bc

POLYPHONIC

book_age18+
128
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
possessive
sex
love after marriage
dare to love and hate
sweet
bxg
mystery
punishment
like
intro-logo
Blurb

Kembali ke tempat negaranya di besarkan, ternyata tidak seperti yang Mia bayangkan. Keinginannya untuk membereskan masalah dan segala kesalah pahaman yang selama ini mengikatnya ternyata malah membuat ia terperangkap pada sebuah pernikahan gila yang memupuskan ekspetasi dongeng-dongeng indah yang ia harapkan akan menjadi kenyataan di kehidupannya nanti.

Namun, semua kesialan itu nyatanya telah di rancang serapi mungkin oleh seseorang yang begitu ingin melihatnya menderita.

Sama sepertinya.

chap-preview
Free preview
BAB 1
Bagian 1 Kelam satu kata dalam pikirannya saat pertama kali masuk ke dalam rumah yang hampir seluruh ruangannya di beri cat berwarna putih. Warna putih itu hanya membuatnya semakin berkesan mati. Walaupun begitu, rumah ini bukanlah sembarang rumah. Rumah mewah berwarna putih ini adalah milik seorang pria kaya raya yang ia dapat dari warisan ayahnya yang telah tiada tiga belas tahun yang lalu. Dekorasi ruangannya pun bukan main, benar-benar artistik. Dengan barang-barang klasik yang harganya pun tak terhingga. Dia tidak pernah menyimpan teknologi modern seperti televisi, DVD Player, xBox atau semacamnya. Pria itu benar-benar menghindari dunia, bahkan menghindari dirinya sendiri... Alunan suara instrumental dari Beethoven – Moonlight Sonata terus menggema sejak pagi hari tadi di ujung ruangan itu. Salah satu instrumental melankolis yang sering ia putar tiap harinya. Sama seperti arti yang ingin Beethoven sampaikan dari lagu itu, komposisi ini tercipta sebagai wujud cintanya yang dalam kepada muridnya, Countess Giulietta Guiccirda. Komposisi ini di buat saat Beethoven sudag mulai beranjak tuli, ia melukiskan seberapa dalamnya perasaan itu. Disinilah Beethoven menampilkan dirinya yang sebenarnya. Kerasnya personality yang ia miliki, emosi, amarah, ketidakadilan yang ia rasakan tertuang dalam movement ketiganya, sonata presto agiato. Daren menunggu di ambang pintu dengan sabar, ia tidak ingin menggangu waktu pria itu  yang sedang tenggelam dalam dunianya sendiri, tenggelam dalam setiap alunan instrumental Beethoven nya. ''kenapa kau datang sepagi ini?" suara itu mengintrupsi lamunannya tentang pria yang selalu berwajah serius itu. ''maaf, aku tadi lupa mengetuk pintu," Daren berkata dengan gugup. "aku hanya ingin memberi tahumu sesuatu. Aku sudah menemukan keberadaannya, itu memang dia.'' Ekspresi wajahnya langsung berubah saat mendengar hal itu. ''apa kau sudah benar-benar memastikannya?'' ''ya, aku sudah memastikannya sendiri. Dan kabar lainnya adalah, dia akan kembali, tiga hari yang lalu dia telah membeli tiket untuk kembali. Besok dia akan sampai.'' Rahangnya terlihat mengeras dan tanpa sadar ia mengepal lengannya sendiri cukup kuat. ''itu bagus, akan lebih mudah untukku menjangkau nya.'' ''apa yang akan kau lakukan?'' Daren bertanya dengan penasaran, merasakan firasat buruk yang akan terjadi. ''lihat saja nanti.'' Katanya dengan senyum miring penuh arti. ''terimakasih Daren, kau boleh kembali sekarang.'' Katanya dengan dingin, kembali memutar instrumental favoritnya dan berbalik duduk sambil memejamkan matanya dengan tenang. *** Ia terus menghela nafasnya panjang. Begitu gugup sekaligus bersemangat. Keramaian di hadapannya tampak begitu asing. Sudah sangat lama ia tidak pernah kembali, karena paksaan? tuntutan? Entahlah, yang pastinya ia tidak menyesali keputusannya untuk kembali saat ini. Ia mencoba menghubungi Papanya, sengaja tidak memberi tahu kedatangannya untuk memberinya sebuah kejutan. Tapi ia harus menelan kekecewaannya saat nomor telepon Papanya tak dapat di hubungi. Ia berjalan gontai sambil mendorong kopernya menuju taxi yang akan ia tumpangi. Tidak apa, seperti biasa mungkin Papanya yang super sibuk itu selalu mengabaikan telepon-telepon yang menurutnya tidak terlalu penting. Ia lalu mengeluarkan I-Pod dari dalam tas selempang nya lalu memasang headset sambil mendengarkan lagu Feel dari Robbie Williams, salah satu lagu favoritnya, ia terus mengulang lagu tersebut dalam perjalanan. Dan diam-diam dia berharap keinginan yang tertulis dalam lirik lagu tersebut akan segera tercapai juga untuknya... Supir taxi itu membantunya mengeluarkan barang bawaanya saat mereka sudah sampai pada tempat tujuannya. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat plank besar yang menuliskan bahwa rumah di hadapannya ini telah di sita oleh salah satu bank. ''pak, apa benar ini alamat yang tepat?'' tanyanya pada supir taxi itu. Supir taxi itu menganggukan kepalanya. ''Ini alamat yang anda tunjukan pada saya, Nomor 33 kan? Lihat saja, disana tertulis nomor rumah 33.'' Katanya menunjuk pada nomor rumah yang tertera di pembatas pagar besi rumah ini. Jika rumah ini disita, dimana Papanya tinggal sekarang? Atau ia menuliskan alamat yang salah? opsi kedua jelas tidaklah benar, ia sungguh ingat betul rumah tempatnya tinggal dulu disini. Tapi apa yang terjadi? Kenapa papanya tidak memberi tahu kan masalah ini padanya? Dan sebelum ia semakin penasaran, ia mencoba kembali menghubungi Papanya, tapi sialnya tak ada jawaban lagi. ''Mia?'' ia menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Seorang pria dengan setelan santai yang baru keluar dari mobil swift nya menatapnya dengan tatapan ragu sekaligus tidak percaya. ''kau, benar-benar Mia kan? Mia Clark?'' ''ya, itu aku. Kau siapa?'' tanya Mia dengan was was. Pria itu membulatkan matanya tidak percaya. ''sial. Ini bukan mimpi kan? Mia, apa kau ingat aku? Aku Gio, tetanggamu dulu. Kita sering bermain bersama di halaman belakang rumahku. Aku sungguh ingat mata bulatmu yang hitam itu. Hanya kau yang mempunyai mata seperti itu.'' Mulutnya langsung membentuk huruf O ketika ia mengingat siapa pria di hadapannya. ''Gio, ah ya, aku mengingatmu sekarang! Kau masih tinggal disana? Astaga, aku benar-benar tidak menyangka kau masih mengingatku.'' Gio langsung memeluk Mia tanpa aba-aba. Dan Mia membalas pelukannya walaupun terasa sedikit canggung. ''tapi berita itu, berita kematian tentangmu bagaimana bisa? Atau aku pasti sedang bermimpi kan?'' tanyanya saat Gio melepas pelukannya. Mia langsung menggelengkan kepalanya cepat. ''aku masih hidup, lihatlah aku. Ceritanya sangat panjang, tapi sebelum itu apa kau tahu tentang ini? kau tahu dimana Papaku tinggal sekarang?'' Gio langsung menatap rumah besar di hadapannya lalu menggelengkan kepalanya. "itu di pasang sejak sebulan yang lalu, aku tidak tahu menahu, memangnya Papamu tidak mengabarimu?" "tidak Gio, dia bahkan tidak bisa di hubungi saat ini. apa aku datang di saat yang tidak tepat?'' tanyanya dengan lesu. "aku akan membantumu, tapi sebelum itu kau harus menceriakan semuanya padaku. Ok?'' "terimakasih. Tapi apa kau tahu hotel terdekat dengan harga yang murah disini? aku tidak punya tempat tinggal lagi.'' Gio langsung menggeleng cepat, "tidak perlu repot-repot mencari hotel Mia, kau bisa tinggal di apartemen ku untuk sementara," raut wajah Mia langsung berubah membuat Gio langsung menyanggah perkataannya. "jangan salah paham, bukan seperti itu, apartemenku bukanlah tempatku menetap, aku membelinya jika aku ingin sendiri saja. Jadi aku menawarkannya padamu, untuk kau tinggali sampai masalahmu selesai. Bagaimana?" "kau tidak perlu repot Gio, lebih baik aku mencari hotel saja. Kurasa itu lebih baik." "Kau sama sekali tidak merepotkanku, aku hanya ingin membantumu. Sungguh, kau masih menganggapku sebagai teman kan?" "tentu saja, ya kau teman ku. Aku hanya merasa tidak enak, kita baru saja bertemu, dan dengan keadaan yang seperti ini. Bahkan sebelumnya kau sudah mengetahui kabar kematianku, aku---" "jangan khawatirkan itu, ini memang terasa begitu canggung. Tapi percayalah, sejak awal kau teman yang sangat istimewa bagiku. Percaya atau tidak aku tidak pernah mempercayai berita tentang kematianmu itu, dan aku sungguh sangat percaya kembali." Mia terkekeh menyembunyikan pipinya yang merona saat ini. "benarkah? Aku tidak merasa aku sespesial itu." "jangan banyak bicara lagi Mia, sekarang masuk ke dalam mobilku dan jangan menolaknya." Kata Gio sambil membawa barang bawaan Mia tanpa persetujuannya membuat Mia tidak di beri pilihan lain lagi. *** "apartemen ini memang sangat sederhana, tapi kurasa ini cukup nyaman untuk kau tinggali." Gio berkata saat mereka sudah sampai di tempat nya. "ah tidak, ini lebih dari cukup untukku." "kau haus atau lapar Mia?" tawarnya. Mia menggeleng cepat, "tidak terimakasih." Gio mengangguk tidak ingin memaksa, lalu ikut duduk di sebelah Mia saat ini. "oke kalau begitu, sekarang ceritakan semuanya padaku." "apa yang ingin kau tahu?" tanya Mia sambil terkekeh pelan. "semuanya Mia," Mia terdiam untuk beberapa saat. "sejujurnya aku tidak tahu harus mulai darimana, tapi aku persingkat. Ini memang sedikit rumit, aku juga tidak tahu kenapa Papa tiba-tiba saja mengirimku pergi ke luar negri tanpa penjelasan apapun. Aku di beri identitas baru, lingkungan baru dan semuanya terjadi begitu saja. Papa hanya meminta padaku untuk menjalani semuanya seperti seseorang yang baru terlahir, dia tidak pernah memberi tahu padaku alasannya. Dan sekarang, aku kembali karena aku pikir ini semua telah cukup. Aku ingin menjalani hidupku sebagai aku, hanya itu. Apa kau dapat mengerti?" Gio termangu untuk beberapa saat. Tidak dapat mendeksripsikan bagaimana perasaannya saat ini. "ya kurasa aku mengerti." Katanya pelan. Gio menatap dalam wanita yang sekarang jauh lebih dewasa di banding saat terakhir kali ia melihatnya. Ada sesuatu yang selalu membuat wanita itu terlihat spesial baginya. Dan Gio tidak tahu apa itu. Nada dering dari ponselnya seketika langsung membuyarkan lamunannya. Gio memberi isyarat pada Mia untuk meminta ijin mengangkat teleponnya sebentar. Mia menghela nafasnya pelan, tidak tahu harus bersyukur atau apa dengan bantuan yang Gio berikan saat ini, ia hanya tidak suka jika harus berhutang budi pada seseorang. Terlebih lagi ia masih merasa sangat canggung. Yang ingin ia ketahui saat ini hanyalah keberadaan Papanya, dan juga semua tentangnya yang selalu beliau sembunyikan. Telah lama Mia menyadari, selama ini ia hidup dalam kehampaan seperti sesuatu telah di renggut secara paksa dari dirinya. Sesuatu yang selalu membuat dirinya merasa hilang dan tersesat. Dan kini ia akan menemukan jawabannya, secepatnya. "Mia maafkan aku, ada urusan yang sangat mendadak. Aku pikir sebaiknya kau beristirahat terlebih dahulu, kau pasti lelah. Ah dan, disini sudah tersedia banyak makanan jika kau lapar. Secepatnya aku kembali. Tidak apa-apa kan?" "eh tentu saja tidak apa-apa, pergilah selesaikan urusanmu." Mia cepat-cepat berdiri. "sebentar, aku boleh meminjam ponselmu?" Mia memberikan ponselnya, lalu dengan terburu-buru Gio menyimpan nomor kontaknya sambil menghubungi nomor nya sendiri untuk mengetahui nomor ponsel Mia. "aku sudah menyimpan kontakku di ponselmu, jika kau membutuhkan sesuatu secepatnya hubungi aku oke?" Setelah mengiyakan permintaannya Gio bergegas pergi, meninggalkan Mia dengan keheningannya. *** Gio menghubunginya jam sembilan malam tadi, pria itu mengatakan jika iya tiak bisa menemuinya lagi hari ini karena urusannya masih belum selesai, ia terus meminta maaf dan berjanji akan segera kembali untuk membantunya mencari tahu keadaan Papanya saat ini. tentu saja Mia tak keberatan, ia tidak ingin menjadi benalu untuk siapapun. lagipula Mia masih dapat di katakan bukan siapa-siapa pria itu, teman? Rasanya masih terlalu jauh untuk ia sebut sebuah pertemanan. Mia mematikan lampu kamarnya, termenung sejenak lalu memutuskan untuk memejamkan matany dan tertidur... Putih, tiba-tiba ia berada di sebuah ruangan penuh cahaya yang membuat penglihatannya terhambat. Ia sudah sangat mengenal tempat ini. lalu saat penglihatannya sudah mulai jelas, semuanya akan berubah, suasana siang di musim panas. Lagi-lagi mimpi yang sama. Mimpi itu terus menghantui Mia selama bertahun-tahun, gaun putih kebesaran yang ia kenakan sambil berlari-lari dengan tawa bahagianya bersama seorang pria misterius yang menganakan jas berwarna hitam yang begitu pas di tubuhnya. Hanya itu bagian menyenangkan dalam mimpinya, karena setelah itu tawa cerianya berubah menjadi tangisan saat ia tak sengaja tersandung jatuh, lalu gaun putihnya tiba-tiba saja penuh dengan lumuran darah. Tangisan dan jeritan histeris terdengar dimana-mana. Ia merangkak untuk menggapai pria dengan jas hitam yang sedang meringkuk ketakutan di pojok ruangan sambil menutup telinganya. Dan saat pria itu akan menoleh padanya, ia akan terbangun dengan keringat dingin yang membanjiri tubuhnya. Tidak pernah di beri kesempatan untuk melihat wajah pria itu dengan jelas. Mia mendesah kecewa, entah karena mimpi itu mengusiknya lagi atau karena ia selalu gagal untuk melihat dengan jelas pria berjas hitam itu. Ia menoleh ke arah jam. Masih pukul tujuh pagi, ia berjalan gontai ke luar kamarnya untuk mengambil segelas air. Gio pria yang sangat rapi, dalam apartemennya semuanya tertata sangat rapi dan bersih. Dan pria itu terlalu baik. Entah kenapa kebaikan seseorang selalu membuatnya merasa risih. Sungguh aneh. Gio mengirimnya sebuah pesan bahwa ia akan datang pagi ini. dan tak lama suara bel apartemen milik Gio berbunyi, mungkin itu Gio pikirnya, tapi sebelum itu, yang menjadi pertanyaannya kenapa Gio harus memencet bel terlebih dahulu? Pria itu sangatlah sopan, jadi mungkin itu alasannya. Tebakannya salah besar, bukan Gio yang datang. Melainkan dua orang pria asing yang melihatnya saja membuat Mia langsung berfirasat buruk, dan benar saja sebelum Mia sempat bertanya, dengan ahli dua orang pria itu membungkam mulutnya, dan menutup matanya dengan secarik kain. Ia sama sekali tidak di ijinkan untuk memberontak karena tiba-tiba saja tubuhnya terasa sangat lemas, dan kesadarannya pun menghilang...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

I LOVE YOU HOT DADDY

read
1.1M
bc

Bastard My Boss

read
2.7M
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

His Secret : LTP S3

read
647.3K
bc

PERFECT PARTNER [ INDONESIA]

read
1.3M
bc

HOT NIGHT

read
606.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook