“Yang paling sulit bukan melupakan masa lalu, tapi berpura-pura ia tak pernah memengaruhimu.”
Sejak Nayaka kembali ke Jakarta, kamar hotelku terasa lebih sunyi. Padahal sebelumnya, aku terbiasa sendiri. Tapi kehadiran Nayaka—walau hanya sebentar—seperti menciptakan gema kecil dalam ruang-ruang hatiku yang semula hening. Dan ketika ia pergi, yang tersisa hanyalah gema itu. Berulang-ulang.
Ia meninggalkan pesan manis di atas meja kerja:
“Jaga dirimu baik-baik di kota yang cantik ini. Kalau suatu hari kamu tahu jawaban hatimu, aku tetap akan di sini. Menunggu, atau melepaskan—dengan lapang. Karena kamu berhak memilih dengan jujur.”
Aku membaca kalimat itu tiga kali sebelum menyelipkannya ke halaman depan jurnal kerjaku. Entah untuk jadi pengingat, atau luka kecil yang kutahan.
⸻
Studio kerja kami dipindahkan ke ruang lantai dua sebuah galeri tua di distrik Vinohrady. Langit-langit tinggi, jendela besar, aroma cat minyak dan kayu tua. Ruang yang seharusnya menginspirasi, tapi terasa terlalu dekat dengan kenangan yang belum selesai.
Ega sudah ada di sana saat aku tiba. Duduk di lantai, membongkar peralatan kamera. Ia tidak menyapaku. Tapi keheningannya bukan dingin—lebih seperti… hati-hati.
Aku ikut duduk di seberangnya. Tak ada percakapan selama beberapa menit, hanya suara gesekan barang dan nafas kami masing-masing. Lalu, seperti biasa, ia memecah diam duluan.
“Dia udah pulang?” tanyanya, tanpa menoleh.
Aku mengangguk. “Iya. Tadi pagi.”
“Gimana perasaanmu?”
Pertanyaan itu terlalu langsung. Terlalu personal. Tapi mungkin… memang waktunya tak lagi berpura-pura.
“Campur aduk,” jawabku jujur. “Aku sayang dia. Tapi aku belum tahu… apakah sayangnya sama seperti yang dia harapkan.”
Ega akhirnya menatapku. Mata itu masih sama—mata yang pernah membuatku percaya akan banyak hal, lalu meninggalkanku tanpa cukup penjelasan.
“Kamu selalu terlalu jujur dengan orang lain, Num,” katanya pelan. “Tapi kamu nggak pernah benar-benar jujur sama dirimu sendiri.”
Aku menatap balik. “Mungkin karena aku belum tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.”
“Karena kamu terlalu takut untuk mengakuinya.”
Aku menarik napas. “Dan kamu? Apa kamu udah selesai dengan semuanya? Dengan aku?”
Ia diam. Lama. Lalu berkata, “Nggak ada yang benar-benar selesai, Num. Ada yang kita tutup rapat-rapat, tapi bukan berarti udah selesai.”
Ada jeda, lalu ia menambahkan, “Aku datang ke proyek ini karena aku pikir… aku sudah selesai. Tapi lihat kita sekarang.”
Aku menunduk. Suara-suara di luar galeri samar terdengar. Kota ini terlalu tenang untuk percakapan yang bergemuruh di dalam kepala.
“Kita kerja ya, Ga. Kita di sini buat itu,” kataku akhirnya.
“Iya. Kita kerja,” sahutnya.
Tapi saat dia mengangkat kameranya dan mengarahkannya padaku, aku tahu—ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang melihat ulang sesuatu yang dulu pernah ada, dan memutuskan apakah masih layak disimpan… atau dibiarkan berlalu.
Klik.
Suara rana kamera berbunyi pelan.
“Kenapa kamu foto aku?” tanyaku, sedikit terganggu.
“Karena kamu sedang jujur. Dan itu jarang terjadi,” jawabnya datar.
⸻
Malamnya, aku menulis di kamar. Tapi bukan untuk proyek. Aku menulis di jurnal pribadiku. Halaman kosong itu menyambut seperti sahabat lama.
“Hari ini aku sadar, hatiku mungkin tidak sedang mencari cinta baru. Tapi juga belum bisa sepenuhnya melepas cinta lama. Dan di antaranya, aku berdiri—bingung, ragu, tapi masih mencoba tetap waras.”
Aku menutup jurnal, mematikan lampu, dan berbaring. Di luar jendela, Praha bersinar pelan, seperti kota yang menyimpan banyak cerita tak selesai.
Dan aku sadar, salah satu ceritanya… adalah milikku.
Dulu, Ega bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang mahasiswa fotografi tingkat akhir yang sering nongkrong di ruang baca fakultas seni. Sementara aku, mahasiswi arsitektur tahun ketiga, lebih sering menatap maket dan sketsa daripada manusia.
Kami pertama kali bicara karena rebutan kursi.
Hari itu ruang baca penuh. Aku datang dengan setumpuk buku dan mood yang buruk. Kursi di dekat jendela adalah satu-satunya tempat yang punya cahaya cukup dan tenang. Tapi saat aku sampai di sana, dia sudah duduk lebih dulu, headphone di telinga, dan kamera tergantung di lehernya.
“Aku duluan,” katanya tanpa melepas headphone, seolah tahu aku akan protes.
“Tempat ini nggak bisa direservasi,” balasku ketus.
Ia menoleh, menatapku sebentar. Lalu tersenyum.
“Kalau kamu butuh cahaya, kita bisa duduk bareng. Aku juga nggak suka gelap.”
Entah kenapa, aku setuju.
Itu awalnya. Seminggu kemudian, kami mulai saling menyapa. Sebulan kemudian, kami mulai saling menunggu. Dan tanpa pernah benar-benar membicarakannya, kami menjadi sesuatu. Bukan pacar, bukan sekadar teman. Tapi ada ‘kita’ di antara ruang-ruang diam yang kami ciptakan bersama.
Ega membuatku merasa dilihat. Ia tidak pernah memintaku menjadi versi yang lebih manis, lebih kalem, atau lebih penurut. Ia mencintai caraku berpikir keras, caraku mendebat, bahkan caraku meragukan segalanya. Ia melihatku—dan entah kenapa, itu cukup untuk membuatku jatuh.
Kami berjalan beriringan hampir dua tahun.
Sampai malam itu.
Aku masih ingat—hujan deras di luar studio kampus, Ega terlambat datang ke presentasiku. Padahal dia yang paling semangat soal proyek kompetisi itu. Tapi bukan hanya soal waktu. Ada sesuatu yang berubah. Cara dia menatapku, terlalu gelisah. Cara dia bicara, sepotong-sepotong.
Dan saat aku tanya apa yang sebenarnya terjadi, dia diam.
Diam terlalu lama.
Lalu berkata, “Aku harus pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Ke Eropa. Ada program magang selama setahun di Budapest. Aku baru dapat kepastian tadi pagi.”
Aku terdiam. “Kamu daftar tanpa bilang ke aku?”
Ia mengangguk. “Karena aku nggak yakin keterima. Dan… aku juga nggak yakin kamu mau ikut kalau aku ajak.”
“Aku nggak perlu diajak, Ga. Aku cuma perlu tahu.”
Tapi yang paling menyakitkan bukan kepergiannya.
Yang paling menyakitkan adalah: ia pergi tanpa pamit benar-benar. Hanya pesan singkat dan satu foto kami yang ditinggalkan di laci studio.
“Kalau ada waktu, temui aku lagi nanti. Di kota yang punya cerita.”
Setahun kemudian, aku datang ke Budapest. Tapi dia sudah pergi.
Dan sejak itu, aku belajar membenci kota-kota tua. Bangunan tua. Aroma kopi. Dan… kamera.
⸻
Kilas balik itu mengendap di dadaku sepanjang malam. Ketika keesokan paginya aku melihat Ega berdiri di jendela studio, memotret cahaya pagi yang jatuh di sudut lantai, aku bertanya-tanya—apa yang sebenarnya dia cari di balik semua ini?
Lalu ia menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak proyek ini dimulai, ia berkata dengan suara pelan, “Dulu aku nggak siap.”
Aku tidak menjawab.
Karena aku juga tahu, aku belum selesai marah.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.