Hanum <3
Hai, aku kangen…
Layar ponselnya menyala pelan. Notifikasi yang ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul. Jantung Nayaka berdegup cepat. Ia menatap layar itu beberapa detik lebih lama dari seharusnya, seolah memastikan bahwa pesan itu bukan ilusi semata. Ada jeda antara rasa lega dan luka yang nyaris sembuh tapi kembali menganga—karena satu kata itu: kangen.
Ia tersenyum samar. Tapi senyuman itu menggantung di ambang bibir, tak sepenuhnya tumpah sebagai bahagia. Ada rasa manis yang pahit di d**a.
Karena ia tahu, rindu yang datang terlambat… kadang menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui.
Tapi senyum itu cepat memudar. Ada yang berbeda. Nada pesannya terlalu singkat… terlalu ringan… terlalu terlambat. Bukan Hanum yang biasanya. Bukan Hanum yang empat tahun ini ia kenal—yang selalu bercerita panjang lebar, mengeluhkan hal kecil, atau sekadar mengirim foto langit jika sedang rindu. Sekarang hanya satu kalimat.
"Hai, aku kangen…"
Nayaka menatapnya lama, seolah mencoba membaca jeda di antara kata-kata itu. Ada yang mengganjal. Seperti ada lapisan makna yang disembunyikan di balik kata 'kangen'. Bukan karena ia curiga…
Tapi karena ia terlalu mencintai. Dan orang yang terlalu mencintai, tahu saat sesuatu berubah. Tangannya gemetar ringan saat membalas.
"Aku juga kangen. Kamu baik-baik saja di sana?"
Lalu diam lagi.
Menunggu balasan dengan hati yang lebih gelisah dari sebelumnya. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang sepi. Matanya menatap koper besar di sudut ruangan yang belum sempat dibongkar sejak perjalanan dinas terakhir.
Dan tiba-tiba, pikirannya terlintas cepat.
Mungkin aku harus menyusulnya ke Praha.
Bukan karena curiga, ia meyakinkan dirinya. Tapi karena ia ingin memastikan. Ingin melihat Hanum dengan matanya sendiri. Ingin tahu apakah jarak memang sekadar ruang… atau sudah menjadi jurang. Ia berhenti di depan jendela, menatap malam yang menggantung di langit Jakarta. Angin berembus pelan, dingin, tapi tak sedingin hati yang mendadak dirundung banyak tanya. Ia menarik napas panjang. Lalu mengirim satu pesan lagi:
"Aku ada waktu luang minggu depan. Gimana kalau aku nyusul ke sana sebentar? Buat kejutan kecil."
Dikirim.
Dan kini tinggal menunggu. Menunggu jawaban—yang bisa jadi lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.
*Hanum
Notifikasi pesan masuk berbunyi pelan.
Hanum menoleh, masih dalam diam, duduk di tepi ranjang penginapan yang mulai terasa semakin asing sejak kejadian semalam. Tangannya gemetar saat membuka layar ponsel.
Nayaka:
Aku ada waktu luang minggu depan. Gimana kalau aku nyusul ke sana sebentar? Buat kejutan kecil.
Dadanya langsung sesak. Rasa bersalah menyambar begitu kuat, seperti debur ombak yang tak memberinya waktu untuk bernapas. Seketika wajah Nayaka melintas jelas di benaknya—dengan tatapan teduh, cara bicaranya yang tenang, dan kebiasaan kecilnya mengusap punggung tangan Hanum setiap kali ia lelah atau gelisah.
Selama ini Nayaka adalah rumah. Tempatnya pulang, tanpa banyak tanya. Tempatnya menumpahkan segala lelah, marah, kecewa—dan ia selalu didengarkan, tanpa dihakimi. Dan kini, setelah apa yang terjadi bersama Ega... Hanum merasa telah mengkhianati ketenangan itu. Menghancurkan satu-satunya hal yang tidak pernah menuntutnya untuk mencintai balik—hanya meminta untuk tetap tinggal.
Ia memeluk lututnya sendiri, menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang mulai menyayat. Dalam benaknya, hanya ada satu kalimat:
Aku harus bertemu Nayaka. Segera.
Ia ingin memeluknya. Ingin menceritakan semuanya—entah akan dimaafkan atau tidak. Hanum menulis balasan, lalu menghapusnya. Berkali-kali. Hingga akhirnya ia kirim satu kalimat singkat:
Hanum:
Aku kangen banget... Tolong datang.
Lalu ponsel itu ia letakkan pelan di atas bantal. Ia menatap langit-langit kamar, berharap waktu bisa diputar mundur… atau setidaknya diberi keberanian untuk menghadapi pilihan yang kini mulai menyakitkan siapa pun yang terlibat.
Pekerjaan Hanum di Praha hampir rampung. Beberapa minggu lagi ia akan kembali ke Jakarta, kembali pada rutinitas lamanya—menulis, menghadiri rapat, menyusun bab-bab akhir untuk buku yang akan diterbitkan, dan tentu saja, kembali mempersiapkan pernikahannya dengan Nayaka.
Sesuai rencana, dua bulan setelah pertunangan mereka, janji suci itu akan diikrarkan. Semua sudah disiapkan. Gedung, undangan, catering, bahkan gaun pengantin yang sempat ia coba bersama ibunya—semuanya sudah tinggal dijalani. Namun malam itu mengubah segalanya.
Pertemuan kembali dengan Ega, percakapan-percakapan yang menggali luka lama, dan... ciuman itu—membuat Hanum tak bisa lagi menatap masa depannya dengan tenang. Pikirannya kabur. Hatinya bising.
Ia duduk di tepi ranjang dengan tubuh lemas, memeluk lutut seperti anak kecil yang kebingungan. Rasa bersalah mencengkram begitu dalam, membuat napasnya sesak setiap kali memikirkan Nayaka. Pria yang begitu sabar, begitu percaya padanya, dan selalu hadir dengan cinta yang tenang. Namun justru dalam ketenangan itulah Hanum merasa paling berdosa.
Ia mulai menyadari satu hal yang selama ini coba ia abaikan: hatinya belum benar-benar lepas dari Ega. Dan itu bukan sekadar nostalgia. Bukan hanya kenangan masa muda. Tapi ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang tertinggal di antara dinding kampus tua, bangku taman yang pernah mereka duduki, dan kata-kata cinta yang dulu ditolak sebelum sempat tumbuh.
Kini semuanya kembali menyerbu.
Dan Hanum merasa seolah dirinya terjebak di persimpangan yang sunyi—di mana tak ada arah yang tak menyakitkan.
Hanum menatap bayangannya di jendela apartemen, samar diselingi kelap-kelip lampu kota Praha yang mulai lelap. Matanya sembab, napasnya berat. Di balik diamnya, ada janji yang diam-diam ia ikrarkan pada dirinya sendiri malam itu. Ia akan jujur.
Hanum berjanji akan menceritakan semuanya pada Nayaka—tentang kisah tujuh tahun lalu yang selama ini ia simpan rapat-rapat, luka lama yang tak pernah ia izinkan sembuh, dan rasa yang diam-diam tumbuh kembali sejak kedatangannya di kota ini. Kisah itu bukan hanya tentang cinta yang ditolak, tapi juga tentang perasaan yang tidak pernah benar-benar hilang. Semuanya akan ia ungkap, meski dengan risiko yang besar.
Ia tahu, kejujurannya bisa menghancurkan segalanya. Bisa membuat pernikahan mereka batal hanya beberapa minggu sebelum hari yang sudah mereka rencanakan bersama. Tapi Hanum tak ingin membangun rumah dari kebohongan—apalagi untuk seseorang seperti Nayaka. Ia terlalu baik, terlalu sabar, terlalu penuh cinta untuk disakiti dengan diam-diam. Tentu, ia benar-benar menyesal, mengapa tidak dari dulu ia menceritakan tentang lukanya yang paling dalam ini, ia fikir dengan tidak menceritakannya itu sudah menyembuhkan namun, dia salah.
Meski semuanya sudah terlalu jauh, meski waktu mungkin sudah terlalu terlambat... Hanum percaya, kejujuran tetap lebih baik daripada berpura-pura. Dan ia siap menanggung akibatnya. Karena cinta yang sejati, seharusnya tidak menyisakan penyesalan.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.