Keesokan paginya, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Aku terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang lemas seperti kehilangan tenaga. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum berusaha untuk bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan sekuat tenaga, rasanya badanku benar-benar tidak berdaya, entah karena tekanan batin atau efek dari salju yang turun tadi malam. Mataku masih sembab, dan tenggorokan yang terasa kering. Lagi-lagi aku menarik nafas dalam-dalam didepan cermin wastafel. Tanganku meraba dahi—hangat. Mungkin demam. Mungkin ini cara tubuhku mengatakan bahwa aku kelelahan, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.
Aku memutuskan untuk tidak hadir hari ini. Dengan suara serak dan pelan, aku menekan tombol panggilan ke editor lokal proyek buku ku, kali ini aku benar-benar tidak sanggup untuk melangkahkan kakiku meski dengan berat ke kantor. Aku menyampaikan bahwa hari ini tidak bisa datang karena kondisi tubuh yang kurang baik.
Tak lama setelah itu, sebuah pesan dari Ega masuk. Jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang, tapi sungguh…aku belum siap untuk segala hal yang akan terjadi berhubungan dengan Ega hari ini.
“Hanum, aku dengar kamu nggak masuk hari ini. Kamu sakit? Mau aku bawakan sesuatu? Obat? Makanan?” Aku hanya membalas singkat, “tidak usah repot-repot…” balasku. Namun dia kembali membalas dengan jawaban yang benar-benar membuatku tidak bisa berhenti gugup dibuatnya, “ kamu yakin? aku khawatir, kamu dan aku sama-sama sendirian disini, kita harus saling menguatkan…” Aku menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak pelan namun berat. Aku tahu Ega hanya ingin membantu, tapi kehadiran laki-laki itu di ambang pintu bisa jadi terlalu berisiko, untuk hatiku dan juga untuk hubungan yang sedang coba aku selamatkan dengan Nayaka.
“Terima kasih, Ga. Aku cuma butuh istirahat hari ini. Nggak usah repot-repot, ya.”Balasku dan aku langsung mematikan ponselku. Tidak ini dihubungi atau menghubungi siapapun hari ini.
Aku memejamkan mata, membaringkan tibuh diatas kasur empuk berukuran queen size, mencoba tidur kembali. Tapi pikiranku tiba-tiba terbang , teringat tentang Nayaka seperti. Terakhir kali, dia terlihat risau dan merasa aneh saat vidio call terakhir kami semalam dan untuk pertama kalinya kemunculan Ega diantara kami. Apakah dia tahu? Aku yakin, dia pasti punya pemikiran itu. Meski aku baru mengenalnya empat tahun terakhir ini, tapi dia benar-benar sangat mengenaliku. Apakah aku harus mengabarinya? tapi jujur, untuk saat ini aku sangat tidak siap untuk menghubunginya, apalagi jika aku teringat dengan apa yang kulakukan dengan Ega semalam.
Perasaan bersalah mulai merambat naik dari d**a ke tenggorokan, aku jaditidak bisa istirahat dengan tenang. Aku menelan ludah dengan susah payah, tenggorokanku kering. Apa begini rasanya menjadi seorang wanita yang tidak setia? aku setia…Nayaka…maafkan aku. Seharusnya aku segera menghubunginya, menjelaskan segalanya sebelum ia mengetahui melalui cara yang lebih buruk. Tapi bagaimana bisa? Bahkan untuk sekadar mendengar suaranya saja aku tak sanggup saat ini. Ada luka yang belum sempat sembuh , ada kesalahan yang belum siap kuakui.
Dan yang lebih parah dari itu semua, ada bagian dari diriku yang belum siap kehilangan. Entah kehilangan Ega lagi, atau kehilangan Nayaka untuk selamanya.
Tangan kiriku menggenggam erat sisi selimut, mencoba menahan guncangan kecil dalam d**a. Perasaan bersalah itu benar-benar menggerogotiku, aku melupakan Ega, sebab entah kenapa saat ini yang ada didalam pikiranku hanya Nayaka. Ciuman semalam…seperti kesalahan yang sangat aku sesali, meski pada nyatanya aku melakukannya dengan sangat sadar, ada sedikit kelegaan setelah itu, namun beberapa jam kemudia itu semua berubah menjadi perasaan bersalah pada Nayaka, aku terus menerus mengutuki diriku sendiri, menganggap diriku sebagai wanita paling hina karena terlah mengkhianati janji yang pernah kuucap.Jika aku jujur, malam semalam bukan hanya tentang kesalahan. Meski, ada sesuatu yang hidup kembali. Sesuatu yang selama ini kupendam dalam-dalam, berharap tak pernah kembali ke permukaan. Tapi kini ia telah bangkit dan menuntut untuk dihadapi.
Langit Jakarta malam ini kelabu, kilat yang terus bersahutan bisa kunikati dari lantai 26 apartemenku. Sudah lewat tengah malam, tapi mataku masih terjaga. Bukan karena kopi, jujur, aku bukan pecinta kopi, bukan pula karena pekerjaan. Sejak video call terakhir dengan Hanum, ada sesuatu yang tak bisa kuhentikan dalam pikiranku. Wajahnya memang masih sama, cantik, indah dan menenangkan. Tapi ada yang berbeda. Caranya mematikan video call kami terakhir kali itu, benar-benar membuatku merasa diabaikan dan ditinggalkan. Ditambahlagi, lelaki itu, Ega? teman satu tim-nya? kenapa dia tidak pernah cerita? setelah dua minggu disana? bahkan diawal aku sempat mengunjunginya ke praha, tapi dai tak sedikitpun membahas tentang rekan kerjanya yang bernama Ega itu. Lelaki itu terlihat baik dan ramah untuk pertemuan singkat kemarin, tapi cukup membuat dadaku sesak. Aku mengenal Hanum terlalu baik untuk tidak menyadari bahasa tubuhnya. Gugup,dan…berusaha menyembunyikan sesuatu.Perasaan? atau hubungan?
Aku mencoba mengenyahkan semua prasangka, mencoba percaya ini hanya kecemasan yang kubuat sendiri. Tapi hatiku menolak tenang. Sejak awal ia berada di Praha, aku sudah punya firasat, bukan karena aku tak percaya padanya, tapi sikapnya yang mendadak berubah. Tidak seperti Hanum yang aku kenal selama empat tahun ini. Makanya aku memutuskan menemuinya ke Praha waktu itu, sebelum melanjutkan perjalanan bisnisku ke Swiss. Namun, aku terlalu sibuk untuk membaca gelagatnya waktu itu. Meski aku tahu, cinta Hanum belum sepenuhnya untukku namun aku tahu dia mencoba untuk mencintaiku sepenuhnya.
Pesan yang kukirim tak dibalas. Panggilan yang tak dijawab. Aku mencoba menyusun alasan, mungkin dia sibuk, mungkin dia lelah, mungkin dia sedang tidak enak badan. Tapi alasan-alasan itu tak bisa menghalau kekhawatiranku. Hanum bukan tipe yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Bukan dariku. Aku terus menerus menekan nama kontaknya di ponselku, namun nihil. Mondar-mandir tak karuan didalam apartemenku, kali ini aku merasa risau dan takut kehilangan Hanum, aku sangat mencemaskannya. Apa yang terjadi padanya? atau ada sesuatu yang ditutupinya.
Aku memutuskan menghubungi sahabatku, Zaky. Entahlah, malam-malam begini aku harus segera mengakhiri kerisauanku terhadap Hanum, atau setidaknya, menumpahkannya pada seseorang yang bisa memberiku sudut pandang yang lebih waras. Aku tidak terlalu memiliki banyak teman curhat, apalagi seorang pria, yang mungkin terkesan lemah jika terlalu sering curhat dan berkeluh kesah, tapi menurutku pria juga perlu didengarkan. Kutekan nomor Zaky. Beberapa dering. Lalu terdengar suara khasnya—serak mengantuk tapi aku yakin dia tidak masalah kutelfon tengah malam begini, dua pagi.
“Yak?” gumamnya pelan. “Malam-malam gini tumben.”
“Lo tidur?” tanyaku, meski jelas terdengar dari suaranya bahwa aku mengganggu tidurnya.
“engga sih, abis ngelonin bini gue…” candanya.
Aku terdiam sejenak. Lalu menghela napas panjang. “Gue… lagi nggak tenang, bro.”
“Hanum?” tebaknya cepat. Sahabat sejati memang selalu tahu. Dia sudah hafal, hal yang selalu membuatku senang sekaligus risau adalah Hanum.
“Hmm.” Aku duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela apartemenku. “Sejak video call terakhir, ada yang aneh. Bukan aneh sih, lebih ke kenapa ya? .” aku mencoba menghilangkan wajah lelaki bernama Ega itu dari ingatanku, tapi nihil, aku tetap ingat apa yang kurasakan saat melihatnya muncul disebelah Hanum, tanpa rasa bersalah, menusuk dan menyakitkan.
Zaky diam sejenak, mungkin mencerna. “Maksud lo? dia kenapa? ”terdengar suara lelah dari Zaky.
“Gue pengen banget percaya itu cuma overthinking, tapi… Hanum sekarang susah dihubungi. Nggak bales pesan, nggak ngangkat telepon. Bahkan online pun enggak. Ini bukan Hanum yang biasanya.” Keluhku, pria 32 tahun yang mengeluh seperti anak sd yang ditinggal orang tuanya.
Zaky menghela napas. “kenapa emang? lo curiga dia ketemu seseorang?” tepat sekali. Tebakan yang tepat.
Aku menggertakkan gigi. “ lo tahu Ega?” Hening cukup lama tercipta disana.
“Ega? Ega… yang fotografer itu?”
Aku terdiam, “fotografer? lo tahu?” aku penasaran.
Suara Zaky merendah. “Ega Renaldi kan?” Entahlah, tidak tahu.
“Gue ga tahu nama lengkapnya,” kataku lirih. Tapi aku mulai searching di google, Ega Renaldi.
Zaky diam agak lama seperti berpikir. “ohya, gue fikir lo tahu…kalo Ega Renaldi itu forografer khusus bangunan tua, dia lumayan terkenal sih dikalangan arsitek dan fotografer dan setahu gue dia ikut gabung dalam tim proyek buku yang diikuti Hanum…”
“lo tahu?” tanyaku, sambil melihati iPad ku dan membaca profil tentang Ega Renaldi di google.
“tahu apa? masa lo ga tahu? iya sih, nama dia cukup asing di Indonesia, tapi kalangan yang lebih expert udah kenal banget…” jelasnya. “gue bisa maklum lo ga tahu dia, karena aliran kalian beda, dia lebih ke motret bangunan tua dan lo arsitek modern…tapi Hanum, pasti tahu, dia juga tertarik kearah sana kan…” tambahnya.
Aku terdiam. Jadi Hanum tahu? dan dia ga pernah cerita?
“emang dia kenapa?” tanyanya.
“oke thanks…entah gue call lagi…” *tit aku langsung mematikan panggilanku.
Aku melempar ponselku sembarang, keatas sofa. Jadi Hanum mengenal Ega? aku lihat di profil nya dia berasal dari Universitas yang sama dengan Hanum, beda jurusan. Apakah mereka hanya sekedar teman lama yang tidak senagaja bertemu di Praha? tapi kenapa Hanum seakan menyembunyikan pria itu dariku. Atau…ini hanya andaiku belaka. Tapi firasat... firasatku jarang salah. Ada sesuatu yang tak beres. Dan yang paling mengganggu dan membuat frustrasi adalah kenyataan bahwa aku merasa seperti orang asing di tengah kehidupan Hanum akhir-akhir ini. Padahal, aku adalah tunangannya.
Aku butuh waktu untuk mencerna segalanya, ditambah Hponsel Hanum tidak aktif, dia tak bisa dihubungi setelah video call terakhir kami, apa yang terjadi? apa dia mulai berubah pikiran terhadap hubungan kami? engga mungkin, aku mengenalnya, dia bukan tipe wanita seperti itu. Hanum sangat menjaga komitmennya dalam hal apapun itu, termasuk dalam hubungan. Namun, mengapa dia mendadak menghilang, perasaan cemburu ku berubah jadi khawatir padanya.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.