11. Ruang Sendiri

Terlanjur Bertunangan 1639 words 2025-07-24 09:58:33

Langit Praha yang bersalju lagi-lagi menjadi saksi, bahwa hidup sangat pandai bercanda denganku. Aku sudah berada dalam lingkaran nyaman itu, memiliki tunangan baik hati dengan segala hal yang dimilikinya dia rela mencintaiku dan sangat tahu bahwa aku masih mencoba untuk mencintainya. Namun aku mempermainkannya, menganggap bahwa dia terlalu mudah untukku, aku menyesali segalanya. Kejujuranku? tentang perasaanku pada Ega? tentang ciuman itu? iya, segalanya. Aku tidak menyesali kejujuranku padanya, yang aku sesali adalah apa yang telah aku lakukan sebelumnya. Seharusnya aku tahu diri, bahwa ada seseorang yang sudah siap membersamaiku, apapun itu yang terjadi. Bukan orang yang meninggalkanku tanpa pamit.


Aku masih ingat, pertemuan pertamaku dengan Nayaka. Saat itu, sekitar empat tahun lalu aku datang dengan sukarela ke kantornya, melamar pekerjaan. setelah beberapa tahun menjadi freelancer dengan gaya hidup yang tidak sehat, aku siap membuka lembaran baru untuk hidupku. Aku melamar pekerjaan di sebuah firma desain kecil yang mulai naik daun. Kupikir, ini awal yang sederhana. Tak kusangka, justru di tempat itu, hidupku mulai berubah arah. Dan di sana, di lobby menuju tempat wawancara, untuk pertama kalinya aku melihatnya. Nayaka. Pria dengan kemeja putih yang digulung rapi di lengan, rambut sedikit berantakan tapi justru membuatnya tampak lebih hidup. Ia berdiri dengan tenang di depan lift, mengetik sesuatu di ponsel sambil sesekali tersenyum kecil—senyum yang kemudian ia lemparkan padaku saat menyadari kehadiranku. Senyuman itu… hangat, tanpa dibuat-buat. Seolah kami bukan dua orang asing, seolah ada bagian dari semesta yang sudah memperkenalkan kami sebelumnya. Aku membalas senyum itu, gugup, canggung, tapi mencoba terlihat tenang. Kami masuk ke dalam lift bersamaan. Hanya kami berdua. Lift tertutup. Hening sesaat. Jantungku berdetak lebih cepat, entah karena tekanan wawancara atau karena aroma parfumnya yang samar namun menenangkan.


“Ke lantai berapa?” tanyanya sambil menoleh padaku, jarinya sudah bersiap menekan tombol. Suaranya…tenang, dalam, dan terdengar… ramah.

“Lantai empat,” jawabku cepat, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai terasa hingga ke telapak tangan. Entah gugup karena dirinya, atau karena wawancara kerjaku yang pertama kali.

Dia menekan tombol itu, lalu menatapku sebentar dan mengangguk kecil. “Semoga harimu menyenangkan,” katanya, ditambah senyuman humble itu.

Aku mengangguk, sedikit kaku, tapi hatiku menghangat. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa diterima, tanpa perlu tahu siapa aku. Aku tidak tahu saat itu, bahwa pria yang berdiri di sampingku adalah pemilik firma tempat aku melamar kerja. Bahwa pria dengan senyum tenang itu akan menjadi bagian dari hidupku yang paling stabil… dan pada saat yang sama, paling rumit.

Berikutnya, aku menunggu diruang tunggu untuk melakukan wawancara kerja di firma desain, di sebuah ruangan dengan dinding kaca yang menghadap ke taman kecil. Sederhana, tapi menenangkan. Saat nama ku dipanggil, aku masuk dan mencoba fokus menjawab pertanyaan dari salah satu senior tim desain. Saat sesi hampir selesai, pintu ruang wawancara diketuk pelan. Dan masuklah dia…pria di lift tadi. Aku sontak menegakkan punggung. Wanita yang mewawancarai langsung berdiri dan memberi sedikit aba-aba formal, “Pak Nayaka, ini Hanum, kandidat untuk posisi desainer konten visual.”

Jadi dia…..pria yang bertingkah ramah di lift tadi adalah pimpinan di firma ini, dia tidak terlihat seperti seorang CEO or apapun itu , seperti yang digambarkan di film dan novel. CEO sombong yang tidak ramaha, namun dia sebaliknya.

Nayaka mengangguk sopan, lalu duduk di sisi kursi panjang, membuka laptop, lalu menatapku sebentar, jujur aku melihat sunggingan senyuman disana, entahlah mengapa dia begitu ramah, atau hanya perasaanku saja. “Jadi, kamu sudah jadi freelancer sejak tamat kuliah? tanyanya, nada suaranya datar tapi tak terdengar menghakimi.

Aku mengangguk, “ iya pak…” jawabku singkat, sangat singkat.

“oke…saya lihat disini kamu sudah banyak mengerjakan proyek-proyek klien dari luar negeri ya..” Sekilas, aku melihat mata Nayaka berubah. Tak banyak yang dia tanyakan setelah itu. Hanya beberapa komentar singkat tentang portofolioku, lalu ia menutup laptopnya dan berkata ringan, “Selamat bergabung, Hanum.” Aku nyaris tak percaya. Dalam sekejap, dunia yang kacau di belakangku terasa menjauh.Ini terlalu mudah, aku fikir aku akan menunggu selama berhari-hari, namun nayatanya Nayaka langsung menerimaku.

Hari-hari setelahnya berjalan dengan tenang. Aku mulai bekerja, mengenal ritme tim, dan secara tak terduga, semakin sering berinteraksi dengan Nayaka. Dia bukan bos sombong yang suka menunjukkan kekuasaan. Tapi entah bagaimana, keberadaannya selalu terasa. Ia sering datang ke mejaku hanya untuk memastikan kerjaan sudah selesai, awalnya. Namun lama kelamaan, mengajakku bertemu diluar dan semua terjadi begitu saja. Kami masih berteman dekat, satu kantor menggosipiku dengan Nayaka, namun aku bersikap biasa saja, entahlah aku tidak berekspektasi banyak dengannya, sebab dia adalah atasanku dan aku benar-benar baru mulai menata hidupku kembali dari ekspektasi tak jelasku pada Ega.

Hingga satu tahun bekerja, Nayaka masih tetap konsisten baik kepadaku, dia memang baik, namun ada ruang yang berbeda untukku, itu yang dikatakan oleh teman-teman kerjaku dan sepertinya Nayaka juga mengakuinya. Kami semakin dekat, berawal dari teman cerita, hingga di tahun kedua kedekatan kami, Nayaka menyatakan perasaannya. Aku tidak percaya dan menyangka, aku hanya merasa Nayaka adalah pria yang baik dan terlalu jauh untukku. Aku bahkan belum siap untuk pernyataan cintanya, meminta waktu dan dia memberikannya, dia terlalu baik untukku. hingga setahun setelah pernyataan cintanya, aku menerimanya dan kami benar-benar menjalin hubungan. Tak ada nama Ega dalam hubungan kami selama ini, sebab aku tak mau mengungkitnya, bagiku Ega bukanlah cinta yang belum usai, melainkan kebodohanku. Aku yang terlalu bodoh terjebak dengan perasaanku sendiri. Kini, Ega muncul, baru dua minggu dia berhasil membuat hubunganku dengan Nayaka berantakan seperti sekarang ini. Aku yang terlalu bodoh? atau Ega yang terlalu berarti? bukan, aku hanya trauma dengan segalanya, aahhh….

Aku kembali membayangkan, raut wajah Nayaka yang berubah kala mendengar pengakuanku, tentang ciuman itu? sialan! untuk pertama kalinya aku menyesal telah jujur, tapi…ketidakjujuran malah menyiksaku. Menyaksikan Nayaka yang pergi tanpa sepatah katapun setelah mendengar pengakuanku, membuatku juga hancur. Namun aku tahu, mengejarnya adalah sebuah keegoisan, aku yakin kami butuh ruang untuk sendiri, ruang untuk memikirkan apakah kami sama-sama layak untuk diperjuangkan dan masih mau memperjuangkan.

Nayaka’s

Pengakuan Hanum benar-benar membuatku hancur, bagaimana bisa mereka berciuman? di kota tempat aku melamarnya? sungguh….menyakitkan jika mengingatnya kembali. Aku memilih Praha dengan harapan bisa membahagiakannya, aku ingin menciptakan hubungan yang romantis seperti yang ia inginkan, namun nyatanya aku bahkan sudah trauma dengan kota ini. Apa aku terlalu egois? sejak awal pengakuan cintaku, Hanum sudah mengatakan bahwa ia belum siap dengan hubungan dalam bentuk apapun, namun aku memaksa menunggunya.

Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa, dia terlalu… berbeda. Tidak banyak mengeluh, tidak suka drama, dan terlalu jujur. Hal itu yang membuatku jatuh hati, kesederhanaannya dalam bersikap, ketegasannya dalam berkata, dan bagaimana ia membuat dunia terasa lebih tenang meski dalam kekacauan. Ironis kan? Pada akhirnya, kejujuran yang membuatku mencintainya adalah kejujuran yang juga menghancurkanku.

Setelah pengakuannya tadi tentang Ega, tentang ciuman itu, tentang perasaannya yang belum selesai?, mengapa dia bisa terlalu jujur padaku sih…iyaaa aku menyukai kejujuran, tapi mengapa terdengar dia seperti tak menghargai perasaanku ya. Dan hal itu benar-benar membuatku tak sanggup berdiri di hadapannya lebih lama. Aku langsung pergi begitu saja, melangkah keluar tanpa arah. Kini, aku berjalan melewati dinginnya malam Praha, dengan salju yang turun perlahan seperti ikut menertawakanku. Miris.

Suasana bersalju… bukankah seharusnya menjadi momen paling romantis bagi sepasang kekasih? Tapi kenyataannya, aku seperti orang bodoh yang tersesat dalam kisah cinta yang tak kuketahui lagi arahnya. Setiap langkahku seperti menggiringku lebih jauh dari Hanum, dari hubungan yang kupertahankan mati-matian. Aku mencintainya, itu pasti. Tapi cinta seperti apa yang sanggup bertahan setelah mendapakan kenyataan sepahit ini?

Langkahku tertarik pada sebuah bar kecil yang terlihat nyaman, dengan cahaya temaram berwarna kekuningan dari dalam yang seperti menawarkan pelarian singkat. Aku mendorong pintunya, dan aroma alkohol, serta suara musik pelan menyambutku. Tidak banyak orang di dalam, hanya beberapa wajah asing yang tampak sama lelahnya sepertiku. Aku memilih duduk disalah satu kursi bar, berhadapan dengan bartender dan memesan segelas whisky, entahlah aku tidak terlalu mengerti minuman, tapi Zaky sering menyebut minuman ini setiap kali dia stres, dan aku sedang stres saat ini. Seteguk demi seteguk, pikiranku memutar ulang semuanya. Wajah Hanum. Tatapannya saat mengaku. Getar suaranya. Dan ciuman itu… di kota ini… kota yang sama tempat aku pernah melamarnya dengan penuh keyakinan. Senyuman miris yang hanya bisa kuberikan. Dia baik, tapi juga kejam.

"Untuk Hanum…" gumamku, mengangkat gelas ke udara seperti sedang bersulang dengan luka, bayangannya dan kekejamannya. Untuk janji-janji yang patah, untuk kepercayaan yang runtuh, dan untuk cinta yang kini aku tak tahu akan seperti apa. Aku hanya ingin melupakan, segala hal bodoh itu, meski hanya untuk malam ini.

Bar itu cukup tenang, musik jazz pelan mengalun dari speaker tua di sudut ruangan. Cahaya remang membuat semua tampak kabur, seperti malam yang memang ingin menutupi segalanya. Aku menghabiskan setengah gelas whisky tanpa sadar, mataku kosong menatap meja, pikiranku masih berkecamuk.

Seseorang duduk di kursi sebelah. Aromanya samar—perpaduan parfum melati dan udara musim dingin. Awalnya aku tak menoleh, hingga suara lembut itu terdengar,

"Whisky di malam bersalju? Kamu pasti sedang memikirkan hal yang menyakitimu ya." Seseorang berbahasa Indonesia terdengar disebelahku.

Aku mendongak. Seorang wanita dengan rambut hitam gelap terurai rapi, mengenakan jaket kulit krem dan syal merah marun. Matanya tajam tapi teduh, seperti orang yang terbiasa membaca suasana. Dia menatapku sambil tersenyum tipis.

"Orang Indonesia juga?" tanyaku pelan.

Dia mengangguk. “kamu, bukan satu-satunya orang Indonesia disini…” kayanya tersenyum padaku.

Dia tertawa kecil, lalu memesan segelas wine putih kepada bartender. “Namaku Rania. Aku kerja di sini. Di Praha, bukan di bar ini. Kebetulan aku dan teman-temanku sedang ada acara disini…,” ujarnya, lalu menyender santai di kursi.

Aku mengangguk, lalu menyebut namaku. “Nayaka.”

Rania memiringkan kepala, memperhatikanku sejenak. “kayak suntuk banget…putus cinta?”

Aku menghela napas panjang. Tidak menjawab pertanyaannya dan kembali meneguk minumanku.

“Biasanya yang bikin orang duduk sendirian di bar jam segini, dengan wajah separah kamu, ya cuma dua: patah hati, atau kesepian.” Aku cuma nebak sih.

Aku mengangguk pelan. “Mungkin… keduanya.” jawabku malas.




Author's notification:

#vote #vote #vote

Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

    Please to leave a comment.

    Leave a comment
    0/300
    • Add
    • Table of contents
    • Display options
    • Previous
    • Next

    Navigate with selected cookies

    Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

    If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.