Semilir angin masuk melalui jendela kamar yang terbuka, menerpa helaian rambut Zillo yang duduk di meja belajarnya dengan sebuah buku terbuka—tidak, Zillo tidak sedang belajar, cowok itu sedang membaca sebuah buku, sebuah komik kalau mau lebih tepatnya. Bagaimana pun ini masih awal tahun ajaran baru. Kegiatan belajar dan mengajar juga belum berlangsung karena pekan penyambutan siswa baru, jadi untuk apa Zillo belajar begitu awal jika materi kelas dua belas saja belum dia pegang? Meski sebenarnya banyak anak-anak yang seangkatan dengannya akan bergerak lebih awal dan mendapatkan materi pembelajaran tingkat akhir SMA itu dengan berbagai macam cara, seperti bimbingan belajar di waktu liburan sekolah misalnya. Fakta bahwa ini tahun terakhir di SMA dan dalam waktu dekat mereka akan mengikuti ujian nasional, menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak itu begitu bekerja keras di waktu yang harusnya mereka habiskan untuk liburan. Karena tuntutan akan selalu menjadi tuntutan, bukan? Nilai yang tinggi, masuk perguruan tinggi bergengsi, juga nama baik keluarga yang dipertaruhkan hanya karena nilai. Beruntung Zillo bukan salah satu anak yang hidup dengan tuntutan itu, dan tidak ada salahnya Zillo mengambil napas barang sejenak, menimati waktu bersantainya sebelum waktu kerja kerasnya kembali datang. Bagaimana pun Zillo tahu diri untuk setidaknya bertanggungjawab pada masa depannya sendiri.
Yang menjadi masalah, sudah lebih dari sepuluh menit dia membaca halaman yang sama, tidak beranjak dari sana pun menumpahkan fokusnya pada bacaan itu. Sampai sepuluh menit yang lalu memang Zillo melakukannya, tapi semuanya perlahan hilang kala dirinya ingat apa yang sudah tetangga berisiknya itu lakukan padanya hari ini di sekolah.
Bernyanyi untuk Zillo? Mendeklarasikan bahwa Zillo akan menjadi miliknya? Gila, cewek itu memang benar-benar sudah gila.
"Sakit jiwa.." Gelengan kepala Zillo membuyarkan lamunannya pada rangkuman kejadian yang dialaminya hari ini, dan tentu saja dengan banyak bayangan Nadi yang mampir di benaknya. Benar-benar menyebalkan.
"Siapa yang sakit jiwa?"
Zillo menoleh terkejut, mendepati seseorang tiba-tiba menanggapi kalimatnya. Pemuda itu langsung menghembuskan nafas lega begitu yang dia dapati bukan Nadi melainkan Noel. Salah satu tetangga di depan rumahnya yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan rumah Nadi.
"Ck, udah gue bilang kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu!" Ucap Zillo sewot memutar kursi yang didudukinya menghadap Noel.
Yang dimarahi justru hanya membalas dengan mengangkat bahu santai—mendekati arti tidak peduli. "Siapa yang sakit jiwa?" pemuda satu itu mengulang pertanyaannya, tak puas dengan Zillo yang mengalihkan pembicaraan.
"Siapa lagi kalau bukan si bocah upil," sahut Zillo malas, mengembalikan posisinya seperti semula.
"Nadi?"
"Memang ada bocah upil yang lain di sini? Satu aja gue udah pusing bukan main."
Tetangga yang berada satu tingkat dibawahnya itu terkekeh pelan. Melempar tubuhnya di ranjang Zillo yang sedang tak dihuni pemiliknya. "Kenapa lagi Nadi?"
"Nggak tahu aja lo apa yang dia lakuin di sekolah. Baru sehari aja udah bikin gue sakit kepala!"
Tawa Noel terdengar samar, bisa membayangkan dengan jelas seperti apa tetangganya itu bersikap jika sudah menyangkut dengan Zillo, yang mana merupakan hiburan tersendiri bagi Noel jika menyaksikannya secara langsung. "Sayang gue nggak ikut OSIS, jadi nggak bisa lihat pertunjukan menariknya," sesal Noel.
Zillo mendengus keras. "Lo aja yang gantiin gue, biar gue yang gantiin lo libur. Dari pada gue harus berurusan sama anak itu selama MOS."
"b**o, kalau kayak gitu nggak akan ada pertunjukan langkanya dong... Lah wong tokoh utamanya kabur," timpal Noel cepat.
Enaknya bersekolah di SMA Nusantara salah satunya ini—khususnya bagi Noel dan anak-anak kelas XI lain yang tidak mengikuti organisasi apa pun, mereka diperkenankan libur hingga Masa Orientasi Siswa selesai. Itu kenapa seharian ini, di saat anak-anak lain sudah masuk sekolah, Noel justru masih asik berleha-leha.
Tidak ada tanggapan dari Zillo meski semkian menit berlalu. Cowok itu lebih memilih mengambil ponsel di saku celananya, pura-pura tidak mendengar.
Noel melirik Zillo sekilas, sebelum kembali menerawang langit-langit kamar cowok itu yang sebenarnya tidak ada apa-apa. "Dia kayak gitu karena cinta mati sama lo, Llo. Jadi jangan terlalu kejam sama dia kenapa."
"Sayangnya gue nggak peduli," timpal Zillo sadis memancing berdecakan keluar dari mulut Noel.
Pemuda itu bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela besar sekaligus pintu yang terhubung dengan balkon kamar itu. Ia singkirkan gorden transparan yang menghiasi jendela, menatap lurus keluar sana, persisnya memandang jauh menuju balkon kamar di seberang yang tidak lain adalah balkon kamar Nadi.
"Belum aja, nanti juga lo yang nyesel kalau dia tiba-tiba dia mundur dan nyerah perjuangin lo yang keras kepala ini."
Noel memutar tubuhnya menghadap Zillo, bersandar di kusen pintu dengan kedua tangan melipat di depan d**a. Sementara Zillo dibuat memandangnya dengan kening berkerut, seolah mempertanyakan apa maksud kalimat Noel barusan. Tapi karena yang bersangkutan hanya diam dengan masih terus menatapnya, Zillo akhirnya menghembuskan napas panjang, menemukan sendiri jawaban yang menurutnya pas dia utarakan sebagai balasan. "Gue nggak akan sampe segila itu."
Senyum Noel terbit melihat tingkah Zillo yang berusaha menghindari tatapan dan topik pembahasan mereka, itu terlihat jelas dari Zillo yang kembali membuka komik bacaannya dengan tergesa, seolah ingin cepat-cepat mengenyahkan apa yang baru saja Noel ucapkan dari benaknya. Kadang Noel heran, entah dia yang terlalu peka atau Zillo yang terlampau munafik? Hingga meski di matanya Zillo sudah menyimpan perasaan pada Nadi sejak lama pun, pemuda itu justru berpuluh-puluh kali lipat akan menyangkalnya dengan keras, mengatakan tanpa keraguan sedikit pun kalau perasaan macam itu tidak mungkin dia miliki, terlebih pada gadis yang masih dipanggilnya dengan sebutan "bocah upil" padahal peristiwa yang membuat Zillo memanggilnya seperti itu sudah bertahun-tahun berlalu lamanya.
Ah, mungkinkah selama ini Noel yang justru salah berasumsi? Salah mempresepsikan bahwa semua sikap Zillo adalah bentuk perasaan yang berusaha dia sangkal? Karena kemungkinan Zillo tidak menyukai Nadi juga cukup besar, hal itu bisa dilihat dari sikap kasar Zillo pada Nadi yang kadang menurutnya kelewatan. Sikap yang tidak mungkin cowok lakukan pada cewek yang disukainya.
Sibuk dengan pikirannya yang berkelana sendiri, lamunan Noel buyar begitu mendengar suara benda jatuh yang cukup keras dari beranda kamar Zillo.
BRUK!!!
Noel segera berlari menapaki balkon kamar, disusul dengan Zillo yang segera bangkit dari duduknya mengikuti jejak Noel. Keduanya melongok ke bawah, memastikan bahwa apa yang mereka dengar memang benar suara benda jatuh.
"Nadi?" suara Noel tercekat, nyaris tidak percaya.
Nadi yang tengah sibuk membersihkan diri dari daun dan ranting patah yang menimpanya mendongak saat namanya dipanggil. Gadis itu dengan wajah tanpa dosa kemudian tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapih. "Eh ada Kak El..."
Sementara itu Zillo—di samping Noel masih terlihat berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi pada gadis itu hingga bisa berada di bawah sana dengan keadaan kacau dan berantakan. Sesaat setelahnya ketika semua kronologi terkumpul lengkap di benak Zillo, pemuda itu sukses dibuat terbelalak tak percaya.
"JANGAN BILANG LO BARUSAN NEKAT MANJAT POHON BUAT NGINTIP KE KAMAR GUE, HAH?"
Nadi yang masih terduduk di bawah sana hanya tersenyum menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Gadis satu itu memang benar-benar!
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.