“Kadang kita tidak tahu apakah kita sedang bertahan… atau sekadar menunda kejujuran.”
Kedatangan Nayaka ke Praha seperti seseorang yang mengetuk pintu saat aku baru saja mulai membereskan isi rumah yang berantakan. Tak siap, tapi juga tak mungkin menolak.
Kemarin malam dia menghubungiku, bahwa dia akan segera terbang ke Praha sebelum melanjutkan perjalanan bisnisnya, Nayaka benar-benar membuatku gugup. Sepertinya, dia tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Namun, entah mengapa bukan kehadirannya yang aku butuhkan.
Setelah menjemputnya dari bandara dipagi hari, Kami langsung menghabiskan hari itu berjalan menyusuri kota. Tanpa Ega. Tanpa jadwal kerja. Hanya kami berdua, seperti pasangan yang tengah berlibur—atau mencoba berpura-pura sedang tidak menyimpan tanda tanya besar dalam diamnya.
Nayaka memintaku menunjukkan tempat favoritku sejauh ini. Aku mengajaknya ke Vyšehrad. Tempat tinggi di pinggiran selatan kota, di mana langit tampak lebih luas dan segala sesuatu terlihat kecil dari atas.
Kami duduk di bangku batu dekat tembok benteng. Di bawah kami, sungai Vltava mengalir tenang. Wajah Nayaka diterpa sinar matahari sore yang lembut. Ia tampak lelah, tapi tetap dengan ketenangan yang jadi ciri khasnya.
“Indah banget di sini,” katanya pelan.
Aku mengangguk, membetulkan syalku yang diterpa angin.
“Kamu kelihatan jauh, Num,” lanjutnya. “Sejak tadi.”
Aku menoleh. “Jauh gimana?” Mencoba untuk mendekatkan tubuhku lebih dekat kepadanya.
“Bukan badannya. Tapi pikirannya.” Ia tersenyum kecil. Bukan senyum menggoda. Tapi semacam senyum… tahu. Entahlah, Nayaka benar-benar tidak tahu tentang Ega, dia tidak mengenalnya sama sekali bahkan aku tak pernah menyinggung namanya, namun entah mengapa aku merasa Nayaka tahu tentang Ega, tahu tentang perasaan yang pernah ada padanya.
Aku menarik napas. “Maaf. Aku cuma… banyak yang dipikirkan soal proyek ini. Banyak hal baru yang harus kuproses cepat.”
“Kamu selalu bisa kerja keras tanpa kehilangan diri kamu. Itu salah satu hal yang bikin aku jatuh cinta,” katanya, tenang.
Aku menunduk.
“Num…”
Suara Nayaka terdengar pelan, hati-hati, tapi penuh intensitas.
“Kamu bahagia, kan? Sama aku?”
Aku tidak langsung menjawab. Dan itu, mungkin, sudah cukup jadi jawaban.
Tapi tetap saja, aku mencoba. “Iya. Aku… merasa aman bersamamu. Kamu selalu ada, dan selalu tahu caranya membuatku merasa dicintai.” Nayaka adalah lelaki paling manis, kuaikui itu.
“Tapi bukan itu yang aku tanya.” Tatapan Nayaka menembus. Bukan menuntut, tapi juga tak membiarkanku bersembunyi. “Aku tanya… kamu bahagia?”
Ada jeda. Lalu aku berkata pelan, “Aku sedang belajar untuk bahagia.”
Ia mengangguk, pelan. “Itu jawaban yang jujur. Meskipun… agak menyakitkan.”
Aku menoleh padanya. “Nay… aku nggak pernah main-main soal ini. Kamu tahu itu. Aku terima lamaranmu bukan karena aku ragu, tapi karena aku… ingin hidup yang tenang. Yang tidak lagi harus bergantung pada orang yang datang dan pergi seenaknya.”
“Dan aku bisa jadi semua itu buat kamu,” katanya. “Tapi aku juga tahu… aku bukan yang pertama membuat jantung kamu deg-degan.”
Aku tertawa kecil. “Semua orang punya masa lalu.”
“Iya. Tapi kadang masa lalu itu belum selesai.”
Aku memejamkan mata sebentar. Angin sore menyapu pipiku. Aku ingin menyangkal. Tapi lidahku tak bisa berbohong sehalus itu.
Nayaka menggenggam tanganku. Hangat dan mantap, seperti biasanya.
“Kalau suatu hari kamu merasa harus jujur—pada aku, pada dirimu sendiri—lakukan. Aku lebih siap kehilanganmu dengan jujur, daripada memilikimu dengan separuh hatimu tersangkut di masa lalu.”
Dan dengan kalimat itu, ia melepaskan genggamannya perlahan. Lalu berdiri.
“Ayo pulang. Hari udah mulai gelap.”
Kami berjalan berdampingan menuruni benteng tua itu. Tapi terasa seperti sedang menjaga jarak agar tidak terlalu menyentuh luka yang belum berdarah.
Nayaka tahu betul—aku menerima lamarannya dalam keadaan sadar penuh. Tidak karena paksaan. Tidak pula karena euforia sesaat. Tapi ia juga tahu, hatiku belum sepenuhnya jatuh kepadanya.
Ia menerimanya dengan tenang. Seperti caranya menerima segala hal: penuh kendali dan keyakinan. Ia tak menuntut cinta yang membara sejak awal, hanya memintaku untuk memberi kesempatan. “Kalau kamu belum jatuh, biar aku yang bantu kamu jatuh,” katanya suatu malam, dengan senyum kecil yang terlalu sabar untuk ditolak.
Kedekatan kami yang sudah lama sebagai teman membuat segalanya tampak akrab, nyaman, dan… datar. Kadang aku bingung, apakah ini cinta yang tumbuh dari persahabatan? Atau sekadar bentuk keterikatan yang terbiasa?
Aku tidak bisa lagi membedakan mana rasa sayang karena kenyamanan, mana yang lahir dari getaran yang sesungguhnya. Mungkin karena selama ini aku terlalu sibuk menyembuhkan diri sendiri, hingga tak sadar bahwa aku sedang belajar mencintai seseorang… dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.
Tapi bukankah cinta yang dewasa memang bukan tentang jantung yang berdebar, melainkan tentang tenang yang tak ingin pergi?
Atau… itu hanya pembenaran dari seseorang yang takut mengulang luka lama?
****
Malamnya, kami makan malam di sebuah restoran klasik di Mala Strana. Musik piano mengalun pelan. Lilin di meja menyala lembut. Dari luar, mungkin kami terlihat seperti pasangan sempurna.
Tapi kami tahu, di antara gelas anggur dan piring daging asap, ada ruang hening yang belum berani kami sentuh.
“Aku pulang ke Jakarta lusa,” katanya sambil memotong steaknya. “Rapat di Berlin dimajukan. Tapi aku senang bisa sempat ketemu kamu di sini.”
Aku tersenyum. “Terima kasih udah datang.”
“Jaga dirimu, Num.”
Aku mengangguk. “Kamu juga.”
Dan di akhir malam itu, saat kami kembali ke hotel berbeda, aku memeluk Nayaka sedikit lebih lama. Bukan karena tak ingin dia pergi.
Tapi karena aku tahu, pelukan itu mungkin akan terasa berbeda lain kali.
Dan saat aku kembali ke kamar, membuka laptop dan berusaha menulis, jari-jariku berhenti di kalimat pertama. Aku menatap layar kosong cukup lama sebelum akhirnya menulis satu kalimat:
“Beberapa cinta datang untuk menetap. Tapi ada cinta yang datang untuk menyadarkan bahwa kita belum benar-benar pulih.”
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.