Arum melangkah lesu keluar dari gedung Media Wardi. Hari ini, ia mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan: selama dua tahun menjadi penulis di MWnovel, ia sama sekali tidak menyadari bahwa Media Wardi merupakan salah satu perusahaan milik keluarga Mawardi—keluarga mantan suaminya. Setelah lima tahun berhasil menjauh, kini ia kembali harus terlibat, bahkan langsung dengan pria yang paling ingin ia hindari.
"Kenapa harus dia?" gumam Arum kesal.
Ia segera melangkah ke gerbang, menatap ke sekitar untuk mencari ojek online yang dipesannya.
"Atas nama Arumi Naswa?" tanya seorang pengemudi yang menghentikan motornya di depan Arum.
Arum mengangguk cepat, menerima helm yang disodorkan, lalu naik ke atas motor. Tak lama kemudian, mereka melaju menjauh dari gedung Media Wardi.
Perjalanan lima belas menit itu berakhir di depan toko bunga milik Dewi. Setelah membayar, Arum masuk ke dalam toko dengan wajah letih.
"Loh, habis tanda tangan kontrak kok mukanya malah lesu begitu?" tanya Dewi yang sedang sibuk menata bunga.
Arum berjalan malas menuju Dewi, lalu duduk di samping wanita itu dan menelungkupkan wajahnya di meja.
"Kamu kenapa sih sebenarnya?" tanya Dewi semakin penasaran.
"Aku baru tahu kalau Media Wardi itu salah satu perusahaan milik keluarga Mawardi, Kak," ucap Arum lirih.
Dewi langsung menatap terkejut. "Keluarga Mawardi yang kamu maksud... keluarga mantan suami kamu?"
Arum mengangguk.
"Ya ampun, dunia bener-bener sempit," ujar Dewi sambil menggeleng, lalu kembali sibuk menata bunga.
"Responnya kok cuma gitu doang sih, Kak?" omel Arum.
"Terus kamu mau aku ngerespon gimana? Lagian kamu ke sana cuma urusan bisnis, kan? Bukan buat ketemu keluarga Mawardi langsung."
Arum menghembuskan napas panjang lalu menatap Dewi tajam. "Kalau cuma urusan bisnis doang, aku nggak akan segalau ini, Kak. Masalahnya, produser film dari novelku itu... Bagas."
Dewi langsung menepuk meja, menatap Arum dengan wajah lebih terkejut dari sebelumnya. "Maksud kamu Bagas Mawardi? Mantan suami kamu itu?!"
Arum mengangguk dengan wajah memelas. "Kebetulan yang benar-benar bikin stres, Kak."
"Kok bisa? Bukannya kamu bilang dia tinggal di luar negeri?"
"Aku juga nggak tahu, mungkin dia udah balik ke Indonesia dari dulu," ujar Arum.
"Udahlah, nggak usah dipikirin. Kalian cuma kerja bareng, nggak lebih. Kamu harus tetap profesional."
Arum menunduk. "Tapi aku takut, Kak. Gimana kalau pertemuan ini bikin dia tahu rahasia yang selama ini aku sembunyiin?"
Dewi mendekat, mengusap lengan Arum pelan. "Udah, nggak usah takut. Selama kamu jaga jarak dan hati-hati, rahasia itu akan tetap aman."
"Semoga aja, Kak..."
*****
Sementara itu, di ruang kerjanya, Bagas tampak sibuk membaca berkas-berkas. Sudah dua minggu ini ia bekerja di kantor Media Wardi, perusahaan milik keluarganya, setelah kembali ke Indonesia sebulan lalu.
Bagas menghela napas, memijat keningnya. Pikirannya masih terganggu oleh pertemuannya tadi. Setelah lima tahun, ia kembali melihat Arum. Mantan istrinya itu tampak tak banyak berubah—wajahnya masih cantik dengan lesung pipi yang sama. Tapi tatapan yang dulu polos, kini tegas dan dewasa.
Lamunannya terputus saat pintu ruangan terbuka. Gerald, sepupunya, masuk dan langsung duduk di sofa.
"Hey, Bro," sapa Gerald santai.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Bagas sambil berjalan menghampiri dan duduk di sofa berhadapan.
"Ngecek lo lah. Gue penasaran gimana lo nge-handle kerjaan di sini."
"Ini bidang gue. Jadi, nggak susah," jawab Bagas.
Gerald mengangguk puas. Ia tahu sepupunya memang cocok di dunia media dan perfilman. Jurusan kuliahnya pun sejalan, dan pengalaman di Amerika semakin mengasah kemampuan Bagas di industri ini.
Setelah diam sejenak, Bagas akhirnya bertanya, "Gue mau nanya sesuatu..."
"Nanya apa?"
"Setelah gue cerai sama Arum lima tahun lalu, ada nggak di antara keluarga kita yang pernah ketemu dia lagi?"
Gerald menaikkan alis. "Kenapa? Lo kangen?"
"Nggak usah ngaco. Gue cuma nanya. Nggak mau jawab juga nggak apa-apa."
Gerald tertawa sebentar lalu mencoba mengingat. "Kayaknya nggak ada. Setahu gue setelah kalian cerai, dia balik ke Jogja. Mungkin aja dia pernah ke Jakarta, tapi kalau pun ketemu, yang ada malah kita omelin dia."
Bagas mengangguk pelan.
"Eh, tapi serius, lo kenapa nanyain dia? Jangan bilang lo beneran kangen sama mantan istri lo yang matre itu?"
Bagas terdiam sejenak. "Gue ketemu dia hari ini."
Gerald terbelalak. "Lo ketemu Arum? Di mana?"
"Di kantor. Dia penulis Cahaya Senja, novel yang bakal kita filmkan."
Gerald tertawa lepas. "Dunia sempit banget! Lo kerja bareng mantan istri sendiri! Awas CLBK lo!"
"CLBK gimana? Gue nikah sama dia juga bukan karena cinta. Lagian, lo tau sendiri dia dulu gimana."
Gerald manggut-manggut. Mereka memang sepantaran, dan di usia menjelang tiga puluh ini, keduanya masih belum menikah.
"Kasihan tante Putri. Dulu dia setuju lo cerai karena lo masih muda dan nggak cinta sama si Arum. Tapi sekarang dia malah nyesel karena lo belum ada niat nikah lagi," goda Gerald.
"Nyadar, tante Gita juga tiap hari nanyain kapan lo nikah," balas Bagas membuat mereka berdua tertawa.
Melirik jam tangan, Bagas bertanya, "Lo udah makan siang?"
"Belum."
"Yuk, makan bareng gue."
"Oke!"
*****
Arum berjalan malas sambil diseret Dewi menuju restoran steak favoritnya. Dewi mengajaknya makan untuk merayakan penandatangan kontrak, tapi Arum tetap murung.
"Kenapa sih cemberut? Harusnya seneng dong bisa makan enak," ujar Dewi menyemangati.
"Kan udah aku bilang, Kak. Nggak mood ngerayain," jawab Arum.
"Jangan gitu dong. Ingat perjuangan kamu selama ini, nabung, nulis, sampai akhirnya mimpi kamu kejadian."
Arum menarik napas, lalu tersenyum tipis. Dewi pun ikut tersenyum senang.
Mereka masuk ke restoran dan duduk di meja dekat jendela. Dewi memesan makanan untuk mereka berdua.
Tiba-tiba...
"Arumi."
Arum dan Dewi menoleh bersamaan. Dua pria berdiri di belakang mereka. Arum langsung panik.
"Ternyata bener kamu, Arum. Kirain gue salah orang," ujar Gerald.
Arum memaksa senyum. "Hai..."
Gerald langsung duduk tanpa diundang, membuat Arum dan Bagas melotot.
"Apa kabar? Udah dapet cowok yang lebih kaya dari Bagas belum?" tanyanya sinis.
Arum hanya diam. Dewi sudah ingin bicara, tapi Arum menahan tangannya.
"Gerald, lebih baik kita ke meja kita. Jangan ganggu orang lain," ujar Bagas tajam.
"Yalah bro, Arum bukan orang lain kali."
Tanpa banyak bicara, Bagas menarik Gerald agar berdiri. "Maaf ya, sepupu saya agak kelewatan. Kami pamit dulu."
Setelah keduanya pergi, Dewi menatap Arum dengan wajah kesal. "Siapa mereka?"
"Bagas Mawardi dan sepupunya, Gerald."
"Apa?!" teriak Dewi. Arum langsung melotot.
"Maaf, maaf... Jadi yang mana mantan suami kamu? Yang nyolot itu?"
"Yang nyeret."
Dewi mendecak. "Sepupunya kurang ajar banget. Pingin kurobek mulutnya!"
Arum menghela napas. "Yang dia bilang nggak sepenuhnya salah, Kak. Dulu... aku memang seperti itu."
Dewi tercengang. "Maksud kamu?"
"Dulu aku matre dan suka bohong. Waktu itu aku masih muda, belum tahu mana yang benar. Tapi sekarang aku sadar dan berubah."
Dewi menggenggam tangan Arum. "Semua orang berhak berubah jadi lebih baik. Kamu udah berusaha. Itu yang penting."
"Terus, kamu sama Bagas sekarang musuhan?"
"Enggak. Tapi sejak hari terakhir sidang cerai, kami nggak pernah bicara lagi."
Dewi mengangguk. "Tapi... kalau rahasia kamu sampai ketahuan gimana?"
Arum langsung menatapnya tajam. "Dia nggak akan tahu. Dan nggak boleh tahu. Sampai kapan pun."
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.