bc

Sang Pengkhianat (Indonesia)

book_age16+
492
FOLLOW
3.3K
READ
killer
warrior
tragedy
mystery
ambitious
expert
male lead
realistic earth
crime
war
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana jadinya bila seorang pembunuh yang sangat berbahaya bergabung pada sebuah kelompok teror yang hebat? Tom Norris, mantan anggota pasukan khusus Amerika yang berusaha membalas dendam kepada negeri yang paling dibencinya. Hanya satu impiannya; yaitu menghancurkan Amerika Serikat!. Organisasi Al-Arrazi, sungguh-sungguh membantunya membalaskan dendam yang telah lama dia pendam di lubuk hatinya. Mampukah Robert Flak, seorang agen CIA sekaligus mantan komandan Tom Norris , menghentikan aksi Tom tersebut saat korban sudah mulai berjatuhan?

chap-preview
Free preview
Satu- Prolog
Mereka berbisik satu sama lain. Bersiap untuk sebuah pengumuman bagi kelompok kecil, kata mereka, tempat itu tentunya lebih sesuai. Wajarlah bila mereka mengeluh. Mereka yang mengadakan sekaligus bertanggungjawab atas acara itu, mereka mengharapkan tidak ada yang kurang; orang-orang dalam yang mengatur kursi dan membagikan kartu bagi orang-orang penting sendiri kaget karena peristiwa yang mengecewakan. Sedikit heran ketika ada pelbagai gangguan yang lantas menyebabkan acara terlambat dimulai. Meski segala upaya dikerahkan untuk mengatur akomodasi mereka. Kursi tambahan telah disediakan khusus untuk berjaga-jaga bagi mereka yang terlambat datang. Banyak orang penting dengan sekantung jadwal padat yang mereka harus kesampingkan demi acara ini. Poci kopi dan pitcher air sejuk yang disiapkan sebelum acara dimulai terus-menerus diisi ulang dalam selang waktu tertentu. Lampu hias tergantung di atas mereka, memberikan penerangan yang sekadarnya saja. Beberapa ada yang sudah terbiasa menghiraukan pernak-pernik itu, sebagian juga ada yang mengeluh. Bahwa seharusnya ruangan itu memiliki celah untuk membiarkan cahaya dari luar masuk. Tapi sepertinya hal itu tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya. Ada enam jendela besar yang sengaja ditutup dengan alasan untuk kepentingan keamanan dan diberi tirai panjang berwarna merah yang linier dengan warna karpetnya. Pernak-pernik balon berbentuk bintang berwarna putih-putih yang bergerak-gerak tanpa ada yang memperhatikan di atas lampu-lampu lilin kristal yang menyala melintasi plafon yang berwarna emas. Walaupun dindingnya tidak lagi ditempeli jajaran lukisan, sebagai gantinya, dibentangkan selembar kain besar yang secara umum dikenal dengan sebutan Hinomaru. Sebagian besar dari mereka sepakat mengenai kekurangan listrik yang terlihat jelas sekali. Ruangan itu terlihat cukup luas untuk sekadar menerima sebanyak tiga puluh lima tamu undangan. Begitu acara diskusi berlangsung, keluhan-keluhan verbal mereka mulai merdea. Mereka mulai sibuk mendengarkan dan memelototi mereka yang masih bicara. Pada akhirnya, bisikan-bisikan menghilang sepenuhnya, senyap dan mereka benar-benar mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang yang tengah berbicara, yang saat itu berdiri di depan para sejawatnya yang duduk sebagai latar belakangnya.   “Hari ini saya yakin bahwa kita telah mencapai konsensus dengan beberapa orang yang terhormat dan berpengaruh di Washinton, termasuk mereka yang masukan-masukannya dianggap vital bagi proses pengambilan keputusan oleh presiden. Saya begitu yakin kalau dia akan memberikan tanggapan yang lebih baik pada beberapa kesimpulan yang dihasilkan melalui pertemuan sore ini. Saya akan menjawab satu pertanyaan lagi… Saya lihat kamu tengah gelisah di sana, Marry. Pertanyaanmu?” Tawa kecil terdengar di dalam kerumuman orang-orang berdasi ketika seorang pemimpin perusahaan media cetak itu merona wajahnya dan mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat darah sebagian besar orang di ruangan mulai meradang.” “Senator Chow, apa yang anda harapkan dapat dicapai dengan menyampaikan ultimatum kepada pemerintah sementara Iran, dan apakah menurut anda pemerintah anda akan menempuh jalan yang serupa seperti yang serupa seperti di Irak yang hasilnya sangat kontroversial itu?” Senator itu merespons dengan mengernyitkan dahinya ketika mendengar tambahan yang terakhir, sebuah fakta yang tidak akan bisa lepas dari pikiran mereka yang hadir di situ. “Pertama-tama tujuan kita adalah menjelaskan kepada para pemegang kekuasaan di Teheran untuk memastikan bahwa Amerika Serikat tidak akan tinggal diam saat terdapat persiapan untuk menyerang secara langsung rakat negara ini. Kami belum, aku tekankan ini, belum mempertimbangkan kemungkinan konflik bersenjata, apalagi mengirim pasukan ke sana.” Senator Chow berhenti sebentar, seolah-olah memberi kesan bahwa dia sedang menata pikirannya, seperti akan memberikan ide strategi besar. Tetapi sesungguhnya dia ingin menciptakan suatu efek.  “Kita berusaha untuk menghilangkan kata mungkin dalam urusan ini. Kita butuh sesuatu yang pasti. Tapi betul, ide kerap identik dengan sesuatu yang mungkin. Jelasnya, saya dan yang lain kiranya tahu bahwa ada bukti konkret bahwa Iran memulai lagi proses pemurnian uranium untuk persenjataan nuklir, berbeda dari situasi ketika keputusan diambil untuk menggulingkan Saddam Hussein dari kekuasaannya dulu. Waktu itu kiranya kita masih kekurangan bukti yang pasti. Seperti yang anda tahu bahwa presiden menolak mengakui pemerintahan baru di Teheran, dan aku, kita di sini semua, sepenuhnya mendukung keputusan presiden itu. Sebagai tambahan, secara tentatif kita juga mendapatkan komitmen dari Presiden Nelson dari Perancis dan Perdana Menteri Matteo dari Italia. Kedua pemimpin itu menjamin kita, kalau jika telah ada kesepakatan mengenai ganti rugi sebagian, semua perusahaan dari negara itu memiliki kepentingan dengan minyak Iran akan siap menghentikan setiap kontrak mereka dan menarik diri dari kawasan itu secepat mungkin. Walau penerapan ini dijadwalkan pada bulan November nanti, hal ini telah merupakan langkar yang besar untuk memperkuat sanksi yang sudah dijatuhkan. Aku yakin kalau usaha kita untuk menggalang front bersama menentang ambisi nuklir Iran tidak akan memperoleh hambatan.” Senator Chow berhenti lagi, dan saat jeda itu menyebabkan bisikan-bisikan menjadi terdengar jelas. Tanpa mempedulikannya, Samuel memusatkan perhatiannya kepada koresponden muda yang menarik dalam deretan ketiga. “Menjawab bagian yang kedua dari pertanyaan tadi, Marry, ingin aku tekankan kalau kami tengah mengusahakan peran-serta PBB dalam hal ini. Bukti-bukti pembuatan senjata yang tadi telah aku sebutkan sekarang sudah berada di tangan Dewan Keamanan PBB, dan begitu pemeriksaan bukti itu bisa diselesaikan pada awal bulan depan, kami harap diterbitkannya suatu resolusi yang keras dan kecaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan rezim baru itu. Maafkan aku, kita selesai di sini,”  katanya saat terdengar suara-suara yang diarahkan padanya. “Terima kasih atas kehadiran saudara-saudara di sini pada hari ini.” Senator Chow melangkah turun dari mimbar tempatnya bicara, di tengah-tengah gemuruh hujan pertanyaan yang tidak ingin dijawabnya. Mendengar pendapat selama tiga setengah jam sudah cukup membuatnya begitu buruk, namun nada suara yang meninggi dari tiga pulih lima orang dan kilatan halilintar yang tiada henti menyebabkan pusingnya bertambah-tambah dan perutnya begitu sakit. Chow yakin bahwasanya radang usus yang dialaminya baru-baru ini disebabkan tengah terjadinya kemelut di Timur Tengah. Kematian Ayatollah Khomeini, pemimpin besar Iran, baru-baru saja telah berakibat terangkatnya seorang ulama ultra-konservatif yang setiap keputusannya sangat tidak bersahabat dengan Amerika Serikat. Berbeda dari setiap komentarnya beberapa saat yang lalu, Chow sangat menyadari kalau kemungkinan perang di kawasan itu sudah muncul sekali lagi di cakrawala. Senator Chow meninggalkan Ruang Kaukus, bergerak dengan setengah berlari menuruni dua rangkaian tangga pendek dari marmer. Lantas dia ditemani berjalan oleh penasihat utamanya, Chris Yuu. “Begitulah kita sekarang mulai lagi dengan semua omong kosong ini,” kata Chow. Dia mengusap-usap rambutnya yang tebal berwarna perak, dan bicara dengan terengah-engah tentang kelompok yang diberikan oleh Dinas Rahasia khusus untuk mengawalnya. Walaupun kecil, kelompok itu sangat efisien, biasanya tidak mendapat pengawalan, namun karena kedudukannya sebagai Pemimpin Mayoritas Senat dan Ketua Komisi Senat untuk Angkatan Bersenjata, perhatian khusus diberikan kepada keamanan pribadinya, kehususnya karena peristiwa yang berkembang akhir-akhir ini. “Kita telah menghabiskan milyaran di Irak agar warga negara kita tahu apa yang terjadi dengan putera-puterinya yang sekarat dalam jaringan televisi. Apa yang kita terima untuk semua itu, Chris?” Chris melirik kepada senator itu melalui sudut matanya. Dia sedikit mendongak karena dirinya hanya sepundaknya saja. Dalam hatinya, dia iseng bertanya apakah senator itu masih merasa tidak aman dengan sosok badannya yang pendek itu. Di pihak lain, sebagai salah seorang di antara mereka yang berkuasa di Washington, dia tentu saja tidak memikirkan hal yang remeh seperti itu. Bagaimana pun, kata Chris pada dirnya sendiri, untuk inilah aku berada di sini. “Sir, taruhan terbaik saat ini adalah mengikuti garis partai. Mungkin anda bisa mengambil jarak sedikit setelah ini, tapi saat ini bapak dipandang sebagai pendukung terbesar dari Arendt. Kita sudah melakukan jajak pendapat. Kalau misalnya nanti dukungan publik beralih ke pihak lain, kita masih dapat mengoreksi kedudukan kita.”  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Menantu Dewa Naga

read
177.3K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.3K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.2K
bc

Marriage Aggreement

read
81.2K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.9K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook