Arum menarik Gina menjauh beberapa meter dari meja tempat para pembacanya bercengkerama. Suara tawa di belakang mereka masih riuh, tetapi di antara Arum dan Gina tercipta keheningan menegangkan. Tatapan gadis Mawardi itu tak lepas dari Leo, bocah lima tahun yang tengah menikmati cupcake sampai krimnya belepotan di pipinya.
“Dia… anak Kak Arum?” tanya Gina pelan, nyaris tanpa intonasi.
Arum merapatkan jemari di depan d**a, berusaha menenangkan napas. Ia tahu jawaban apa pun akan menyeret masa lalu yang telah mati‑matian ia kubur.
Gina mendengus, tak sabar. “Kenapa diam? Kakak pikir bisa pura‑pura tuli?”
Sebelum Arum menjawab, Gina menertawakan dirinya sendiri, sinis. “Atau jangan‑jangan Kakak memang menunggu Leo dewasa untuk kembali menguras harta keluarga kami?”
Arum menggeleng kuat. “Gina, aku—”
“Maaf, Kak. Aku susah percaya,” potong Gina. “Setelah semua kebohongan Kak Arum dulu? Mana mungkin keluarga kami tidak waspada.”
Arum menghela napas panjang. “Aku paham sekali kenapa kamu marah. Dan aku memang tidak pantas dipercaya. Tapi aku bersumpah, niatku sekarang hanya membesarkan Leo, bekerja, dan hidup tenang. Aku tidak akan—dan tidak mau—mencampuri urusan keluarga Mawardi lagi.”
Gina menatap ragu. Dalam tatapan itu, ada bara kecurigaan bercampur rasa ingin tahu. Arum menunduk, memijat pelipis; kemudian ia menengadah menatap Leo sejenak—mencari keberanian—sebelum berbalik hendak pergi.
“Sebentar.” Suara Gina menahan langkahnya. “Apa Leo anak Kak Bagas?”
Pertanyaan itu—tajam, lurus, tanpa basa‑basi—membekukan Arum. Untuk sesaat, hiruk‑pikuk kafe serasa menjauh. Ia perlahan memutar tubuh, menatap Gina dengan sorot yang sulit diartikan.
“Leo anakku,” ucapnya tegas. “Aku yang melahirkan, aku yang membesarkan. Dan aku tidak pernah berniat menuntut apa pun pada keluarga kalian. Bagiku, dia bukan alat tawar—dia duniaku.”
“Tapi dia anak Kak Bagas, kan?” desak Gina lagi, kali ini lebih lembut, seolah memohon kejujuran terakhir.
Arum menggeleng pelan, tatapannya tak goyah. “Dia… hanyalah Leo. Itu saja yang perlu kamu tahu.”
Jawaban ambigu itu membuat Gina menggigit bibir—marah sekaligus bingung. Namun Arum tak memberi ruang debat. Ia bergerak kembali ke meja, menghampiri komunitas pembaca yang masih menunggu.
“Teman‑teman,” kata Arum dengan suara terdengar stabil meski hatinya gemetar, “maaf, aku harus pulang lebih awal. Ada urusan mendadak. Kita atur jadwal meet‑up lagi, ya?”
Keluh kecewa terdengar, tetapi para pembaca memaklumi. Beberapa langsung menawarkan tanggal alternatif, yang lain meminta selfie kilat. Arum menandatangani dua buku sambil tersenyum, lalu meraih tangan Leo.
“Pulang, Bu?” tanya Leo dengan mata bening.
“Kita lanjut jalan‑jalan, tapi pindah tempat, ya Nak,” bisik Arum.
Ia menuntun Leo ke kasir, membayar seluruh tagihan. Sewaktu hendak memesan taksi daring melalui ponsel, suara langkah tergesa mendekat. Gina muncul, menahan lengan Arum.
“Maaf,” katanya, napas sedikit terengah. Tanpa menunggu jawaban, ia jongkok, sejajar dengan Leo. “Halo, Ganteng. Aku Gina, boleh panggil Aunty Gina.” Senyumnya lembut, nyaris membuat Arum lupa ketegangan barusan.
Leo mengulurkan tangan mungil. “Halo, Aunty Gina. Aku Leo. Aunty Gina cantik!”
Gina terkekeh, mengusap rambut bocah itu. Tatapannya beralih ke Arum, kini lebih lembut. “Aku sudah melihat, mendengar, dan… ya, merasakan sendiri. Kak Arum, biarkan aku tetap mengenal Leo. Aku janji tak akan membuka rahasia ini kepada siapa pun, termasuk Papa, Mama, apalagi Kak Bagas.”
Cahaya sore menerpa wajah Gina, mempertegas keseriusan di matanya. Arum bisa menilai tekad gadis itu sama kuatnya dengan kecurigaannya semula.
“Kalau suatu saat kamu menepati janji, aku tak keberatan,” kata Arum perlahan. “Tapi Gina, ini bukan permainan. Sekali rahasia Leo terbongkar, hidupku—hidup kami—takkan pernah sama.”
“Aku mengerti,” sahut Gina mantap. “Aku hanya ingin menjadi bagian kecil dari dunianya, bukan mengacak‑acaknya. Tolong beri kesempatan.”
Sunyi sejenak. Akhirnya Arum mengangguk pelan—persetujuan sekaligus peringatan tak terucap. Mendapati restu itu, Gina memeluk Leo singkat, senyum lebar terbit di wajahnya.
Tak lama, notifikasi ponsel berbunyi: mobil Avanza silver yang dipesan Arum sudah di depan gerbang kafe. Gina masih menggendong Leo ketika mereka bertiga berjalan keluar. Udara senja Jogja mulai sejuk; lampu jalan temaram, menyinari daun flamboyan berguguran.
Di perjalanan menuju mal, Gina duduk di bangku belakang di sebelah Leo—bukan Arum. Bocah itu sibuk memperlihatkan gambar dinosaurus di buku sketsanya, sementara Gina menanggapi dengan antusias pura‑pura takjub. Arum memperhatikan lewat kaca spion dalam; adegan kecil itu memantik perasaan asing di dadanya—campuran waspada, lega, dan hangat.
*****
Di mal, mereka menghabiskan waktu di toko mainan besar. Leo berlari ke rak balon raksasa berbentuk t‑rex hijau, menatap Arum penuh harap. Arum hendak mengangguk, tetapi Gina lebih dulu membungkuk, membisikkan sesuatu. Leo menjerit senang, memeluk Gina erat. Arum tidak mendengar bisikan itu, namun ia menangkap sekelebat binar bahagia di mata anaknya—dan entah kenapa, ia membiarkannya.
Malam kian larut. Setelah makan malam sederhana di food‑court—nasi goreng kampung dan jus semangka—Arum, Leo, dan Gina keluar dari mal, menembus gerimis tipis. Lampu neon memantul di aspal basah, menciptakan kilau pelangi semu di bawah kaki.
Di parkiran drop‑off, sebelum berpisah, Gina menatap Arum serius. “Kak, satu hal lagi. Apabila suatu saat Kak Bagas mengetahui fakta sebenarnya… tolong izinkan aku jadi jembatan, bukan penghalang. Kalau terjadi, aku ingin memastikan Leo tidak terjebak konflik orang dewasa.”
Ucapan itu membuat Arum tercekat. Ia menatap Leo—yang sedang tertarik menendang genangan air kecil—lalu menatap Gina. “Kita belum tahu masa depan. Tapi… terima kasih untuk niat baikmu.”
Mereka bertukar nomor telepon. Gina menepuk bahu Leo, menjanjikan jalan‑jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka minggu depan. Leo mengangguk, girang.
Taksi daring Arum tiba; pintunya terbuka otomatis. Sebelum masuk, Arum menatap Gina sekali lagi. Dalam diam, mereka sepakat: masa lalu tetap masa lalu, tetapi masa depan bisa ditulis ulang—seperti bab baru di novel yang masih kosong.
Ketika mobil melaju meninggalkan mal, Arum memeluk Leo—balon dinosaurus tergencet di antara mereka. Di luar kaca, lampu kota berlarian mundur; di dalam hatinya, harapan kecil mulai tumbuh. Mungkin, pikirnya, inilah awal kesempatan untuk benar‑benar menebus kesalahan—bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk darah daging yang kini tertidur di pangkuannya.
Dan di suatu tempat, gadis bernama Gina menatap lampu belakang taksi itu mengecil. Di hati gadis Mawardi itu, berkecamuk pikiran: bagaimana cara menjaga janji tanpa memicu badai di keluarganya sendiri. Namun ada keyakinan yang menyalakan tekad: selama ia bisa melindungi Leo, ia bersedia berjalan di atas tali tipis rahasia ini—setipis benang, sekokoh baja.
Waiting for the first comment……
Please log in to leave a comment.