Arum sedang menuangkan mie buatannya ke dalam mangkuk. Aroma kari soto yang menyeruak tajam membuat rasa laparnya semakin menggeliat tak tertahankan. Ia segera membawa mangkuk tersebut menuju meja kerja.
Ia tinggal di sebuah kos-kosan di Jakarta yang memiliki dua ruangan terpisah serta satu kamar mandi. Ruangan pertama adalah kamar tidur, lengkap dengan ranjang, lemari, dan meja kerja yang di atasnya berdiri sebuah komputer—alat tempur Arum untuk menulis novel-novelnya. Sementara ruangan kedua, yang dipisahkan oleh tembok kecil, berfungsi sebagai dapur mungil. Di sudut dapur itu ada kulkas kecil, dan dari arah dapur, pintu kamar mandi langsung bisa terlihat.
Arum meletakkan mangkuk mie di atas meja di samping komputer, lalu segera duduk dengan wajah penuh semangat. Ia menatap layar monitor yang menampilkan susunan kerangka novel barunya. Demi mencari inspirasi, ia memutuskan memasak mie agar pikirannya bisa bekerja lebih lancar.
Baru saja hendak menyuapkan mie ke mulutnya, suara dering ponsel memecah keheningan. Ia segera meletakkan garpu, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang.
Senyum Arum merekah saat melihat nama penelepon—Neneknya yang kini tinggal di Jogja. Ia bergegas duduk di ranjang dan menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Halo, Nek," sapanya penuh semangat.
"Halo, Arum. Gimana kabarmu, Nak?" suara lembut neneknya menyapa hangat.
"Baik, Nek," jawab Arum dengan senyum lebar.
"Ini loh, Leo mau ngomong sama kamu," ucap neneknya.
Arum tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. "Kasih ke dia ya, Nek. Aku kangen banget."
Beberapa detik ia mendengar suara Neneknya berbicara dengan seseorang, lalu terdengar suara polos yang amat dirindukannya.
"Halo."
Senyum Arum langsung merekah. "Halo, sayang."
"Ibu, Leo kangen. Ibu kapan pulang Jogja?" suara cadel anak itu terdengar manja.
Arum terdiam sejenak, menahan perasaan yang menghangat di d**a. Ia menarik napas dalam untuk menjaga suaranya tetap stabil.
"Ibu masih sibuk, Sayang. Ibu cari uang buat Leo. Bulan depan Ibu pulang, ya. Nanti kita jalan-jalan bareng."
"Horeeee! Janji ya, Bu?"
Arum mengangguk pelan, walau tahu Leo tak bisa melihatnya. "Iya, Sayang. Tapi Leo juga janji harus jadi anak yang sehat dan rajin makan sayur, nanti Ibu tanya Eyang, loh."
"Iya, Ibu! Leo makan sayur terus kok. Biar cepet gede, biar bisa jagain Ibu dan Eyang!"
Tawa Arum pecah mendengar kalimat polos itu. Sejak dulu, Leo selalu mengatakan bahwa karena hanya ada dirinya dan Eyang, maka dia sebagai anak laki-laki akan jadi pelindung untuk dua perempuan kesayangannya. Leo adalah harta paling berharga milik Arum.
"Bagus, anak Ibu memang pintar," puji Arum, "Sekarang, bisa kasih handphone-nya ke Eyang lagi? Ibu mau ngobrol sebentar."
"Oke, Bu!"
Beberapa detik kemudian, suara Nenek Arum kembali terdengar.
"Halo, Nak."
"Nek, kalian di sana baik-baik saja kan? Ibu nggak datang-datang buat minta uang lagi, kan?" tanya Arum khawatir.
"Tenang, Nak. Kami berdua baik-baik saja di sini. Ibu kamu udah dua bulan nggak pulang. Nggak ada marah-marah atau minta uang. Kamu juga jaga kesehatan, ya. Jangan kerja terlalu keras."
"Iya, Nek. Oh iya, bulan ini Arum belum bisa pulang. Banyak kerjaan dadakan. Mungkin baru bulan depan, ya."
"Kalau Ibu pulang, sebisa mungkin sembunyikan uang, ya, Nek," sambung Arum pelan.
"Ya sudah, tenang saja. Nenek yang urus semuanya. Yang penting kamu jaga diri di sana."
"Iya, Nek. Kalian juga jaga kesehatan di sana, ya."
"Kalau gitu, Nenek matikan teleponnya dulu. Takut ganggu kamu kerja."
"Iya, Nek."
Arum menurunkan ponselnya, menatap layar sejenak. Wallpaper-nya memperlihatkan foto dirinya tengah memeluk Leo erat. Senyum terukir di bibirnya. Foto itu adalah rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Ia berharap keluarga Mawardi tidak akan pernah mengetahuinya.
*****
~Satu Minggu Sebelum Hendrik Mawardi Meninggal (Lima Tahun Lalu~
Arum sibuk mencuci piring di dapur rumah keluarga Mawardi. Makan malam selesai satu jam lalu, dan setelah mengantar Kakek Hendrik ke kamar, ia langsung menuju dapur untuk membereskan peralatan makan sisa dari makan malam tadi.
Sambil mencuci, Arum terus menggerutu. Dalam hati ia kesal—sudah menjadi menantu orang kaya, tapi masih juga harus menyentuh piring kotor. Apa gunanya para pelayan yang sudah dipekerjakan oleh keluarga ini
"Bagas belum pulang?" suara seseorang membuat Arum menoleh. Ibu mertuanya, Putri Rahmawati, berdiri di dekat kulkas nampak mengambil minuman.
Putri tak pernah benar-benar menyukai Arum. Ia tahu Arum hanya berpura-pura jadi gadis baik di depan kakek Hendrik demi mendapat tempat di hati Ayah mertuanya itu. Bagi Putri, Arum hanyalah wanita materialistis yang ditunggangi ibunya untuk menguras harta keluarga.
"Belum, Ma. Dia katanya ada reuni SMA, jadi pulangnya pasti agak malam."
"Kalau begitu, kamu jangan tidur sebelum dia pulang," ucap Putri tegas.
"Iya, Ma," jawab Arum malas.
Setelah Putri pergi, Arum melanjutkan cuci piring sambil kembali menggerutu, "Dia pikir aku pembantu anaknya apa?"
Hari ini, ia harus menjalankan rencana yang disusun ibunya: menjebak Bagas agar ia hamil, dan dengan itu ia bisa mengikat lebih banyak harta milik keluarga Mawardi.
Sepuluh menit kemudian, semua piring-piring akhirnya sudah bersih. Ia kemudian segera membersihkan tangan, lalu menyiapkan sus* cokelat hangat—minuman favorit Bagas yang selalu diminum sebelum tidur.
Ia memastikan tak ada yang melihat, lalu mengeluarkan obat p3rangsang dari saku celananya dan menuangkan benda itu ke dalam gelas sus* yang dibuatnya.
"Dengan ini, aku pasti bisa hamil dan dapat banyak uang," gumamnya puas sambil tersenyum licik.
Sus* itu diletakkan di meja kecil di samping ranjang kamar mereka. Selama menikah, Bagas tak pernah menyentuhnya. Tapi malam ini, ia akan pastikan semuanya berubah.
Arum menatap jam—pukul sembilan malam. Ia yakin Bagas akan pulang sekitar tengah malam. Untuk menunggu, ia mengambil novel dan berbaring santai di atas ranjang.
Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Arum menguap, mulai mengantuk. Ia kesal.
"Kalau aku ketiduran, gagal dong semua rencanaku," gerutunya.
Saat hampir tertidur, suara ketukan pintu membuatnya terbangun. Dengan heran, ia membuka pintu. Gerald berdiri di sana, menopang Bagas yang tampak mabuk.
"Arum, ini Bagas. Dia mabuk habis reuni tadi. Banyak ngobrol dan minum," jelas Gerald.
Arum mengangguk, "Makasih, biar aku bantu bawa masuk."
Setelah Gerald pamit, Arum menyeret Bagas masuk. Dengan susah payah, ia membaringkan suaminya itu ke atas ranjang.
Begitu Bagas membuka mata dan melihat Arum, ia tampak linglung. Arum membantu meminumkan sus* cokelat yang telah diberi obat tadi pada Bagas.
"Minum dulu," bisiknya pelan. Ia tersenyum saat melihat Bagas meneguk habis sus*.
Bagas menepis tangan Arum yang memeganginya. "Lepasin gue."
Arum menurut, membiarkan obat yang sudah ia berikan bekerja. Beberapa detik kemudian, tubuh Bagas mulai terasa panas. Tatapannya mengarah pada Arum.
Ia menarik Arum ke pelukannya.
"Bagas, lepasin," ucap Arum pura-pura menolak.
Pelukan Bagas menguat. Tubuh mereka saling menempel. Arum menegang saat Bagas mulai mencium lehernya. Ia pura-pura memberontak, tapi dalam hati ia tahu: rencananya berhasil.
"Apa salah aku menuntut hakku sebagai suami?" tanya Bagas.
Arum terdiam. Dalam hati ia tersenyum licik.
Bagas meraih tengkuknya, mencium bibir Arum dengan brutal dan cukup kasar. Ciumannya dalam, seakan menumpahkan seluruh hasrat yang dirasakan oleh pria itu. Tangannya merayap ke punggung Arum, memeluk erat.
Dengan tubuh mereka yang saling menyatu, Bagas membaringkan Arum ke ranjang. Ia melanjutkan ciumannya, berpindah ke pipi, ke leher, dan terus turun.
Awalnya Arum berpura-pura menolak. Tapi kekuatan Bagas membuatnya menyerah. Ia pasrah.
Bagas membuka kancing piyama satu per satu. Tangannya melepas kaitan bra yang dipakai Arum, lalu meremas dadanya. Arum mengerang pelan, tubuhnya tentu saja bereaksi dengan semua sentuhan itu.
Ciuman Bagas turun dari leher ke dadanya. Tubuhnya memanas, dan keinginannya menguat.
Malam itu, rencana Arum berhasil. Ia dan Bagas benar-benar menyatu. Bahkan, lebih dari yang ia duga—sampai lima ronde membuatnya kelelahan.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.