“Beberapa ciuman bukan tentang bibir yang bertemu, tapi tentang luka yang kembali terbuka.”
Kala itu, langit Praha yang mulai menuruni butiran salju menjadi saksi adegan antara aku dan Ega. Mungkin, bagi orang-orang yang kebetulan lewat dan tidak sengaja melihat kami, tampak seperti sepasang kekasih yang tengah menikmati momen musim dingin dan salju yang turun. Seolah dunia hanya milik kami berdua, seolah tak ada luka, tak ada masa lalu, tak ada batas.Padahal kenyataannya sangat menyedihkan dan akan membuat kesal. Apa yang terjadi di antara kami bukan tentang kebahagiaan yangsebenarnya, melainkan tentang sisa-sisa perasaan yang pernah ada dan belum selesai. Tentang dua hati yang pernah menyatu, lalu berpisah, namun kembali dipertemukan oleh takdir yang diam-diam masih menyimpan skenario yang belum selesai.
Aku tahu, seharusnya aku tidak melakukan hal ini. Aku tahu, aku yang memulai dan aku tahu, aku akan menyesali ini. Tapi saat melihat Ega memunggungiku dan menjauh dariku, perasaan sesak dan takut itu kembali hadir, trauma yang seharusnya sudah selesai denganku. Namun, aku salah. Trauma itu masih ada dan melekat disana. Mungkin aku lelah menahan rindu yang tak berani kusebut. Mungkin Ega pun sama lelahnya menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Maka kami biarkan waktu berhenti sebentar. Hanya sebentar saja. Untuk merasakan kembali apa yang pernah kami miliki.
Begitu bibir kami saling lepas, waktu seolah kembali berjalan. Ruang di antara kami bergerak, seakan beberapa menit lalu mendadak berhenti. Tatapan Ega berubah, ada luka di sana. Namun juga kerelaan. Seolah ia tahu, aku dan dia tidak akan bisa menyatu, kami bukan tujuan. Aku mundur selangkah, menunduk. Rasa bersalah menyesap seperti dingin yang perlahan masuk lewat pori-pori. Apa yang baru saja kulakukan? Rasa hangat itu tak bertahan lama. Yang tersisa kini hanyalah gemetar di ujung jemariku, mendadak aku tremor dan bahkan aku bisa merasakan dingin yang merambat melalui kaki dan seakan menyadarkanku bahwa semua sehangatan tadi, hanyalah buatan, kepalsuan.
Langkah kaki orang-orang yang berlalu lalang dibawah salju yang turun di Praha mulai terdengar, membuatku kembali tersadar bahwa realita yang aku jalani tidak sejalan dengan apa yang baru saja terjadi, antara aku dan Ega. Di tengah keramaian malam Praha yang syahdu dan udara yang menusuk tulang, hanya ada aku dan Ega yang terperangkap dalam jeda, antara masa lalu dan kenyataan.
“Aku minta maaf,” bisikku nyaris tak terdengar, tak tahu pada siapa sebenarnya aku meminta maaf, pada Ega, pada diriku sendiri, atau pada Nayaka yang hatinya sudah aku khianati.
Ega mengangguk kecil, senyum getirnya menyentuh bibir merahnya, “Aku tahu,” jawabnya singkat, tapi justru dari dua kata itu aku mengerti: dia selalu tahu. Bahwa perasaanku padanya belum sepenuhnya usai, tapi juga tak bisa sepenuhnya menyala. Sungguh ironi, seperti penyesala yang tak berujung.
Butiran salju yang turun kian rapat. Dingin mulai menyesap ke sela-sela jaket, tapi rasa sesak di d**a lebih membekukan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan logika yang sempat hilang. “Kita nggak seharusnya begini.” ucapku, apa yang kuarasakan setelah adegan itu adalah, sebagian lega dan sebagian risau.
“Kita memang selalu begitu, Hanum. Tidak seharusnya, tapi tetap terjadi.” Ada nada lelah di suaranya, entahlah atau sebuah penyeselan. Sebab. sejak dulu diantara kami tidak pernah benar-benar menjadi kita, namun selalu ada kita. rumit dan membingungkan, sulit untuk dijelaskan.
“lebih baik kita pulang dan segera istirahat…” ajaknya. Aku menyetujui dan kami mulai berjalan berdampingan, menyusuri trotoar berbatu kota Praha. Tak saling bersentuhan, tak lagi bicara, hanya membiarkan malam meredam apa yang tersisa.
Dalam hati, aku tahu malam ini akan menjadi kenangan yang tak akan pernah bisa kuceritakan pada siapa pun. Terutama pada Nayaka. Namun, di sanalah ironi itu tinggal, ketika hatiku condong pada pria yang selama ini setia menungguku, tapi langkahku justru mengarah pada masa lalu yang belum usai. ini bukan hanya sekedar ironi, namun ironi diatas ironi. Meenyebalkan dan menyedihkan. Mungkin inilah titik baliknya. Mungkin setelah malam ini, aku harus benar-benar memilih. Bukan lagi tentang siapa yang hadir lebih dulu. Tapi siapa yang bersedia tinggal meski badai menerjang.
Apartemen tempat tinggal kami sementara tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, syukurnya kami sudah memakai jaket tebal sedari tadi, hingga bisa menaham diri sampai di apartemen. Tak banyak kata yang keluar dari bibir kami berdua, hanya keheningan yang tercipta, ditengah hiruk pikuk malam di kota Praha. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, aku bukan tipe wanita yang mudah tergoda dengan pria, apalagi aku sudah mengikat janji, jujur aku membenci diriku sendiri.
Langkahku terasa berat ketika menapaki anak tangga menuju lantai apartemen. Aku dan Ega sudah berpisah, sebab kami tinggal di gedung apartemen yang berbeda meski berada dalam komplek yang sama. Juga tak ada basa-basi yang terucap, ketika kami mulai melanjutkan langkah masing-masing tadi.
Aku bersandar di balik pintu yang baru saja kututup rapat, napasku tercekat. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan debar yang tak karuan di dadaku. Wajah Ega kembali terlintas. Matanya. Sentuhannya. Ciuman itu. Aku menunduk, kedua telapak tanganku menutup wajah. Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kubiarkan terjadi?
Tanganku gemetar saat melepas syalku. Setiap langkah menuju ruang tengah seperti membawaku menjauh dari diriku sendiri. Aku merasa asing dengan diriku malam ini—perempuan yang melupakan batas, yang membiarkan kenangan menjadi alasan untuk merusak janji.
Kualihkan pandangan ke cermin yang tergantung di dekat pintu balkon. Di sana, pantulan diriku menatap kembali dengan mata sayu dan penuh ketakutan. Bukan hanya takut ketahuan. Tapi takut menerima bahwa mungkin... aku memang belum selesai dengan masa lalu. Kupeluk diriku sendiri. “Aku tunangan orang,” bisikku lirih, nyaris tanpa suara, seperti mantra yang tak mampu menyelamatkanku dari luka yang kuciptakan sendiri.
Ponselku bergetar di atas meja. Sekilas kulirik layarnya, nama Nayaka muncul. Tapi aku tidak sanggup membukanya. Aku tahu pesannya akan membawa gelombang rasa bersalah yang lebih besar. Dan aku terlalu pengecut untuk membacanya sekarang. Aku berjalan ke arah jendela. Di luar, salju masih turun, memutihkan kota yang sejak awal mengajakku berdamai dengan masa lalu, tapi kini justru mengguncang masa depanku. Di balik keindahan kota tua ini, ada badai yang tengah bergulung di hatiku.
Bagaimana aku bisa menjelaskan ini pada Nayaka? Bagaimana aku bisa menatap matanya dan berkata bahwa semua baik-baik saja, ketika aku bahkan tak yakin pada hatiku sendiri? Kupeluk tubuhku lebih erat. Dalam sunyi malam Praha, aku hanya bisa berdoa—semoga masih ada waktu untuk memperbaiki semua ini. Sebelum semuanya terlambat.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.