6.Kerja Bersama

Terlanjur Bertunangan 1703 words 2025-06-14 02:00:00

“Beberapa kerja sama lebih sulit bukan karena idenya, tapi karena sejarah antara orang-orang di dalamnya.”



Studio pagi itu tenang. Hanya ada suara pintu kayu yang sesekali berderit, dan langkah-langkah pelan di lantai parket yang usang tapi hangat. Di atas meja panjang yang kami pakai bersama, kertas sketsa, catatan, dan mood board mulai membentuk sebuah dunia kecil kami sendiri. Sebentar lagi, mungkin dua minggu lagi aku akan meninggalkan studio kecil ini, entahlah kenangan apa yang akan kubawa, kuharap segala tetap berjalan mulus seperti ini, hingga proyek ini selesai, terutama antara aku dan Ega.


Aku duduk di kursi ku, yang berada diseberang meja Ega, langsung berhadapan dengannya. Begitu sampai beberapa menit lalu aku langsung sibuk dengan laptop dan kerjaan. Menyusun outline bab-bab buku, menyelaraskan antara narasi, gaya visual, dan lokasi yang akan kami liput. Di seberangku, Ega yang sedaritadi sudah ada dan seakan tidak menyadari kehadiranku, kurasa dia sibuk dengan menata hasil jepretan hari sebelumnya—kaca patri gereja tua, atap merah dari ketinggian, dan detail ukiran pintu yang hampir luput dari mata kebanyakan orang. Aku juga akan larut jika mengingat kembali suasana tempat liputan kami semalam.


“Gila! kita ga salah pilih tempat kemarin…” ucapnya, memecah keheningan yang sedari tadi tercipta.


“Why…???” aku melihatinya, yang terlihat begitu mengagumi hasil jepretannya. Penasaran, aku berjalan ke mejanya. “yang mana Ga?” aku menelisik, melihati layar laptopnya, dan hanya menemui potretku yang seperti terlihat bingung diluar gereja tua tempat kami meliput kemarin.


“ini! indah banget….” ucapnya dengan yakin, menunjuk potretku yang sedari tadi muncul dilayar laptopnya.


“aku? gak jelas banget sih kamu, sumpah…!” kataku malas, mencoba kembali ke meja ku.


“tunggu…selain itu yang paling indah, ini jugaa….” ia mendorong laptopnya sedikit agar aku bisa melihat lebih dekat. “Aku pikir bab awal bisa dimulai dari Lesser Town. Sudutnya klasik, tapi nggak terlalu turistik. Bisa kasih pembaca rasa 'intim' sama kota.” jelasnya.


Aku menyetujui dalam diam. Ia tahu caranya melihat kota, bukan sebagai destinasi, tapi sebagai cerita. Jujur, aku juga sudah kesal dengannya.


“Aku pengin tulisanmu nggak sekadar deskriptif, Num…meski tulisanmu sudah sangat bagus, tapi kali ini aku ingin menambahkan ya…” katanya sambil menunjuk gambar sebuah jendela kecil di gang sempit. “Lihat ini. Ada keheningan yang aneh di sana. Aku yakin kamu bisa menangkapnya dalam kalimat.”


Aku terdiam sebentar. “Keheningan bukan selalu berarti sunyi. Kadang dia cuma cara kota berbicara tanpa suara.” Kataku spontan saat melihat hasil potretnya Ega.


Ega tersenyum. Senyum kecil yang dulu sering muncul saat kami mendiskusikan hal remeh-temeh seperti lampu jalan atau ubin tua. Huh, sepertinya semakin lama bersama Ega, aku akan semakin membuka lembar demi lembar buku yang telah aku tutup.


Aku kembali ke meja ku dan Kamipun kembali mulai bekerja lebih intens. Merancang urutan lokasi, mencocokkan cerita dengan gambar, berdiskusi tentang warna, tone, bahkan jenis kertas yang akan digunakan dalam cetakan buku nanti.


“Aku pengin ada bab khusus tentang detail,” kataku sambil menunjuk hasil foto close-up batu bata yang aus. “Orang-orang terlalu sibuk lihat katedral, mereka lupa jalan yang mereka lewati juga bagian dari sejarah.” Kataku dari meja kerja dan masih tetap fokus dengan layar laptop ku.


Ega menatapku, serius. “Kamu tahu, itu yang selalu aku suka dari cara kamu menulis. Kamu lihat hal kecil dan kamu buat orang lain juga memperhatikan hal itu, seperti kita bisa menikmati hal-hal kecil dan sederhana...”


Aku tersenyum kecil, menunduk. Sedikit canggung. Sebab, pujian itu yang selalu bikin aku lebih semangat untuk menulis sejak dulu, meski aku berkuliah di jurusan arsitektur, namun karena Ega, aku bisa menggali potensiku yang lain dan hingga kini aku bisa menggabungkan hobiku menulis dan jurusan arsitektur ku menjadi sebuah kerjaan yang menghasilkan dan aku enjoy melakukannya.


Hari ini berjalan dengan pola yang hampir sama, setiap harinya. Kami berdua bekerja profesional, tapi diam-diam, interaksi kami mulai berubah. Ada lebih banyak ruang bicara. Lebih sedikit keheningan yang dingin. Dan meski aku menyukainya, namun aku semakin takut. Sebab, aku semakin mengabaikan Nayaka, beberapa pesan darinya mulai jarang aku balas, kadang ketika dia menelpon, aku hanya akan memberikan waktu sebentar, mencari-cari kesibukan karena entah kenapa aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Ega, juga sejujurnya selama dua minggu aku bersama Ega, aku belum pernah sekalipun mengenalkannya dengan Nayaka sebagai rekan kerjaku disini. Entahlah, apa yang aku takutkan, hanya saja aku merasa sangat canggung dan tidak nyaman. Syukurnya, Nayaka adalah lelaki yang tenang dan tidak penuh curiga. Dia hanya ingin aku fokus dengan kerjaanku ini, karena itu adalah hal yang membuatku bahagia.




Sore ini, saat kami akan kembali meliput bangunan lainnya, di kawasan Vyšehrad, aku hampir terpeleset di tangga batu yang licin. Ega cepat menangkap tanganku. Hanya sebentar, tapi cukup lama untuk menyadarkanku… bahwa aku belum benar-benar mati rasa. Jantungku berdegup kencang, perasaan yang sudah lama tak kurasakan, seperti saat menaiki roller coaster, aku menyukainya, merindukan perasaan itu.


“Masih ceroboh, ya,” gumamnya pelan.


Aku hanya menepisnya sambil mengalihkan pandangan dan segera berpura-pura sibuk dengan kamera pocket-ku. Entah apa yang aku foto namun sesekali aku melirik Ega, yang dia juga ternyata sibuk memotretku.


“Ega!stop…!” kesalku, aku tidak nyaman, karena merasa diperhatikan dengan cara yang aneh.


“hahaha…aku hanya suka look kamu sekarang berpadu dengan kawasan ini, sungguh sangat tepat…” jelasnya. Aku senyum terpaksa dan memberikan kode padanya untuk kembali kerja. Namun Ega malah terkekeh dan kembali memotret.


Kota ini punya terlalu banyak lapisan. Dan mungkin, begitu pula dengan kami. Hubungan kami bisa terbilang rumit, menjadi dekat dan merasa memilki meski tanpa status yang jelas, merasa kehilangan meski tak pernah memiliki, kini kembali bertemu saat aku sudah berjanji untuk menikah dengan lelaki yang membantuku bangkit, meski dia sama sekali tak tahu apa yang membuatku terluka. Tentu, yang bodoh itu aku. Seperti kota ini, kota yang setiap bangunannya seperti menyimpan begitu banyak cerita yang rumit, meski terlihat indah, kawasan ini sudah berdiri sejak bertahun-tahun lamanya dan pastinya dia telah menjadi saksi atas berbagai peristiwa disini.


Langit Praha sudah menggelap, sekitar satu jam kami berkeliling kawasan Vyšehrad, aku sudah mendapatkan banyak tulisan yang aku tulis pada buku catatanku, yang nantinya akan kami gabungkan dengan hasil potret milik Ega, satu per satu hingga menjadi buku yang nantinya akan diterbitkan oleh majalah arsitektur terkenal. Sungguh, proyek ini, benar-benar impian terbesarku. Aku dan Ega memutuskan untuk kembali ke penginapan masing-masing, tentu saja kami searah dan selama perjalanan pulang kami lebih banyak berjalan kaki, banyak membicarakan tentang proyek, hingga tiba-tiba Nayaka menelponku.


“halo sayang…!!” ucapnya dari seberang benua sana.


“haiiii….abis gym kamu?” tanyaku, sedikit berbasa-basi. canggung. Sebab Ega persis disebelahku dan entah kenapa aku berusaha agar Ega tak terlihat oleh Nayaka.


“iya nih, aku kan harus jaga badan menjelang hari pernikahan kita…” katanya, sambil mengusap keringat dengan handuk, aku bisa melihatnya dari layar ponselku.


“hahaha iya, enam bulan lagi! enggak terasa yaaa….” ucapku, sembari memperhatikan posisiku agar tidak terlihat sedang bersama Ega. Namun, sayangnya aku tidak bisa.


“kamu dengan siapa tu sayang?” benar kan…. Nayaka menyadari keberadaan Ega. sedikit bahu pria yang terlihat disebelahku.


“ooohh…itu,”


“Halo…tunangannya Hanum!” tiba-tiba Ega mengambil alih, dia menyapa Nayaka dengan sangat ramahnya.


“oh, ha lo…” Nayaka terlihat bingung, namun berusaha untuk tetap ramah. dia memang seperti itu.


“Aku Ega, temen satu tim nya Hanum di proyek buku ini, kayaknya aku belum pernah dikenalin ya… hahaha mugkin karena kami sangat sibuk.”


“oohiyaa….” ucap Nayaka. aku langsung merebut ponselku.


“sayang…nanti aku hubungi lagi yaaa, bye, love youuu” aku melihati Ega dengan kesalnya, tanpa banyak kata aku langsung berjalan mendahuluinya.



“heiii Num….” panggil Ega, tentu aku enggak mempedulikannya. “kamu marah? kesal? kenapa? kenapa mau nutupin aku dari tunanganmu itu? takut? takut dia tahu tentang hubungan kita?” teriaknya. aku menghentikan langkahku.


“hubungan? hubungan apa?” aku berbalik, dia menyusul.


“makanya, kenapa kamu takut? kita kan enggak ada hubungan apa-apa” Fakta! tapi kenapa terasa agak aneh ya.


“aku enggak tahu, hanya belum mau…” kataku.


“kelihatannya dia pria baik, kayaknya dia enggak posesif dan bukan tipe pria yang akan mengatur dengan siapa kamu berteman” kata Ega. Benar sekali, Nayaka seperti itu.


“iya, Nayaka memang begitu…” kataku.


“terus?” Ega terida, sedikit berpikir kemudian terkekeh dan meninggalkanku begitu saja.


Aku melihatinya, melihati punggungnya , perasaannya sama seperti saat terakhir kali aku melihat punggung Ega yang memutuskan untuk pergi tanpa memberitahuku kemana ia akan pergi, setelah itu menghilang hingga membuatku tak berdaya. Melihat dia pergi begitu saja, didalam dadaku berkecamuk, terasa sesak dan aku benar-benar takut, takut kembali ditinggalkan. Aku berlari, aku takut kehilangan kesempatan dan menyesalinya lagi.


Aku memeluknya dari belakang. Tubuhnya terasa dingin oleh udara musim yang perlahan menggerogoti tubuh, tapi dalam pelukan itu, entah mengapa aku justru merasa hangat. Degup jantungku beradu dengan dadanya, cepat, gugup, dan kacau. Ada sesuatu yang hidup kembali di dalam diriku, sesuatu yang sempat lama mati: rasa.

Entah apa yang mendorongku bertindak sejauh ini. Mungkin karena lelah menyimpan rindu yang tak pernah selesai. Mungkin karena trauma itu begitu membekas, sampai-sampai aku memilih untuk merasa... apa saja, selain hampa. Apa yang kulakukan ini mungkin salah, tentu. Dan mungkin bodoh. Tapi untuk sekali saja, aku ingin berhenti takut.

Ega perlahan melepaskan tanganku dari tubuhnya. Ia berbalik, menatapku. Tatapannya tak menghakimi, tapi juga tidak memberi harapan. Sejenak aku kira ia akan menjauh. Tapi yang ia lakukan justru sebaliknya.

Ia menarikku mendekat, tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan yang sudah lama aku ingat dan selalu mendebarkanku. Tatapan yang selama bertahun-tahun selalu muncul dalam pikiranku, seperti virus yang menyakitiku, namun membuatku merasa tenang.

Lalu, hal bodoh itu terjadi.

Kami berciuman.

Bukan karena gairah. Tapi karena kesedihan yang tak terbendung. Karena kerinduan yang tak sempat diberi nama. Ciuman pertama kami terasa... sunyi. Tapi justru dalam kesunyian itu, ada gemuruh yang tak bisa aku redam. Seperti gelombang yang pecah dalam diam. Mendadak salju pertamaku di Praha turun, seakan membantu momen ini menjadi lebih dramatis dan entah kenapa semakin menghangatkan.

Aku tahu ini tidak benar. Aku tahu ada batas yang tak seharusnya kulewati. Tapi di saat ini, di kota asing yang membekukan, dengan masa lalu yang datang tanpa aba-aba, satu-satunya yang kupahami hanyalah, aku tidak ingin ditinggalkan lagi olehnya.


Previous Next
You can use your left and right arrow keys to move to last or next episode.
Leave a comment Comment

Waiting for the first comment……

Please to leave a comment.

Leave a comment
0/300
  • Add
  • Table of contents
  • Display options
  • Previous
  • Next

Navigate with selected cookies

Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.

If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.