“Beberapa luka tidak butuh disembuhkan. Hanya perlu dikenali, lalu diterima bahwa ia akan tetap tinggal.”
Hari pertama kerja lapangan dimulai dengan hujan rintik. Praha seperti sedang menulis puisi di jendela-jendela basahnya. Aku dan Ega berdiri di bawah lengkungan jembatan Karlův Most, menunggu cahaya pagi yang katanya akan sempurna untuk menangkap siluet kota.
Ia menggantungkan kameranya di leher, lalu mengecek setelan ISO dan aperture seperti sedang menyiapkan senjata untuk perang. Sementara aku… sibuk berperang dengan pikiranku sendiri.
“Di sana bagus. Lihat bayangan patung itu,” katanya sambil menunjuk ke arah barat.
Aku mengangguk. Mencatat. Tapi bukan tentang patung itu. Melainkan tentang suaranya. Masih sama. Masih bisa mengaduk-aduk bagian terdalam dari pikiranku yang sudah tujuh tahun kutata rapi.
“Hanum?”
Aku menoleh.
“Kalau kamu butuh jeda, bilang aja ya. Aku nggak keberatan kerja pelan,” katanya pelan.
Aku menarik napas. “Aku baik-baik aja. Kita ke titik selanjutnya, ya.”
Kami berjalan menyusuri trotoar sempit yang licin oleh hujan. Ega tidak mencoba membuka percakapan. Dan aku bersyukur untuk itu. Tapi juga… kecewa. Lucu, ya? Manusia memang tidak pernah benar-benar tahu apa yang mereka inginkan.
Di sudut jalan, kami berhenti di depan bangunan tua bergaya baroque. Pintu kayunya mengelupas. Di balik jendela, tergantung tirai renda kuno.
“Kamu lihat?” bisik Ega sambil mengarahkan kamera. “Ada bayangan di balik tirai. Tapi bukan orang. Mungkin tanaman, mungkin patung kecil. Tapi ada aura… semacam keheningan yang hidup.”
Aku ikut menatap. “Rumah yang ingat akan masa lalunya.”
Ia menoleh. “Kamu masih suka menulis dengan metafora, ya?”
Aku tertawa kecil. “Kebiasaan yang nggak bisa dihapus.”
Kami diam. Tapi tidak kaku. Ada jeda yang justru terasa… nyaman. Dan berbahaya.
Kami berpindah lokasi sepanjang siang. Dari gang-gang tersembunyi di Mala Strana, hingga lorong batu di belakang Gereja Týn. Aku menulis. Ega memotret. Beberapa kali aku menangkap ekspresinya saat melihat hasil fotonya sendiri—matanya menyipit, lalu tersenyum pelan, seperti sedang berdialog dengan masa lalu.
Sore harinya, kami duduk di sebuah kafe kecil bernama Kavárna Pod Lipami. Dindingnya hijau daun tua, dengan aroma kayu dan vanilla yang menenangkan. Kami memilih kursi pojok dekat rak buku.
“Hanum,” katanya tiba-tiba, setelah beberapa menit diam. “Apa kamu… pernah nyesal?”
Pertanyaan itu datang begitu saja, seperti angin dingin yang menyelusup lewat celah pintu.
Aku menatapnya. “Tentang kita?”
Ia mengangguk. Perlahan. Hati-hati.
Aku berpikir. Bukan karena aku tak tahu jawabannya, tapi karena aku tahu terlalu baik.
“Aku pernah marah,” jawabku pelan. “Pernah berharap semua itu nggak pernah terjadi. Tapi… penyesalan? Mungkin nggak. Karena meskipun semua sakit, aku belajar. Dan kamu pernah jadi bagian dari mimpi terbesarku.”
Ega menatapku lama. Lalu mengangguk. “Aku menyesal. Tapi bukan karena kita gagal. Aku menyesal karena waktu itu aku takut. Takut jadi seseorang yang kamu andalkan. Dan ketika aku sadar aku sanggup, kamu sudah terlalu jauh.”
Aku terdiam. Ada bagian dalam diriku yang ingin menangis, tapi terlalu lelah untuk melakukannya.
“Kita nggak bisa mundur, Ga.”
“Aku tahu. Aku cuma… ingin kamu tahu. Supaya kamu nggak menulis ulang cerita ini sendirian.”
Senyumku miris. “Cerita ini nggak pernah selesai ditulis, kan?”
Dan tepat saat itu, ponselku kembali bergetar. Nama Nayaka muncul lagi di layar. Kali ini hanya pesan singkat:
“Jangan lupa makan malam. Aku kirimkan lagu yang mungkin cocok buat hari pertamamu.”
Seketika, aku merasa bersalah. Pada Nayaka. Pada Ega. Dan terutama… pada diriku sendiri.
“Aku harus balas ini,” kataku sambil mengangkat ponsel.
Ega tersenyum tipis. “Tentu.”
Saat aku menunduk menulis pesan balasan, aku sadar: tidak semua rasa bisa dihapus. Beberapa hanya bisa dibingkai ulang—seperti kota ini. Lama, retak, tapi tetap indah.
⸻
Di akhir hari, ketika langit Praha mulai berubah jingga, aku berjalan sendiri ke penginapan.
Ega pamit lebih dulu. Katanya, ia harus mencuci hasil cetakan roll film.
Tapi aku tahu alasannya lebih dari itu.
Kami butuh jarak. Butuh batas. Karena jika tidak, semua yang pernah rusak bisa saja tumbuh kembali—dan aku tidak yakin hatiku siap mengulang luka yang sama.
Sambil melangkah di trotoar yang basah dan berkilau, aku menatap cincin di jari manisku.
Lalu ke langit yang perlahan menggelap.
Dan saat langkahku melewati lampu jalan terakhir sebelum tikungan penginapan, aku merasa sesuatu mengawasi dari balik bayang.
Bukan hantu, bukan sosok nyata.
Tapi kenangan.
Yang ternyata tidak pernah benar-benar mati.
Hanya menunggu kota, waktu, dan cuaca yang tepat untuk hidup kembali.
Dan malam itu, di Praha yang basah dan senyap, aku sadar...
Cerita kami mungkin belum selesai.
Kau pikir kau sudah selesai dengan masa lalu… tapi mungkin, masa lalu belum selesai denganmu.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.