bc

Jadi Istri Duda

book_age18+
2.0K
FOLLOW
20.5K
READ
family
age gap
pregnant
arranged marriage
independent
self-improved
drama
secrets
school
wife
like
intro-logo
Blurb

Karena terus disuruh kencan buta oleh sang ibu, Juwita Anggari Hidayat akhirnya memilih untuk menikah dengan duda anak satu, Jamal Antonio Ruhan, yang telah menolongnya dari para lelaki nakal di jalanan.

Hal itu mau tidak mau membawanya pada kehidupan baru sebagai istri dan ibu tiri. Terlebih lagi dia juga belum mengenal Jamal dan anaknya. Dia kira, akan semakin sulit untuk membagi waktu untuk keluarganya di rumah dan pekerjaannya di butik. Apalagi dia harus mengurus remaja umur lima belas tahun itu. Susah senang dia rasakan apalagi anak tirinya ini sedikit pendiam dan agak jual mahal. Anehnya, dia menyukai dan menikmati kehidupan barunya itu.

Ya, baru. Sangat baru hingga dia hampir melupakan bahwasanya dialah yang sebenarnya masuk ke dalam kehidupan keluarga kecil Jamal tersebut. Banyak hal baru yang dia ketahui dari masa lalu. Akankah dia tetap bertahan dengan semua hal baru yang dia dapatkan?

chap-preview
Free preview
Pria Penyelamat
Sudah dua hari ini Juwita kelabakan harus mencari kain, bahan untuk proyek eksperimen rancangan gaun barunya. Ini adalah proyek terbarunya bersama para karyawan di butiknya. Juga, yang perlu dicatat ini adalah proyek dadakan yang tidak sengaja disetujui oleh salah satu asistennya dalam rangka kolaborasi brand. Ya, tidak sengaja karena saat itu asistennya sedang basa-basi bersama manager desainer lainnya yang malah berujung kesepakatan. Masalahnya adalah waktu perilisan dan acara akan digelar tiga minggu lagi. Sedangkan ia perlu menemukan bahan yang layak, ekonomis dan tepat dalam waktu sesingkat itu sebelum tanggal perilisan. Lebih lagi target utama acara kolaborasi kali ini adalah kalangan tengah. Kalangan tengah biasanya lebih selektif dan juga mempertimbangkan antara kualitas dan harga yang pantas dengan isi dompet. Syukur kalau bisa dijangkau oleh yang agak di bawah. Ide rancangan gaun yang dirumuskannya bersama tim pengerjaan ini memiliki konsep elegan dengan harga yang bersahabat. Perilisan juga akan diadakan secara terbuka, di salah satu mall Sidoarjo. Jadi, sebisa mungkin dia dan para karyawannya bekerja dengan baik dan cepat. Oke, mungkin itu bisa dikondisikan nanti saat dia sudah menemukan semua bahan. Akan tetapi, hari ini cukup mengenaskan baginya. Dia harus mencari bahan tersebut sendirian karena berbagi tempat tujuan dengan asisten dan satu karyawan lainnya. Dia pergi ke pusat pertokoan di Sidoarjo. Salah satu temannya pernah mengabarkan bahwa bahan kain di sana banyak yang berkualitas dan dijual dengan harga di bawah pemasar semestinya. Sedangkan asistennya dan satu karyawan menuju ke pusat kain yang ada di Surabaya. Sebenarnya tadi ada salah satu karyawannya yang menawarkan diri untuk menemaninya mencari bahan, namun karena ada jadwal lain sebelum meluncur ke tempat, dia tidak jadi ditemani. Bagaimana pun, dia juga yakin bisa mengatasinya sendiri. Toh, sebelum menjadi desainer yang ternama, dia juga pernah mengalami hal seperti ini. Apakah Juwita tidak mempunyai manager? Jawabannya, dia punya. Hanya saja hari ini managernya sedang berlibur dengan keluarganya, anaknya libur sekolah. Jadi, dia tidak berani untuk mengganggu keluarga itu. Waktu setempat telah menunjukkan pukul lima sore dan Juwita baru saja selesai mencari bahan kain yang dia inginkan. Sejak tadi siang, dia harus berpindah dari satu toko ke toko yang lain. Untung dia memakai sepatu biasa, bukan yang berhak tinggi. Tumitnya terselamatkan. Hingga tiba di toko terakhir, dia meminta izin terlebih dahulu ke pemilik toko sebelum duduk di kursi yang ada di emper toko untuk meminum air mineral, demi melegakan dahaganya. Dengan senang hati, pemilik toko itu mempersilakan. Juwita melepaskan lelahnya sejenak. Kendaraan bermotor berlalu lalang di Jalan Gajah Mada itu, salah satu jalan yang sibuk di Sidoarjo. Pandangannya tertuju pada mobil box yang membawa muatan di seberang jalan. Para pekerja angkut menurunkan muatannya. Dia berpikir sejenak tentang bagaimana lelahnya menjadi tukang angkut. Dia yang berjalan ke sana kemari dan hanya membawa diri dan tasnya saja sudah cukup lelah. Apalagi mereka yang harus mengangkat barang. Satu alasan untuk tetap bersyukur dan tidak gampang mengeluh. Pemilik toko menghampiri Juwita dan mengabarkan bahwa dia selesai menotal semua pesanan wanita itu. Setelah menyelesaikan transaksi, dia hendak menuju ke mall terdekat untuk mampir ke restoran yang pernah dia kunjungi bersama asistennya. Tak jauh, hanya butuh jalan kaki sekitar dua ratus meter dia sudah bisa sampai ke sana. Sudah tidak ada becak yang bisa dia pakai jasanya untuk mengantarkannya sampai ke mall tersebut. Sejenak, Juwita merutuki keputusannya sendiri yang memarkir mobilnya di parkiran mall agar aman. Dengan langkah santai dan tubuh yang cukup lemas karena belum makan siang dari tadi, Juwita berjalan menelusuri jalan lurus di tengah pusat pertokoan itu. Langit sudah mulai menggelap. Keadaan sekitar juga mulai sunyi. Jalan yang dia lewati juga semakin minim orang. Mungkin penduduk setempat hendak bergegas ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat maghrib. Adzan berkumandang ketika wanita berparas cantik dengan rambut setengah lengan atas itu mencapai setengah jalan. Di ujung sana, dia bisa melihat jalan protokol yang sibuk dan padat oleh kendaraan bermotor, lebih padat dari jalan di ujung satunya. Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, dia mempercepat langkah untuk segera mencapai ujung jalan. Perutnya perlu segera diisi. Dia bisa pingsan kalau tidak mengembalikan energinya yang terkuras seharian. Pun, tekadnya itu didukung oleh perasaannya yang tiba-tiba saja menjadi gelisah. Sepertinya dia salah memilih jalan. "Hai, Mbak. Mau ke mana? Ditemenin boleh, nih." Suara asing lelaki pinggir jalan itu membuat Juwita melirik sejenak dan segera mempercepat langkahnya. Sial. Tidak hanya ada satu orang di sana. Firasat buruknya yang baru saja terlintas terbukti dengan secepat itu. Berkali-kali dia mendengar siulan yang dia yakini ditujukan kepadanya. Siapa lagi? Di jalan itu hanya ada dirinya seorang. Dalam hati, Juwita merapal berbagai doa agar tetap dijaga oleh Yang Maha Kuasa meskipun di sisi lain hatinya dia juga merutuki jalan pilihannya yang sepi. "Ke mana, sih, Mbak? Buru-buru amat." Dia dihadang. Ada tiga lelaki di sekelilingnya. Tampak sekali dari wajah mereka bahwa mereka bukan orang yang baik-baik. "Maaf, saya harus segera pergi. Mas-Mas ini tolong beri saja jalan." Genggaman tangan Juwita mengerat pada tali tasnya yang tersampir di bahu. Kalau bukan tasnya yang diinginkan oleh para lelaki ini pasti, ya, dirinya. Pikirannya sangat buruk. Bahkan dia rela kalau harus memberikan sisa uang yang ada di dompetnya sekarang dari pada harus menjadi korban pelecehan. Bagaimana pun kehormatannya harus tetap dia jaga dan lindungi. "Enggak bisa gitu, dong." Sial, sungguh sial. Dia semakin terpepet hingga tidak bisa bergerak leluasa lagi. Mereka memang belum menyentuhnya, tapi dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia tidak segera menyelamatkan diri. Maka dengan mengincar celah yang ada, dia berusaha kabur dari para lelaki nakal itu. Nahas, tangannya berhasil dicekal dan tubuh semampainya itu harus terjatuh ke aspal. Sakit sekali rasanya. Bahkan dia yakin ada luka lecet di sebagian kulitnya. "Tolong!" Teriakan itu terasa sia-sia saat dia sudah berkali-kali mengeraskan suaranya namun tidak ada satu pun orang yang datang untuk menolongnya. Air matanya mulai berjatuhan. Dia masih berusaha agar bisa terlepas dari cekalan salah satu pria nakal tersebut. Dia terus memberontak dan berteriak meskipun mulai merasa sangat putus asa. Suaranya terdengar sangat pilu tanpa ada tenaga yang cukup untuk melawan, untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah diseret ke trotoar. Kaki mulus terawatnya bergesek langsung dengan aspal. Terasa sangat kasar dan perih. Dia dibawa hampir masuk ke gang sempit antara dua bangunan di sana ketika dia mendengar ada suara pukulan di belakang. "Lepaskan dia!" Teriakan itu membuat pria yang mencekalnya semakin erat memeganginya dan semakin kuat menariknya. Namun sedetik kemudian pria itu terpental. Dia pun ikut terjatuh ke tanah. "Anda tidak apa-apa?" tanya orang asing yang berteriak tadi kemudian membantu Juwita bangkit, sebisa mungkin menjauh dari sana. Dia memakai setelan jas rapi, seperti baru pulang dari kerja. Juwita tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menangis. "Saya sudah telepon polisi," kabar orang itu lagi. Dia memapah Juwita berjalan menjauh dari tiga pria berandal itu, memastikannya ada di jarak aman. Pukulan keras di punggung penolong Juwita terdengar sangat menyakitkan. Dengan segera, dia berbalik dan meladeni perkelahian tiga banding satu itu. Terlihat pria penyelamat itu bisa mengimbangi perkelahian tersebut. Hingga suara sirine mobil polisi terdengar. Tiga pria berandal itu hendak kabur namun segera terkejar oleh para petugas. "Maaf, Anda jadi ketakutan." Pria penyelamat itu mendekati Juwita. Wajahnya sudah penuh dengan lebam dan setelannya sudah terlihat lusuh karena perkelahian barusan. Juwita terlihat masih terpukul dengan kejadian barusan dan hanya bisa sesenggukan di tempatnya sambil menenggelamkan wajah di lututnya. Dia mengintip dari balik tangannya yang terlipat dan menatap tangan yang terulur kepadanya. Dia menyambut tangan tersebut setelah menenangkan diri. Dia dibantu berdiri. Lalu Pria itu memberikan jasnya kepada Juwita untuk menutupi bahu gadis itu yang terekspos karena pakaiannya robek. Pria itu hanya diam dan berdiri di sebelah Juwita yang masih tergugu dalam tangisannya. Juwita berusaha menghentikan tangisannya namun dia masih terlalu syok dengan apa yang barusan terjadi. Pikirannya masih tidak bisa jernih. "Terima kasih," cicitnya. "Sama-sama. Tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan menjaga Anda," kata pria itu. Terdengar sangat tulus. Salah satu petugas mendatangi mereka. "Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan." "Baik, Pak." Pria itu menjawab dengan tegas. Kemudian dia berjalan di samping Juwita, menuju mobil petugas. Setelah memberikan keterangan dan kronologi kejadian untuk laporan kepada polisi yang bertugas, Juwita dan lelaki yang menolongnya tadi keluar secara bersamaan. Juwita yang masih syok dengan kejadian tadi belum sepenuhnya bisa mengontrol diri. "Terima kasih banyak." Juwita berterima kasih sekali lagi dengan tatapan yang masih setengah kosong itu. Dengan canggung, dia sedikit membungkukkan tubuhnya ke depan. Pria itu tersenyum dan mengangguk ringan. "Iya. Sama-sama." Melihat wanita di depannya yang masih labil, dia pun berinisiatif untuk menawarkan bantuan lebih. "Mau diantarkan ke rumah sakit? Mungkin ada yang terluka." Juwita menggeleng dan agak heran dengan pria di depannya ini. Bukannya lelaki itu yang perlu perawatan, ya? Kenapa dirinya yang ditawari ke rumah sakit? Apalagi wajah lelaki itu terlihat semakin pucat meskipun masih memasang senyuman yang memperlihatkan dua lesung pipinya. Sedetik kemudian, dia langsung sadar. Seharusnya itu yang dia lakukan sedari tadi. Astaga, bodohnya. "Maaf. Tapi, mungkin saya bisa mengantarkan Anda ke sana. Maafkan saya. Saya masih agak ...." "Kak Juuuu!!!!!" teriak seseorang dari tempat parkir. Dia berlarian ke arah Juwita. "Hellen!" Juwita melangkah beberapa hitungan untuk segera bisa memeluk gadis itu. Dia sudah tidak tahan. Dia ingin melepaskan ketakutannya. "Maaf, aku terlambat banget, ya? Tadi ada kendala di rumah sakit. Astaga, Kak Ju. Kamu kenapa bisa jadi kayak gini? Ya ampun kakakku sayang. Mana pucet banget lagi." Hellen memeluk erat Juwita. Gadis yang lebih tua darinya itu menangis kuat dia balik pelukan tersebut. Pria penyelamat tersebut membiarkan kedua wanita di depannya melepas keresahan mereka. Dia menahan diri untuk berpamitan hingga kedua wanita tersebut selesai dengan kehebohan pilu yang mereka buat. Sekaligus dia harus menahan rasa sakit dan lelah yang menggelayuti seluruh tubuhnya. "Eh," sadar Hellen lalu berbalik ke belakang, ke arah Pria itu. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak sudah menolong Kak Juwita." Gadis itu sangat bersyukur. Pria itu tersenyum, menampakkan kedua lesung pipinya yang baru saja Juwita sadari bahwa itu sungguh menawan. "Bukan apa-apa." Dia berucap tulus dan sopan dengan suara beratnya. "Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Anak saya pasti sudah menunggu di rumah. Permisi." Setelah itu, lelaki tersebut melangkah pergi dari hadapan mereka berdua. "Lo udah punya nomor teleponnya belum, Kak? Biar bisa bales kebaikan dia." Hellen merasa ada yang tidak beres dengan kesadaran Juwita. Biasanya gadis yang dia kenal itu jika berterima kasih selalu menampakkan wajah segan dan bersyukurnya dengan sangat ekspresif. Akan tetapi, saat ini yang dia lihat adalah Juwita yang linglung. Semakin menguatkan dugaannya jika katingnya di kampus dulu ini belum memberikan apa-apa sebagai balasan bagi kebaikan pria tadi. "Hah? Nomor telepon? Astaga gue lupa. Gimana ini?" Kaki Juwita mengentak-entak kecil. Tangannya secara random meraba-raba lengan Hellen, mencari genggaman. Dia panik. "Ya ampun, Kak. Tunggu sini." Hellen segera mengejar langkah lelaki tadi. Namun, baru saja dia akan berbelok ke samping bangunan kantor polisi tersebut .... "KAKAAAAKKK!!! TOLOOONG!!!!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.5K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.0K
bc

Love Match (Indonesia)

read
172.9K
bc

KUBELI KESOMBONGAN IPARKU

read
45.7K
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook