4. Pangeran Hati
Nadi kira—tadinya Nadi kira mereka benar-benar akan bertengkar layaknya pertarungan yang sebelumnya. Seperti mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi, itu mengapa Nadi memperingatkan di awal agar tidak ada yang terluka di antara mereka dan dirinya bisa dipersilakan pergi. Tapi bukannya baku hantam, ketiga cewek itu malah mengerubuninya, memegangi tangannya agar tidak berontak lantas melepas sebelah sepatu yang Nadi kenakan dan melemparnya ke atap.
Korban perundungan itu masih diam tak bereaksi, cukup shock karena apa yang terjadi jelas di luar ekspektasinya. Untuk beberapa detik berselang Nadi hanya memandang sebelah sepatunya yang sudah mendarat di atap satu bangunan yang bisa dia terka adalah gudang, melayang dengan opsi bahwa dirinya masih bisa bertelanjang kaki tanpa harus adu otot hanya karena sebuah sepatu.
"Rasain lo! Ambil sono sendiri sepatu lo. Jadi murid baru aja udah sok! Awas kalau berani-berani klaim Zillo punya lo lagi. Zillo itu punya kita!"
Ketika nama Zillo disebut, saat itulah Nadi tersadar, bahwa sepatu miliknya yang baru saja dia pakai di hari pertama sekolah itu jelas bukan sepatu biasa— "Arrrgghhhh... Kak! Itu sepatu kado kelulusan Nadi dari Kak Illo! Kenapa di lempar?!" seru Nadi sedih, meratapi sepatunya di atas sana. Cewek itu sudah berlutut dengan tangan menggapai ke udara, dramatis.
Ketiga kakak kelasnya itu mengangkat bahu tidak peduli, melipat tangan di depan d**a dengan tertawa mengejek, "Memang kami peduli?"
"Ih jahat banget sih jadi orang! Itu gimana nasib sepatu saya, Kak! Tolongin kek!" kali ini malah Nadi yang terdengar lebih galak, membuat ketiga kakak kelasnya sempat berjengit mundur dari posisi mereka.
"Be-b**o lo ya! Kalau kita baik ya nggak akan lempar sepatu lo ke sana! Ambil sendiri tuh pake tangga!" Salah satu di antara ketiga cewek itu menunjuk sudut bangunan di mana terlihat ada tangga di sana.
Tanpa banyak bicara Nadi melangkah mengikuti intruksi kakak kelasnya, mengangkat tangga itu susah payah lalu memposisikannya menuju atap gedung tempat sepatunya bersarang. Tanpa rasa curiga Nadi menaiki tangga itu perlahan hingga kakinya tidak berpijak lagi pada tangga, melainkan pada atap gedung yang dia naiki. Matanya berpendar mencari, dan melihat seonggok sepatu yang tergeletak meyedihkan di satu sisi. Gadis itu melangkah hati-hati mengambil sebelah sepatunya.
Dengan senyum semringah ketika sudah mendapatkan kembali sepatunya Nadi berbalik berniat menghampiri tangga yang tadi dipakainya naik ketika dia menyadari benda itu sudah tidak ada di posisinya. "Loh, Kak, tangganya mana?"
Ketiganya mendongak, terkekeh licik melihat kebodohan Nadi. "Menurut lo? Udah lo di situ aja berjemur sampe keling. Biar Zillo tambah ilfeel sama lo, dan lo jadi tahu diri nggak ngejar-ngejar Zillo lagi."
Tanpa babibu, ketiga cewek tak punya kerjaan itu berlalu masih dengan tawa puas mereka yang berhasil mengerjai Nadi. Tawa mereka bahkan masih bisa Nadi dengar meski sosok ketiganya sudah menghilang. Nadi berdecak sebal, di hari pertama saja dia sudah mendapatkan perlakuan seperti ini dari fans-nya Zillo, apalagi sisa waktunya di SMA nanti. Hah, ternyata memenangkan hati Zillo memang tidak akan pernah mudah, baik dulu maupun sekarang.
"Ck, bloon banget memang lo, Di. Percaya aja disuruh manjat sini tanpa curiga apa-apa," gerutu Nadi kesal sendiri.
Sedang sibuk menggerutu dan memaki dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya berkali-kali tiba-tiba suara seseorang menghentikan kelakuan konyolnya.
"Eh, bocah upil. Ngapain lo di situ? Ngomong sendiri sambil jitak –jitak kepala lagi."
Raut wajah Nadi berubah bahagia, bahkan sejak suara pangeran penyelamatnya itu masuk ke telinga, terlebih saat melihat sosok yang bersangkutan. Apa Nadi bilang? Dia memang tidak salah mengatakan bahwa Zillo akan menjadi miliknya. Lihat saja, di saat seperti ini Zillo datang persis seperti pangeran berkuda putih yang siap menghalau halang-rintang yang mereka hadapi. Nadi dan pikiran absurd-nya.
Cewek itu bergerak ke tepi, memasang wajah memelas yang minta dikasihani. "Kak ILLOOO....."
Zillo hanya balas menatap datar, sudah sangat terbiasa dengan tingkah polah Nadi yang di luar batas kewajaran. "Gue tanya ngapain lo di situ? Bukannya balik ke lapangan sana!"
Bibir Nadi mencibik sebal, hingga persis seperti mainan bebek karet yang biasa dipakai Aran sebagai teman mandi—ngomong-ngomong Aran itu adik Zillo yang masih duduk di sekolah dasar. "Kerjaan fans Kakak nih! Aku jadi di-bully dengan cara nggak mutu kayak gini. Tolongin makanya!"
Sebelah alis Zillo terangkat, masih tak merubah posisinya yang menengadah menatap Nadi. "Fans? Bukannya fans gue itu lo? Memang lo bisa nge-bully diri sendiri?"
"Dih, memang Nadi sakit jiwa sampe segitu nggak ada kerjaannya bikin diri sendiri nangkring di sini?"
"Loh memang sakit jiwa, kan?." timpal Zillo asal.
"Ah, Kak Illo kebanyakan intro nih! Mau nolongin Nadi nggak sih? Panas tahu di atas sini."
Zillo melengos malas. Cewek itu yang butuh bantuan kenapa jadi dia yang dibentak? "Ya tadi lo bisa sampe ke atas sana gimana caranya? Ngapain juga lagian, kurang kerjaan banget!"
"Dibilang karena fans-nya Kakak, ih! Tadi sepatu Nadi yang dari Kakak di lempar ke sini, makanya Nadi ambil, tapi karena pas mau turun tangga yang Nadi pakek naik malah udah nggak ada."
"Kok bisa nggak ada?"
"Ya nggak tahu. Dibawa kakak-kakak centil itu kali."
Tangan Zillo melipat di depan d**a, menghembuskan nafas jengah. "Ya udah lo tunggu sini, gue cari tangganya dulu."
Nadi menghela nafas gusar, setetes keringat turun dari dahi mengikuti lekukan wajahnya, berakhir jatuh dari dagu gadis itu. Nadi meringis sambil mengelap peluhnya, tak bisa lagi bertahan lebih lama di sana. "Kelamaan ah, Kak! Aku loncat aja deh, nggak enak ini panas banget."
Bola mata Zillo membesar mendengar penuturan gadis itu, apalagi ketika melihat Nadi sudah mengambil ancang-ancang. Pemuda itu tidak mengerti apa yang dipikirkan gadis yang satu itu, melompat dari tempat setinggi 2 meter lebih? Yang benar saja! "Jangan! Gila kali ya lo? Kaki lo bisa patah kalo loncat dari sana!"
Seolah tak mendengar larangan Zillo, Nadi nekat tetap melompat hingga Zillo berlari berusaha menggapainya. Kalau sampai cewek itu benar-benar terluka, bisa dituduh yang tidak-tidak dia oleh orang tua gadis itu karena tidak bisa menjaga Nadi dengan baik selama di sekolah.
Mata Nadi terpejam, bersiap mendarat dengan kondisi paling buruk. Setidaknya Nadi sudah tahu resikonya dan tidak akan mengeluh karena tindakannya sendiri. Dulu sekali, saat masih kecil Nadi pernah jatuh dari pohon dan rasa sakitnya masih bisa Nadi ingat sampai sekarang. Meski begitu dia tidak kapok untu memanjat pohon setelahnya, jadi kali ini pun Nadi bisa mengatasi rasa sakitnya, kan?
Tunggu.
Sepertinya Nadi sudah mendarat, tapi kok dia tidak merasakan apa-apa? "Eh? Kok nggak sakit ya?" mata cewek itu masih terpejam ketika mengatakannya.
"Menurut lo?!" bentak Zillo sinis.
Perlahan Nadi membuka matanya, mendapati sepasang mata hitam yang menatapnya begitu tajam. Sedetik berlalu Nadi masih diam, hingga Zillo yang sudah menatapnya dengan kernyitan berlipat di dahi menghela napas dan memutuskan untuk melepaskan tangannya dari tubuh gadis itu.
"Auwh!" Nadi meringis, mengusap bagian belakang tubuhnya yang baru saja berbenturan dengan tanah.
"Seenggaknya nggak sesakit kalau lo jatuh dari atap," dengus Zillo melangkah meninggalkan cewek itu tanpa lagi mencoba peduli. Apalagi dengan terikan random yang didengar setelahnya.
"Ih Kak Illo kok gitu sihhhh? Harusnya adegan tadi tuh bisa dibikin romantis tahu!"
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.