“Beberapa pintu yang sudah ditutup rapat ternyata menyimpan kunci di dalam d**a kita sendiri.”
Pagi di Praha adalah puisi yang belum selesai ditulis. Langitnya masih pucat, seolah enggan sepenuhnya terjaga. Dari jendela penginapan, aku melihat tram-tram kuning tua mulai melintasi rel, pelan seperti kenangan yang kembali tanpa diminta.
Aku duduk di meja kecil dengan secangkir kopi yang sudah dingin dan notifikasi dari Nayaka yang belum kubuka.
1 voice note. 3 text messages.
Semua bertanda semalam. Tanganku sempat hendak menekan play, tapi berhenti.
Entah kenapa, mendengar suaranya pagi ini terasa seperti membuka jendela ke rumah yang belum siap kutinggali lagi. Padahal rumah itu nyaman. Rapi. Penuh perhatian. Tapi bukan berarti tidak membingungkan. Aku lebih memilih mandi, membiarkan tubuhku tersiksa dengan dinginnya suhu, demi segera bertemu dengan masa laluku. menyedihkan.
Di studio, Ega sudah lebih dulu tiba. Seperti kemarin, ia duduk dengan tenang, dikelilingi kabel dan peralatan kamera. Ia menyapaku dengan senyum kecil yang tidak mencoba terlalu akrab, tapi cukup untuk menunjukkan ia masih hadir.
“Pagi,” katanya.
“Pagi.”
Kami mendapatkan tugas baru: mencari satu tempat yang mewakili diri kami sendiri di mata kota ini. Konsep yang—jujur saja—terlalu pribadi untuk dikerjakan berdua. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa ingin menolaknya.
“Punya tempat di pikiranmu?” tanya Ega.
Aku mengangguk. “Petřín. Tapi bukan taman utamanya.” aku sudah hapal banyak tentang Praha, sebab tempat ini bukanlah asing bagiku, saat tahu aku akan mengerjakan proyek impianku di Praha sebulan lalu, Nayaka mengajakku ke Praha dan melamarku. Mengesankan, seharusnya tempat ini menjadi tempat yang begitu indah bagiku dan Nayaka, tapi mengapa yang ada dipikiranku hanya Ega. Praha menjadi begitu spesial bagiku karena Ega.
“Reruntuhan timur?” Ega tersenyum. “Aku tahu tempatnya.”
Kami naik tram dari stasiun Újezd. Sepanjang perjalanan, aku duduk di sisi jendela, memandangi deretan bangunan bergaya Baroque dan Gothic yang berdiri seperti saksi waktu. Praha bukan kota yang bising. Bahkan keramaiannya terasa seperti bisikan. Jalan-jalannya dipenuhi turis, tapi tetap menyisakan ruang untuk kesendirian.
“Dulu kamu selalu bilang ingin tinggal di kota tua. Tapi bukan di tengah kota,” kata Ega tiba-tiba. “Katamu, kamu ingin mendengar suara sepatu di jalan batu saat pagi. Tapi juga ingin cukup jauh untuk mendengar sunyi.”
Aku menoleh. “Kamu masih ingat itu?”
“Masih,” katanya pelan. “Aku ingat banyak hal.”
Suara tram melambat, lalu berhenti. Kami turun, melanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang dipenuhi akar pohon dan tanah lembap. Jalanan licin, tapi sunyinya indah.
Sampai akhirnya, kami sampai di reruntuhan itu—setengah tertutup semak dan daun gugur. Aku terdiam. Bahkan Ega tidak langsung mengangkat kameranya.
“Aku suka tempat ini,” gumamku. “Seperti hati yang pernah patah… tapi masih berdiri.”
Ega menoleh ke arahku. Matanya penuh sesuatu yang tidak ia ucapkan.
“Kalau gitu, biar aku bantu kamu merekamnya.”
Ia mulai memotret. Detail-detail kecil. Batu yang retak. Bayangan daun yang bergoyang di tembok. Lalu ia beralih ke arahku.
“Boleh aku potret kamu?” tanyanya hati-hati.
Aku menatapnya. Ada jeda. Tapi akhirnya aku mengangguk.
“Sekali aja,” kataku.
Ia mengangkat kamera. Klik.
“Kenapa?” tanyaku pelan. “Kenapa kamu ingin memotret aku?”
“Karena kamu bagian dari tempat ini sekarang,” jawabnya tanpa ragu. “Dan karena aku nggak pernah benar-benar sempat memotret kamu saat kita masih bersama.”
Aku menunduk.
Beberapa luka memang tidak mengeluarkan darah, tapi detaknya tetap terdengar.
Kami duduk di tangga batu, diam. Lalu tiba-tiba, Ega berbicara:
“Aku nggak tanya kabarmu selama tujuh tahun… karena aku pengecut. Aku pikir, dengan diam, aku bisa lupa. Tapi sekarang aku sadar, diam itu cuma bentuk lain dari penyesalan.”
Aku ingin berkata sesuatu, tapi saat itu ponselku berbunyi.
Nayaka
Voice Note (0:45)
Aku ragu sejenak, lalu memutar suara itu. Suara Nayaka terdengar jelas di antara keheningan reruntuhan.
“Hanum… aku tahu kamu sibuk. Aku cuma pengin bilang, aku bangga kamu di sana. Tapi kadang aku bertanya-tanya… apakah kamu bahagia? Bukan di depan kamera. Bukan di atas panggung. Tapi betul-betul… bahagia. Aku sayang kamu. Itu nggak berubah. Tapi aku juga nggak mau jadi orang yang kamu cintai hanya karena aku aman.”
*Klik.
Sunyi.
Ega tidak berkata apa-apa. Tapi matanya melihatku. Dan aku tahu, dia mendengar semuanya.
Aku menatap cincin di jariku, lalu berkata, setengah untuk Ega, setengah untuk diriku sendiri:
“Kadang, yang paling membuat kita lelah… bukan pilihan yang salah. Tapi terus-menerus bertanya apakah pilihan kita benar.”
Ega menunduk. “Mungkin… itu sebabnya aku dulu pergi.”
Kami kembali ke tram menjelang sore. Kali ini, aku duduk di dekat Ega. Tidak bersentuhan, tidak berbicara. Tapi ada ruang di antara kami yang dulu terbelah… kini mulai menyatu lagi. Tidak sempurna. Tapi cukup.
Malam itu, aku duduk di meja kerja, menulis paragraf pertama untuk bab pembuka buku kami:
Kota ini tidak menawarkan jawaban. Tapi ia memberi ruang. Untuk berjalan. Untuk kembali. Atau untuk berhenti sejenak, dan bertanya—siapa kita sebenarnya, saat tidak ada yang menyebut nama kita?
Aku menutup laptop, lalu kembali menatap jendela.
Di luar, Praha tetap diam.
Tapi di dalam dadaku, sesuatu mulai bergerak.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.