu takut anak perempuan satu-satunya tersakiti oleh perasaannya sendiri.
Waktu bergerak mundur, kembali Lala mengenang dan merenungkan perjalanannya dengan Hendro. Rasanya kok stagnag tidak ada jalan keluar.
Sedang beberapa waktu yang lalu, masih dalam ingatan Lala. Mama Hendro mengingatkan tuk tidak berharap berlebih sama hubungan yang dibinanya. Sama sekali Mama nya tidak menunjukkan menerima Lala dengan tangan terbuka. Walau begitu Lala tetap menjalaninya karna Hendro memberikan rasa yakin itu sudah cukup bagi Lala. Toh nanti Hendro yang menjalaninya bukan Mamanya. Sebegitu yakin Lala mengharapkan segalanya sempurna sesuai harapannya.
Kringgggggg kringgggggg
Telepon rumah berbunyi nyaring seketika mengagetkan Lala. Bergegas dia lari mengangkat telepon
“Hallo”
“La,belum berangkat kah? Aku sudah menunggu di Taman”
“Hah,katanya jemput aku mas?”
“Maaf ya kelupaan, tadi Kekencengan laju motornya.”
“Kamu gak sedang boncengin sapa-sapa kan!” rasa penasaran Lala menyelidik.
“Aduh sayang. Hari gini masih aja tanyain gitu”
“Ala biasanya aja anterin Anita dulu”
“Ahh sudah lah, pokoknya aku tunggu di Taman dekat air mancur di sebelah tangga pertama sebelum Aula”
Tuttttt tuttttt tuttttt (telepon nya mati)
Tanpa salam tanpa ucapan apapun, langsung aja ditutup teleponnya.
“Uuh dasar bikin pusing” gerutu Lala
Tanpa sadar Bapak Lala rupanya mendengarkan percakapan Lala di telpon. Sambil menyeruput kopinya, Bapak tanya pada Lala, penasaran ingin tau apa yang jadi beban pikiran Lala
“Lah bener kan dugaan Bapak pasti ada yang kamu sembunyikan dari Bapak. Itu kelihatan murung mukanya” goda Bapak
“Siapa itu Anita?” lanjutnya
Anita itu anak teman ayahnya mas Hendro pak”
“Teman ayahnya apa?”
“Katanya sih teman bisnis Papanya”
“Ohhh”sambil mangut-mangut
“Jadi rumit nih La” lanjut Bapak
“Maksud Bapak!?” giliran Lala yang penasaran.
“Sudah kamu berangkat sana, kasihan dia nungguin kelamaan nanti”
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.