bc

MENGENANG JANJI

book_age18+
375
FOLLOW
3.8K
READ
HE
stepfather
blue collar
drama
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Sudah begitu lama Arini, tidak berkunjung ke tempat indah ini. Tempat dimana dirinya pernah saling berjanji dan Arini ingin mengenang janjinya yang telah terucap. Tempat ini ternyata masih ada dan akan tetap menyimpan janjinya.

Pertemuan dengan teman lamanya telah membuka tabir. Bahwa seseorang yang ditunggunya telah mengingkari janjinya. Arini terlalu percaya diri, merasa baik baik saja, ternyata hubungan yang dijalaninya sudah berubah.

Sahabat yang disayang dan dicintainya telah menggeser posisinya dari hati Azam. Persahabatannya tidak akan bisa sama dan kembali seperti semula.

Siapkah Arini akan kehilangan sahabat atau lelaki yang dicintainya ataukah Arini akan kehilangan dua duanya..?

chap-preview
Free preview
TERKUAK
Arini berjalan terburu-buru khawatir tidak sempat menemui adik lelaki kesayangannya, yang akan berangkat untuk melaksanakan tugasnya di luar luar Pulau Jawa. Untuk kali pertama dirinya akan terpisahkan jarak. Walaupun berat, Arini harus merelakan adiknya, demi masa depannya. "Kakak pasti dukung dek, sudah mengikuti serangkaian tes yang panjang, massa karena ditempatkan jauh dari Ibu dan Kakak kamu mundur." Arini terkekeh, senang mengganggu adiknya. "Gak mungkin lah Kak, masa Aku sudah terpilih mundur." Ucap Angga melirik ibunya, yang terdiam sambil memperhatikan kedua anaknya yang sedang berbincang. Arini tahu, pasti Ibunya sedih, akan berpisah dengan anak lelaki bontot nya. "Tenang Bu, sekarang tidak ada yang jauh. Selama masih bisa dijangkau pesawat, paling cuma dua jam, juga sampai." Tuturnya. Ingin meyakinkan Ibunya. "Bu, jagoan Ibu itu hebat. Banyak yang menginginkan posisi seperti Angga. Ganteng, pintar dan sudah dapat pekerjaan di perusahaan yang paling diminati banyak orang." Ucap Arini membanggakan adiknya. "Ade juga bangga sama Kakak. bisa membiayai keluarga, Aku bisa kuliah dan Aku dibelikan motor." Ucap Angga meraih dan mencium punggung tangan Kakaknya berulang ulang." Sementara Arini menarik tangannya, segera menempelkan dan menggosok punggung tangannya di punggung Adiknya. "Apa sih Dek sampai basah, pakai ada ludahnya segala, ih kamu jorok banget sih!" Angga tergelak. Siap-siap, bila Kakaknya akan mencubit perutnya. "Alhamdulillah kita kuliahnya di Perguruan Tinggi Negeri, jadi ya tidak mahal. Ada program bantuan buat yang ekonominya setara kita." Ucap Arini, terlintas di benaknya perjuangan dirinya dan keluarganya demi untuk membiayai kuliah dan sekolah adiknya. Arini sangat berterima kasih kepada Pamannya, adik mendiang Ayahnya. Telah mendorong dan memberikan pemahaman kepada Ibunya. Bahwa Arini harus kuliah. "Teh Sari, Saya akan bantu sekemampuan Saya, gimana caranya agar Arini bisa kuliah. Nilai rapor Arini bagus, semoga bisa masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes dan nanti bisa dapat beasiswa seperti tetangga kontrakan Saya teh, waktu itu Pamannya meyakinkan Ibunya." Sepertinya Yusuf menggebu, ingin keponakannya yang cerdas bisa kuliah. Dirinya tidak ingin keponakannya tidak melanjutkan sekolah. Berharap kehidupan kakak ipar dan kedua anaknya bisa keluar dari kesulitan ekonomi. "Untuk semntara kita bisa tinggal bersama, kontrak rumah dan sambil cari usaha yang bisa Teh Sari kerjakan dari rumah." Arini tidak akan pernah melupakan jasa pamannya itu. "Dek kita harus selalu ingat dan sayang sama Mang ucup. Kalau bukan dorongan dari Beliau kita gak akan seperti sekarang ini." Ucap Arini mengingatkan jasa pamannya untuk keluarganya. Ibu Sari tersenyum melihat Arini, yang sangat mengingat jasa adik mendiang suaminya. kedua anaknya yang sudah dewasa, sudah menyelesaikan S1 nya, bahkan Arini sudah menyelesaikan S2, di kampus yang sama, saat meraih S1 nya. Dirinya merasa sangat bangga akan prestasi anak anaknya, syukur yang selalu dirinya panjatkan. Ingat akan mendiang suaminya. Bekerja sebagai Mandor di perkebunan teh milik swasta dan dirinya sendiri sebagai pemetik teh. Bisa ada di posisi saat ini, sungguh sangat luar biasa. "Iya Ade sayang dan tidak akan pernah lupa pada jasa Mang Ucup." Begitu panggilan mereka kepada Pamannya yang bernama lengkap "Yusup Maulana". Sari menatap kedua anaknya. "Seperti baru kemarin, anak-anak Ibu berlari-lari jemput Ibu sehabis kerja di perkebunan teh. Sekarang Kalian sudah menyenangkan Ibu. Ayahmu pasti bangga. Kami sangat bangga nak." Ucapnya, matanya berkaca-kaca. Sari memeluk kedua anaknya yang menghambur ke arahnya."Kami sayang Ibu, Kami juga bangga sama Ibu." Arini dan Angga bersahutan mengutarakan perasaannya. Angga baru saja diwisuda beberapa bulan yang lalu dan sudah diterima bekerja. Dan saat ini Bu Sari mengantarkan Angga dari Bandung ke Bandara Soekarno Hatta menggunakan kendaraan milik Arini. Sedangkan Arini sendiri terbang dari Makassar setelah menyelesaikan tugasnya. Mereka sudah mengatur pertemuan di Bandara. Arini mengedarkan pandangannya ke segala penjuru sesuai arahan adiknya, yang menginformasikannya agar menemui dirinya dan Ibunya dekat salah satu restoran yang ada di terminal keberangkatan. Setelah menemukan yang dicarinya Arini, memeluk Ibu dan Adiknya secara bergantian. Serasa lama, padahal Arini meninggalkan mereka cuma tiga malam. "Ibu sehat, apakah Ibu sudah siap ditinggal Angga?" Arini tahu Ibunya tidak akan pernah siap. "Ibu siap. Apa sih yang enggak bisa untuk anak Ibu." Sari tertawa menutupi perasaannya yang masih mencemaskan anak lelakinya pergi jauh. Angga menyerahkan kunci mobil yang dikendarainya tadi. "Kak ini. Kunci mobilny, hati-hati ya bawanya. Aku kirim foto lokasi mobilnya, di lantai tiga." Angga memperingatkan Kakaknya. "Beres Bos." Ucap Arini sambil menerima pelukan dari adiknya yang menjulang tinggi. Setelahnya memeluk Ibunya. "Bu jaga kesehatan ya, nurut sama Kak Arini." Ucanya. Angga sering mencemaskan Ibunya yang suka telat makan, dengan alasan belum lapar. Berlalu memasuki ruang tunggu, sebelum keberangkatan. Setelahnya Sari dan Arini memandang Angga sampai benar-benar telah menghilang. "Bu kita makan dulu, trus sholat lalu pulang ya." Arini memberitahukan Ibunya. "Siap sayang." Sari memeluk tangan anaknya. Mereka mencari restoran yang tidak terlalu padat. "Sebetulnya Ibu masih kenyang, tadi makan sama Angga." Sari memberitahukan Arini. "Ibu perlu minum saja." "Ya kalau begitu kita cari yang cepat saji saja." dan Sari setuju "Arini ikut mengantri setelah mencarikan Ibunya tempat duduk. Berdiri bergerak sedikit demi sedikit. Ternyata semua resto penuh maklum jam makan siang. Arini merasa orang yang antri dibelakngnya terlalu mendekat. Arini memutuskan untuk maju satu langkah. Demikian Orang yang dibelakngnya maju satu langkah juga. Arini menggeser sedikit ke kanan. Memberi kesempatan orang yang antri dibelakngnya maju. Dan Arini akan mundur Lebih baik ada dibelakng orang itu. Pikirnya. Orang yang dibelakangnya bukannya maju, tapi mensejajarkan dirinya sama Arini. "Apa kabar yang baru dilamar?, "Azam mana? Sombong ya! sampai ga ngundang, Kamu sama Azam tuh benar-benar keterlaluan!, Lupa ya!" Arini menajamkan mata dan pendengarannya dan fokus, pertama kepada orang yang mengajak berinteraksi. Kedua Arini fokus pada isi omelannya. "Ardan!" Arini berseru, sadar akan tempat dimana dirinya berada, tangannya seketika menutup mulutnya. Sampai Arini tidak sadar sedang mengantri. "Silahkan mbak, pesan apa?" Ujar kasir sambil melambaikan tangannya. Arini segera maju dan menyebutkan pesanannya. "Sekalian aja Dan, mau pesan apa?" Arini menengok ke belakang. "Samain aja sama Kamu." Ucapnya singkat. Arini berjalan berdua beriringan dengan Ardan. Masing-masing membawa nampan yang berisi pesanannya. Arini menuju meja, dimana Ibunya duduk di kursi menunggunya. Matanya memperhatikan Arini yang sedari tadi diajak ngobrol sama lelaki yang sama-sama mengantri bahkan mengikutinya. "Bu, masih ingat ini siapa? Tanya Arini sambil memperhatikan Ardan sekilas. "Nak Azam ya?" Tebak Ibunya Tiga kata yang ibunya katakan, sudah cukup, dapat menjelaskan kepada Ardan, bagaimana posisi Azam saat ini dalam hidupnya. "Apa kabar Bu, Maaf Saya Ardan Bu." Ucap Ardan sopan sambil menyalami ibunya Arini. "Oh maaf Nak Ardan, Maklum sudah lama tidak pada bertemu." Ucap Ibunya. Sekali lagi ucapan Ibunya mempertegas dan menginformasikan kepada Ardan bahwa bukan dirinya yang dilamar Azam. Arini menarik nafas secara mendalam guna menghindari sesak dalam dadanya. Bila tidak sedang dengan Ibunya, mungkin Arini akan berlari mencari toilet, atau musholla, untuk menumpahkan air matanya yang siap mengalir deras, atau membombardir segala pertanyaan tentang Azam kepada Ardan. Arini belum percaya apa yang ditanyakan dan dinyatakan Ardan tadi. Tapi, bagaimanapun juga Ardan, pasti memiliki dasar untuk mengatakannya. Arini sekuat tenaga menampilkan wajahnya sesantai mungkin. "Ayo Bu diminum dulu!" Arini menyerahkan segelas coklat hangat kepada Ibunya. "Iya makasih Nak. Ayo Nak Ardan, makan apa? Oh, sama ya menunya sama Arini." Ungkap Sari terkekeh. "Terimakasih Bu. Saya mengikuti Arini saja Bu. Pasti enak." Ucapnya sambil senyum-senyum. "Ardan ga mau susah Bu orangnya." Arini mendelik ke arah Ardan. Semntara Ardan masih senyum senyum. Sekilas memperhatikan Arini. Sambil makan dalam kondisi saling diam Arini memikirkan pernyataan yang dilontarkan Ardan, yang tidak mau hilang dari pikirannya. Mempertimbangkan bila dirinya harus pulang ke Bandung mengemudikan mobil, membawa ibunya dalam Kondisi pikiran yang kacau. Arini membuka suaranya. Ngomong-ngomong Ardan mau kemana?" Arini dengan berat mengeluarkan suaranya. "Aku habis antar Adik mau kuliah di USA, kebetulan dia dapat beasiswa. Tadi Keluargaku datang semua, tapi mereka mau masih di Jakarta. Ya Aku jalan aja sendiri mau balik." Ungkap Ardan. "Kamu?" "Aku antar adik juga, mau ke Medan. Tugas. Arini terdiam kembali. Memikirkan bagaimana kalau istirahat sehari di hotel. Untuk memulihkan tenaganya. "Kamu langsung ke Bandung hari ini?" Ardan bertanya. Arini ragu-ragu menjawab dan menatap Ibunya. Dan Arini tidak langsung menjawab hanya terdiam. Sari menjawab. "Hari ini langsung ke Bandung Nak Ardan." Saya juga mau ke Bandung, Bu." "Mari Nak Ardan, bareng aja Nak, tadi ibu berdua sama Angga dari Bandung. Dan sekarang Berdua sama Arini. Arini baru pulang dari Makassar. Takut cape, Biar ada teman ngobrol." Ucap Sari sangat berharap. "Gimana siap Nak?" "Bu! Ardan ada keperluan lain!" Arini menatap Ibunya. "Siapa bilang, tidak ada, kalau diajak saya sangat bersyukur." Ardan terkekeh. Walaupun Arini meragukan Ardan lagi tidak ada keperluan lain. Arini merasa bersyukur. Ardan pasti bisa bawakan mobilnya. Dirinya merasa tidak sanggup. Lelah jiwa raganya. Arini pamit sama Ibunya untuk mengambil mobil di tempat parkir. "Ibu tunggu di sini ya Arin ambil mobil dulu ya sama Ardan. Arini berjalan mendahului Ardan dan Ardan mengejarnya. "Rin!" Arini terus berjalan sampai menemukan mobilnya. Menekan kunci mobilnya. Arini langsung masuk di kursi penumpang bagian depan. Menutup wajahnya, dengan kedua telapak tangannya. Badannya bergetar. Ardan sangat mengerti apa yang dirasakan Arini. "Maaf Rin." Hanya duduk di kursi kemudi memandang punggung Arini yang bergetar. "Menangislah sekarang, Jangan tunjukan di depan Ibumu." Ardan merasa jahat bila hanya terdiam. Tangannya terulur mengusap kepala Arini. "Kamu segera bangkit, jangan menyiksa diri." Arini menegakan badannya. "Ayo kasian Ibu." Sambil menerima tissue yang disodorkan Ardan. Dengan cepat merapikan mukanya. Arini menggunakan kecamata hitamnya dan masker. "Bu maaf lumayan jauh parkirannya. Arini masuk mobil langsung tertidur." Ardan berbohong, tidak ingin kesedihan Arini diketahui Ibu Sari. "Ya maaf Nak Ardan jadi merepotkan. Arini pasti lelah." Sari mengulurkan tangannya mengelus kepala Anaknya dengan sayang. Arini menahan isaknya, lelah jiwanya. Akhirnya tertidur dengan pulas.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
96.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook