Pertemuan tak Terduga
“Kau pikir kau sudah selesai dengan masa lalu, tapi masa lalu belum tentu selesai denganmu.”
Praha menyambutku dengan langit kelabu yang menenangkan, seperti lembaran kertas kosong yang siap kutulisi ulang kisahku.
Udara musim semi masih mengandung dingin sisa musim dingin, tapi aromanya—paduan kopi dari kafe tua, bunga liar, dan batu basah yang menguap di trotoar—membuatku ingin berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam.
Kota ini seperti lukisan bergerak. Indah, tua, dan tenang. Seolah menyimpan rahasia di balik tiap lengkungan jembatan dan jendela kaca patri.
Aku belum pernah ke Praha sebelumnya, tapi ada yang aneh.
Langkah kakiku terasa begitu hafal arah. Hati kecilku seolah tahu—aku sedang berjalan ke arah sesuatu yang tak bisa kuhindari.
Aku datang ke sini bukan untuk mencari apa pun.
Aku hanya ingin bekerja.
Proyek buku ini adalah mimpiku sejak dulu. Menulis tentang seni dan arsitektur di kota tua Eropa—siapa yang menyangka akhirnya bisa terjadi?
Dan mungkin, dalam diam, aku juga datang untuk menenangkan hati.
Untuk yakin bahwa menerima lamaran Nayaka adalah keputusan yang benar. Bahwa cincin di jariku ini bukan sekadar pelarian... atau bentuk menyerah.
Nayaka adalah segalanya yang baik. Ia hadir saat aku butuh kepastian, bukan kejutan. Ia tidak pernah bermain-main dengan rasa. Dan aku berutang terlalu banyak ketenangan padanya.
Tapi kenapa... kota ini membuatku gelisah?
Gedung tempat kami akan briefing bernama Artium Institute, bangunan bergaya neoklasik di sisi utara kota. Dindingnya tinggi, putih bersih, dengan pintu kayu besar yang tampak seperti portal menuju dunia lain. Dunia seni, dunia kreatif, dunia yang selalu membuatku merasa hidup.
Aku masuk lebih awal, seperti biasa. Di dalam, hanya ada beberapa orang yang sibuk mempersiapkan alat presentasi. Aku menyapa mereka singkat, lalu memilih duduk di barisan tengah dekat jendela. Mataku menyapu ruangan. Klasik. Hangat. Cukup terang untuk membaca suasana, tapi cukup tenang untuk menyembunyikan isi kepala. Aku membuka map kulitku, menyiapkan catatan. Lalu mataku tak sengaja menangkap lembar info kolaborator asing. Daftar nama. Fotografer, ilustrator, kurator, penulis visual...
Satu nama membuat jantungku berhenti sepersekian detik.
E. Rinaldi – Photographer
Tidak. Tidak mungkin. Itu hanya kebetulan.
Itu bukan dia. Itu tidak boleh dia.
Tapi sebelum aku sempat menyusun bantahan dalam kepala, sebuah suara memecah lamunanku. Suara yang sangat kukenal.
“Hanum?”
Aku menoleh.
Dan waktu berhenti.
Dia berdiri di sana. Dengan mata yang masih sama—tenang, dalam, dan penuh luka yang tak pernah sempat kutanya jawabnya.
Ega.
“Hanum?”
Suara itu masih sama. Hangat dan berat. Suara yang dulu sering menumpang dalam mimpi-mimpiku, tapi sudah tujuh tahun ini tak pernah benar-benar kudengar lagi—hingga hari ini.
Aku menoleh. Dan dunia berhenti bergerak. Dia berdiri di sana, di ambang pintu ruang briefing. Rambut ikalnya masih berantakan seperti dulu. Tapi kini ia mengenakan kacamata bulat tipis dan mantel panjang abu-abu. Matanya menatapku penuh keterkejutan, lalu melunak dalam senyum kecil yang membuat hatiku... menegang.
Ega.
Bibirku terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar.
“Aku... nggak yakin tadi itu kamu,” katanya pelan, melangkah mendekat. “Tapi ternyata... memang kamu.”
Aku memaksakan senyum. “Sudah lama ya.”
“Tujuh tahun,” jawabnya cepat, seperti ia benar-benar menghitungnya. “Kamu kelihatan beda. Tapi tetap kamu.”
Dan kenapa kalimat itu terdengar seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka?
Aku mengangguk pelan. “Kamu juga.”
Kami diam. Dunia di sekelilingku seperti bergeser ke belakang. Suara-suara briefing, tawa kecil, suara sepatu di lantai kayu—semua menjauh.
Tiba-tiba, layar ponselku menyala. Getaran pelan mengalihkan pandanganku.
Nayaka 💍
Video Call – Incoming...
Aku menarik napas, lalu memberi isyarat pada Ega sambil menunjukkan ponsel. Ia mengangguk mengerti, lalu mundur beberapa langkah.
Aku melangkah ke sisi ruangan, lalu mengangkat panggilan itu. Layar memperlihatkan wajah Nayaka—bersih, rapi, dan selalu terlihat seperti baru keluar dari presentasi bisnis. Rambutnya tersisir sempurna, dan senyumnya langsung mengembang begitu melihatku.
“Hei, akhirnya kamu angkat juga. Di sana udah sore, ya?”
“Aku baru mulai briefing. Tapi sempat lihat pesanmu tadi, maaf belum sempat balas,” jawabku sambil tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa, aku tahu kamu sibuk. Cuma... ya, aku kepikiran aja. Kamu sendirian di negara asing, di antara seniman-seniman eksentrik. Takut kamu lupa tunanganmu ini,” katanya sambil bercanda.
Aku tertawa tipis. “Mana mungkin. Cincinmu aja masih ada di jariku.”Kataku sambil memamerkan jemariku pada layar ponsel.
“Harus dong. Kalau bisa jangan cuma cincin, tapi hatinya juga.”
“Nay—”
“Bercanda, bercanda,” katanya cepat. “Tapi serius, Hanum. Kamu baik-baik aja, kan? Udah makan? Butuh apa-apa nggak?”
Pertanyaan-pertanyaan Nayaka selalu terdengar lengkap, penuh perhatian. Ia lelaki yang akan memastikan kamu tidak pernah kekurangan kasih sayang. Tapi entah kenapa, hatiku terasa sedikit... kaku.
“Aku baik. Proyeknya juga kelihatannya menyenangkan. Timnya profesional. Aku nanti cerita lebih banyak ya kalau udah balik hotel.”
“Oke. Aku juga baru selesai rapat, langsung panggil kamu karena pengin dengar suara kamu sebentar. Kamu fokus kerja ya di sana. Jangan terlalu keras sama diri sendiri.”
“Iya. Kamu juga, jangan tidur terlalu malam.”
Kami saling melempar senyum sebelum panggilan berakhir. Layar ponselku kembali gelap, meninggalkan pantulan wajahku sendiri. Wajah yang sedang berusaha meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja. Ya, Nayaka adalah tunanganku, tepatnya kami baru bertuangan seminggu sebelum aku berangkat ke Praha, mengerjakan proyek yang aku tidak sangka akan mempertemukanku dengan Ega. Seseorang dari masa lalu sedang berdiri hanya beberapa meter dariku. Dan jantungku belum kembali ke irama normalnya.
Saat aku kembali ke kursiku, Ega sudah duduk di seberang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku sekilas lalu menunduk pada kameranya.
Aku menggigit bibir.
Dan dalam hati, aku bertanya:
Tuhan, ini kebetulan... atau peringatan?
Aku kembali duduk di kursiku. Ega sudah di sana, duduk berseberangan. Tangannya sibuk mengecek kamera, tapi aku tahu dia tahu aku memperhatikannya. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa tidak memperhatikannya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara-suara kecil dari peserta lain yang mulai berdatangan.
Lalu ia menatapku. Senyumnya pelan. “Jadi... kamu sekarang penulis ya?”
Aku mengangguk. “Iya. Akhirnya benar-benar jadi.”
“Dulu kamu sering cerita soal mimpi itu.” Ia tertawa kecil. “Dan aku masih ingat kamu bilang kamu pengin nulis tentang kota tua. Tentang bangunan yang menyimpan rahasia. Lucu ya, sekarang kita ketemu di kota tua beneran.”
“Lucu.” Tapi juga... menyakitkan.
“Dan kamu fotografer,” kataku balik. “Aku nggak terlalu kaget. Kamu selalu punya cara melihat sesuatu dari sudut yang beda.” Ia tersenyum kecil. Tapi bukan senyum bangga. Ada sesuatu di sana. Mungkin penyesalan. Mungkin kenangan. Mungkin... keduanya.
“Kamu kelihatan bahagia,” katanya tiba-tiba. “Tadi yang video call itu…sempat terjeda,kala dia melirik jemariku. “tunanganmu?”
Aku menegang sepersekian detik sebelum menjawab, “Iya. Namanya Nayaka.”
Ia mengangguk pelan. “Dia beruntung.”
Aku menatapnya. “Kamu nggak berubah, ya.”
“Aku berubah, Num.” Matanya menatapku lebih dalam. “Cuma... mungkin aku berubahnya terlambat.”
Dan kenapa kalimat itu seperti sesuatu yang tak semestinya diucapkan di ruangan ini, di waktu ini?
Untung saja, sebelum aku sempat menjawab, seorang panitia masuk dan mengumumkan bahwa briefing akan segera dimulai.
Aku langsung menunduk pada catatanku, berharap perasaanku ikut tenggelam bersamanya.
Tapi sayangnya, hati tidak bisa disuruh diam. Terutama ketika seseorang dari masa lalu duduk hanya sejauh tarikan napas.
"Beberapa cerita tidak pernah benar-benar selesai, hanya menunggu tempat yang tepat untuk dilanjutkan."
Studio kerja kami berada di jantung kota tua Praha. Dari jendela, atap-atap bangunan tua menjulang diam, seakan menyimpan ribuan rahasia yang tak pernah benar-benar hilang. Aku duduk lebih awal, membuka laptop dan catatan, mencoba fokus.
Tapi aku gagal.
Karena di seberangku, ada dia.
Ega.
Orang terakhir yang pernah membuatku merasa utuh… dan patah dalam waktu bersamaan.
Dia menyapaku singkat. Formal. Menjaga jarak. Dan aku menghargainya.
Saat panitia mengumumkan bahwa kami akan bekerja berpasangan—penulis dan fotografer—aku nyaris tertawa getir dalam hati. Semesta memang suka bermain ironi.
“Kalau kamu keberatan, kita bisa minta tukar,” katanya pelan.
Aku hanya menggeleng. “Ini kerjaan. Profesional aja.”
Ia mengangguk. “Baik.”
Kami mulai berkeliling Praha. Merekam sudut kota yang tak banyak dilirik orang. Ega menjaga sikap. Tak ada pembicaraan personal. Tapi justru karena itu, pikiranku sendiri yang memberontak.
Dan begitulah… kilas balik itu datang begitu saja.
_____________________