Arum melangkah turun dari gerbong saat kereta berhenti mulus di peron Stasiun Lempuyangan—salah satu simpul transportasi tersibuk di Yogyakarta. Udara siang yang lembap menyambut, bercampur aroma khas nasi kucing dan sate kere dari pedagang kaki lima di luar pagar stasiun. Hari ini ia mengambil cuti tiga hari—izin yang sudah disetujui Dewi, sahabat sekaligus atasannya di toko bunga. Tujuannya ganda: merayakan ulang tahun kelima putranya, Leo, dan menghadiri jumpa fans kecil‑kecilan bersama pembaca setia novel‑novelnya.
Meski bukan penulis tenar, Arum memiliki beberapa ribu pengikut setia di platform MWnovel. Sejak awal menulis, ia membuat grup w******p khusus pembaca setianya—mereka sering berdiskusi, berbagi meme tentang karakternya, bahkan membantu proofreading sukarela. Sebagian anggota berdomisili di Jogja dan Jawa Tengah, sehingga tercetus ide kopi darat di sebuah kafe bernuansa vintage dekat Malioboro.
Sambil berjalan mengikuti arus penumpang menuju pintu keluar, Arum melirik jam di pergelangan tangan—pukul satu lewat sedikit. Ia buru‑buru membuka aplikasi ojek daring, memesan taksi agar bisa segera tiba di rumah nenek. Ia menunggu di dekat pilar, deru lokomotif yang baru berangkat masih menggema.
“Ibuuu!” teriak suara mungil dari kerumunan.
Arum sontak menoleh. Senyum hangat merekah begitu mendapati Leo berlari dengan kaki kecilnya, rambut hitamnya sedikit acak‑acakkan tertiup angin kipas stasiun. Tanpa ragu ia merentangkan tangan, menangkap tubuh mungil itu ke pelukannya.
“Ya ampun, makin ganteng aja anak Ibu,” bisiknya, menciumi puncak kepala Leo yang masih semerbak shampoo stroberi. Saat keduanya berpelukan, seorang wanita lanjut usia berselendang batik mendekat perlahan.
“Nenek!” seru Arum bahagia. Ia meraih tangan keriput neneknya, menempelkan ke kening. “Repot‑repot banget jemput ke stasiun. Arum kan hapal jalan pulang.”
“Nggak apa‑apa, Nak. Nenek sekalian jalan sore sama Leo,” jawab sang nenek, mengusap punggung cucunya penuh sayang. Keriput di sudut matanya bertambah dalam, tapi sorotnya tetap teduh.
Ponsel Arum bergetar: notifikasi bahwa taksinya telah tiba. “Yuk, kita geser sedikit ke bawah flyover,” ujarnya, menggenggam koper kabin dan tangan Leo. Mereka berjalan menembus kerumunan, melewati becak parkir dan deretan taksi argo, lalu menaiki sedan putih yang menunggu.
Perjalanan tiga puluh menit menuju rumah mereka di Bantul terasa singkat. Sepanjang jalan Arum bercerita tentang Jakarta, sementara Leo sibuk menunjukkan mainan robot baru hadiahnya dari nenek. Sesekali Arum menoleh ke jendela, menikmati pemandangan sawah menguning dan jajaran warung gudeg yang menebar wangi santan manis.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah bercat biru telur asin, halaman mungilnya dipenuhi pot kenanga dan kembang sepatu. Rumah itu berdempetan dengan tetangga, namun terawat rapi—hasil tangan telaten sang nenek.
Beberapa ibu tetangga yang duduk di teras menegur hangat. “Arum pulang ya? Dapat cuti panjang, toh?”
“Iya, Bu. Sekalian ada urusan,” jawab Arum sambil menenteng koper ke teras. Leo sudah duluan berlari ke dalam, disambut kicau burung lovebird di sangkar.
Nenek bergegas ke dapur menyiapkan makan siang. Arum merebahkan diri di sofa rotan ruang tengah, melepaskan penat perjalanan sembari mendengarkan celoteh Leo tentang rencana pesta ulang tahunnya—ia ingin kue cokelat bertingkat dan balon berbentuk dinosaurus.
Belum sempat Arum menanggapi, suara langkah—lalu perempuan paruh baya berambut dicat cokelat kemerahan keluar dari kamar. Risa, ibu kandung Arum, melipat tangan di d**a.
“Udah sampai, kamu? Ibu uang dong,” cetusnya tanpa basa‑basi.
Arum menahan desah. “Tiga hari lalu Arum baru kasih, Bu. Uangnya ke mana? Arum belum ambil gaji lagi.”
“Nominal segitu mana cukup? Cepetan, Ibu butuh!” jawab Risa tajam.
“Bu, Arum kerja keras tiap hari. Gaji segitu harus bayar kos Jakarta, biaya Leo, kirim ke Nenek juga. Tolong pahami,” ujar Arum, sengaja merendahkan suara agar Leo tak mendengar.
Risa mendengus. “Kalau kamu mau hidup gampang, turuti Ibu cari target kaya baru. Cantik‑cantik malah kerja halal, malu‑maluin!”
Arum menahan amarah. Ia melirik Leo yang tengah menyusun lego di lantai. “Sayang, tolong ambilin Ibu air ya. Ada Eyang di dapur,” pintanya lembut. Leo bangkit sambil bersenandung, menuju dapur.
Saat anak itu pergi, Arum menatap ibunya tajam. “Cukup, Bu. Keluarga Mawardi masih trauma sama kita. Arum tidak mau ulangi kebohongan. Kita hidup sederhana, tapi tenang.”
“Tenang? Makan tempe sama nasi, itu ‘tenang’?” Risa mencibir sebelum melangkah keluar, mungkin mencari sasaran lain untuk mengeluh.
Beberapa detik kemudian nenek muncul membawa segelas air, Leo menggandeng rok batiknya. “Ibu kamu keluar lagi, Nak?” tanyanya dengan suara lirih.
Arum meneguk air, lalu mengangguk pasrah. “Biarkan saja, Nek. Arum sudah kebal.”
Nenek tersenyum tipis. “Sudahlah, ayo makan. Nenek masak telur balado, tumis kangkung, sama bakwan jagung kesukaanmu.”
Mata Arum berbinar. Ia menggandeng Leo menuju meja makan kayu jati. Aroma bawang putih goreng langsung mengusir letih.
❋ ❋ ❋
Dua puluh menit kemudian—perut kenyang dan hati hangat—Leo tertidur pulas di ranjang Arum yang berkelambu putih. Sementara itu Arum menata isi koper: gaun kasual warna krem untuk meet‑up, blus batik untuk ulang tahun Leo, dan blazer putih kalau‑kalau perlu foto resmi. Ia menggantung pakaian pada hanger, lalu membuka laci mengambil setrika tua dan menyalakannya—dengkuran halus Leo menjadi latar musik menenangkan.
Usai merapikan, Arum duduk di tepi ranjang. Ia menatap wajah polos Leo, bulu mata lentik itu berkedut pelan. Angin sore masuk melalui jendela, menggoyangkan tirai renda.
Ingatan pahit lima tahun lalu muncul tanpa diundang.
Kala itu, Om Seno—pamannya sekaligus sekretaris pribadi Hendrik Mawardi—meninggal dalam kecelakaan. Kakek Hendrik, yang dilanda duka, mencari keturunan Om Seno demi menunaikan wasiat asuransi. Ibu Risa melihat peluang: ia mendorong Arum—gadis 19 tahun lugu—mengaku sebagai anak Om Seno untuk mendekati Bagas, cucu tertua keluarga Mawardi sekaligus pewaris perusahaan media raksasa.
Arum, masih terbuai janji hidup glamor, menuruti rencana licik itu. Ia menikahi Bagas setelah proses lamaran kilat. Semula ia mengira pernikahan itu tiket menuju kemewahan, namun nyatanya yang ia dapat justru kecurigaan, konflik keluarga, dan perasaan bersalah. Bagas yang awalnya terpikat pada pesonanya mulai melihat celah kebohongan. Kakek Hendrik pun terseret drama, hingga hubungan ayah‑anak retak.
Perceraian mereka terjadi cepat—hanya dua tahun. Arum kembali ke Jogja, menelan pil pahit kegagalan. Sepekan kemudian ia sadar tengah mengandung Leo. Ibu Risa bersorak seperti mendapat lotere, berniat memakai bayi itu sebagai alat tawar baru. Tapi Arum, sudah muak dengan intrik, menolak. Ia kabur ke Jakarta, memulai hidup dari nol, digendong tekad menebus dosa.
Tangannya mengelus rambut Leo. “Maafkan Ibu, Nak,” bisiknya, meski Leo terlelap. “Ibu janji melindungi kamu dari masa lalu Ibu.”
❋ ❋ ❋
Senja merayap; langit Jogja memerah seperti kain sasirangan. Arum menutup jendela, lalu menyalakan lampu meja. Ia menyalin to‑do list di buku catatan: beli bahan kue ultah, pesan balon dinosaurus di Pasar Beringharjo, siapkan goodie bag sederhana untuk teman‑teman TK Leo, dan tentu saja, menyusun presentasi singkat untuk jumpa fans—ia berencana berbagi kiat menulis, sekaligus bocoran proyek novel terbarunya tentang penebusan dan keluarga.
Pikirannya terhenti ketika notifikasi w******p muncul: ‘Mbak Arum, semua pembaca antusias. Boleh nggak meet‑up digeser sejam lebih awal? Soalnya kafe overbook setelah Magrib.’ Arum mengetik persetujuan, lalu menambahkan jadwal di ponsel.
Tiba‑tiba, Leo menggeliat. Matanya terbuka setengah, memandang Arum. “Ibu… boleh besok Leo pakai baju dinosaurus?” gumamnya mengantuk.
Arum tertawa pelan. “Tentu, Sayang. Kita cari yang paling keren.”
Leo mengulum senyum dan kembali terlelap.
Arum menatap wajah kecil itu—campuran dirinya dan Bagas. Sekelumit bayangan sang mantan suami muncul: tatapannya tegas, namun ada kedalaman lembut yang dulu sempat membuatnya merasa aman. Kini, setiap kali Arum mengingat Bagas, ada rasa panas dingin: penyesalan, sekaligus syukur karena diberi kesempatan untuk berubah.
Malam makin larut. Suara serangga memeriahkan pekarangan. Arum keluar kamar, menemukan nenek sibuk merapikan kardus kosong di teras.
“Nek, biar Arum aja,” ujarnya, mengambil alih. Nenek tersenyum lega.
Setelah semuanya rapi, keduanya duduk di kursi bambu, ditemani secangkir teh poci gula batu. Bintang bertebaran di langit—jauh lebih jelas daripada di Jakarta.
“Nek,” bisik Arum, “terima kasih sudah menerima Arum apa adanya.”
Nenek menepuk tangan Arum lembut. “Keluarga bukan hanya soal darah, tapi juga tentang siapa yang mau memeluk kita meski luka masih basah. Arum sudah jauh lebih baik sekarang.”
Kata‑kata sederhana itu menenangkan hati Arum. Ia meneguk teh hangat, merasakan manis gula batu mengalir di tenggorokan, seolah membasuh kenangan pahit.
Di balik pagar, suara Risa terdengar samar—ia berceloteh dengan tetangga tentang rencana arisan. Arum menarik napas dalam‑dalam; ia tak bisa mengubah ibunya, tapi ia bisa mengubah sikapnya. Ia meneguhkan tekad: bagaimanapun, ia akan terus berjalan di jalur lurus demi Leo.
Ketika akhirnya beranjak tidur, Arum menuliskan satu kalimat di jurnal kusut miliknya:
“Kebahagiaan tak diukur dari berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa lapang hati menerima dan memperbaiki diri.”
Lampu kamar padam. Di luar, angin malam Jogja berbisik pelan, seolah ikut mengamini janji sunyi seorang ibu yang ingin menebus masa lalu dan menata masa depan—bukan lagi dengan tipu daya, melainkan dengan ketulusan dan cinta yang tak tergoyahkan.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.