Ketukan pelan terdengar di pintu apartemen kecil tempat Hanum menginap. Hanum yang sejak tadi mondar-mandir di dalam, langsung terdiam. Ia tahu siapa yang ada di balik pintu itu. Langkahnya mendadak terasa berat. Ia membuka pintu perlahan.
Dan di sana, Nayaka berdiri. Dengan coat gelap dan syal abu yang belum dilepas, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya… bukan wajah marah, tapi juga bukan wajah yang tenang. Lebih seperti seseorang yang terlalu banyak menyimpan tanya—dan lelah menunggu jawaban.
“Hai,” sapa Hanum pelan.
Nayaka hanya mengangguk. Pandangannya menelusuri wajah Hanum, seolah mencari jejak kejujuran dalam setiap garis lelah dan sorot matanya yang tak seterang biasanya. Ia masuk tanpa banyak bicara. Hujan Praha masih menetes pelan di pundak jasnya, membentuk noda-noda gelap di kain abu-abu yang biasa ia kenakan ke rapat penting. Tapi kali ini, ia tak sedang menghadiri pertemuan bisnis. Ia datang karena pesan pendek dari seseorang yang hatinya belum ia tahu harus ia percaya sepenuhnya… atau lepaskan.
Setelah menerima pesan Hanum—“Hai, aku kangen...”—Nayaka langsung memesan tiket penerbangan paling cepat. Tidak ada jeda, tidak ada tanya. Ia hanya tahu bahwa satu-satunya cara memahami apa yang sebenarnya tersimpan di balik kata “kangen” itu adalah dengan menatap mata Hanum langsung.
Meski dalam hatinya, ia sadar: kalimat itu tidak sepenuhnya lahir dari kerinduan yang murni. Bukan karena Hanum tak peduli. Tapi karena Hanum masih bingung. Dan itu, bagi Nayaka, lebih menyakitkan daripada jika Hanum benar-benar sudah berpaling.
Ia menatap Hanum yang kini berdiri di ambang pintu, seolah tak tahu harus menyambut dengan pelukan atau hanya diam meminta maaf. Dan entah mengapa, justru di tengah ketidakpastian itulah Nayaka merasa paling dekat dengan kebenaran.
Karena kadang, seseorang bisa saja hadir bukan untuk diharapkan kembali mencintai dengan utuh—melainkan untuk diingatkan, bahwa cinta juga bisa menjadi bentuk keberanian untuk bertahan, meski tahu hatimu belum sepenuhnya utuh.
Hanum mempersilakan duduk, tapi Nayaka hanya berdiri di dekat jendela. Tangannya menyentuh permukaan meja kecil di sebelahnya, tanpa tujuan. Lalu ia akhirnya bicara:
“Kamu bilang ingin bicara. Aku datang.”
Hanum menggenggam kedua tangannya sendiri, duduk di ujung sofa, menatap Nayaka seperti seseorang yang sedang menyiapkan hati untuk luka.
“Ada yang ingin aku ceritakan, mungkin terkesan terlambat…”
Nayaka menghela napas pelan. “Baiklah,” ucapnya, meski ia sendiri tak sepenuhnya tahu apa yang akan ia dengar. Tapi hatinya sudah menebak—ini pasti tentang pria itu. Pria yang bekerja bersama Hanum selama di Praha. Pria dari masa lalu yang tak pernah disebutkan, hingga segalanya mulai terasa retak.
Sejak Hanum berangkat, Nayaka tahu ia tak bisa hanya duduk diam dan berharap semuanya baik-baik saja. Ia tidak pernah berniat menjadi kekasih yang curiga, tapi ia juga bukan orang yang bisa menutup mata. Terutama saat Hanum mulai menjauh perlahan, dengan cara yang bahkan tak ia sadari sendiri.
Tentu saja Nayaka tahu siapa partner kerja Hanum dalam proyek seni ini. Ia bukan hanya tunangan Hanum, tapi juga atasannya di kantor—orang yang memegang sebagian besar berkas dan proposal kerja sama, termasuk nama-nama kolaborator proyek luar negeri itu.
Dan saat nama E. Renaldi muncul dalam daftar fotografer pendamping penulis untuk proyek tersebut, sesuatu di d**a Nayaka mengeras. Bukan karena cemburu… tapi karena naluri.
Ada yang berbeda dari cara Hanum bersikap sejak berada di Praha. Cara ia membalas pesan yang semakin jarang, atau nada suaranya yang sedikit lebih hati-hati saat menyebut soal pekerjaannya di sana.
Nayaka tahu, ada sesuatu yang sedang disembunyikan Hanum. Sesuatu yang cukup membuatnya memesan tiket mendadak, terbang melintasi benua, dan berdiri di ambang pintu apartemen Hanum malam ini.
Dan kini, ia hanya ingin mendengar langsung dari bibir Hanum—bukan untuk menghakimi, tapi untuk tahu seberapa besar luka yang mungkin sedang disiapkan oleh semesta untuk hatinya.
Hanum menunduk, lalu perlahan berkata, “Aku akan cerita. Semuanya. Bukan cuma tentang kejadian di sini... tapi juga tentang tujuh tahun lalu.”
Nayaka tetap diam. Hanya matanya yang menatap lurus, siap mendengar, tapi tak bisa menyembunyikan ketegangan di balik rahangnya yang mengeras.
“Tujuh tahun lalu, aku mencintai Ega. Aku menyatakan perasaanku... tapi dia menolak. Alasannya masuk akal—kami sedang menyusun skripsi, hidup masih berantakan, dan dia bilang aku terlalu baik untuk diseret dalam ketidakpastian. Tapi kenyataannya, aku hancur. Dan sejak saat itu, aku menutup semua kemungkinan untuk bicara tentang cinta.”
“Lalu kamu datang. Bertahun-tahun setelahnya. Penuh perhatian. Penuh ketenangan. Kamu jadi tempat aku bersandar… tempat aku merasa aman.” Hanum mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku nggak pernah jujur tentang siapa yang pernah membuatku patah. Bahkan ketika kamu mulai serius. Bahkan saat kamu melamarku.”
Nayaka menunduk. Tersenyum kecil, tapi pahit. “Karena kamu takut aku pergi?”
Hanum mengangguk pelan. “Dan juga karena aku pikir... aku sudah selesai dengan Ega. Sampai akhirnya aku bertemu dia lagi di sini. Dan semuanya kembali seperti mimpi buruk yang belum selesai.”
Nayaka mengangguk pelan. Lalu bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar:
“Kamu masih mencintainya?”
Hanum tak langsung menjawab. Ia menatap lantai, menahan air mata. “Aku... tidak tahu. Yang aku tahu, aku masih terluka. Dan aku masih terjebak. Tapi bukan berarti aku tidak ingin memilih.”
“Lalu siapa yang kamu pilih, Hanum?” suara Nayaka sedikit bergetar.
“Kamu.” Hanum berdiri, mendekat. “Tapi aku tahu itu nggak cukup. Karena cinta bukan cuma soal pilihan. Tapi soal keberanian untuk jujur. Dan aku sudah terlalu lama berbohong, bahkan pada diriku sendiri.”
Nayaka menatapnya. Dalam diam yang panjang, penuh pergolakan.
“Aku ingin mencintaimu dengan benar,” lanjut Hanum, suaranya hampir pecah. “Tapi kalau kamu memilih pergi, aku akan terima. Karena kamu berhak mendapatkan seseorang yang tidak setengah hati.”
Nayaka masih diam. Lalu akhirnya berkata, pelan tapi tegas:
“Aku datang bukan untuk menghakimi. Aku datang karena aku masih ingin percaya. Tapi kepercayaan itu… retak.”
“Kalau retak, bisa diperbaiki,” bisik Hanum.
“Bisa,” jawab Nayaka. “Tapi tidak sekarang.” Ia meraih jaketnya, berjalan pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia berbalik.
“Terima kasih sudah jujur. Itu langkah pertama.”
“Tapi langkah selanjutnya, Hanum… bukan hanya milikmu. Itu butuh waktu. Dan mungkin... butuh jarak.”
Lalu pintu tertutup. Dan Hanum hanya berdiri di sana, meremas jemarinya yang dingin. Malam itu, ia tidak kehilangan Nayaka. Tapi ia tahu, cintanya sedang diuji oleh waktu.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.