bc

What's wrong with Tobias?

book_age16+
248
FOLLOW
1.0K
READ
badgirl
sporty
twisted
sweet
humorous
genius
like
intro-logo
Blurb

Punya sifat bossy saja sudah tidak benar, apalagi sifat bossy itu digunakan kepada anak dari bos ayahnya sendiri?

Hana Lovira berteman dengan Tobias Otaru sejak kecil. Tobias selalu mengikuti perintah dan keinginan Hana. Ia selalu mengalah terhadap Hana. Sampai suatu ketika, sifat Tobias berubah. Tidak ada lagi Tobias penurut, tidak ada lagi Tobias pemalu. Yang ada hanya Tobias yang tidak mau dikalahkan

Tobias Otaru.

Laki-laki itu berubah. Membuat Hana bertanya-tanya, Ada apa dengan Tobias?

chap-preview
Free preview
1. What's Wrong With Tobias?
Perempuan berambut gelombang sebahu itu terus melirik gawainya. Jarinya lincah menari di atas layar. Sesekali ia menyeruput gelas berisi minuman berwarna hijau. Bunyi decitan kursi yang bergeser berhasil membuat ia tersentak. Pergerakan seseorang yang hanya terhalang satu meja membuat perempuan itu memasang wajah waspada. Tatapan tajam ia lemparkan pada pelaku yang menggeser kursi. Mulutnya mengerucut mengisyaratkan kata duduk. Tampaknya, orang di seberang sana enggan membalas dan memilih mengalah. “Ekhem, Hana, ya?” Panggilan tiba-tiba membuat Hana terlonjak. “Ah, iya, saya!” Hana yakin bahwa kini wajahnya sudah tidak lagi anggun. “Eh, gue ngagetin, ya? Sorry.” Lelaki di depan Hana menggaruk tengkuk tampak kikuk. Hana menggeleng cepat tangannya turut serta bergoyang. “Enggak, kok. Iya, sih, sedikit. Tapi, nggak pa-pa.” Ia melempar senyum andalannya. Hana memperhatikan lelaki itu. Tingginya bisa diperkirakan hanya 165 senti. Kulitnya kuning langsat. Saat tersenyum, Hana bisa melihat gigi kelincinya. Terlalu imut. Bukan tipe Hana. Dari kejauhan seorang laki-laki berkacamata terdiam di tempat duduknya. Pemandangan yang sering ia lihat. Dua insan yang tengah menikmati minuman favorit mereka. Berbincang dengan santai. Sesekali saling menunjuk dan tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Kafe yang terletak di pinggiran kota menjadi tujuan kencan Hana kali ini. Biasanya Hana akan memilih kafe mahal. Ia sedikit bersyukur karena tidak perlu menghabiskan banyak uang. Namun, meskipun terbilang murah, kafe ini memiliki dekorasi yang artistik. Beberapa lukisan abstrak menjadi pilihan utama sang pemilik kafe untuk menghiasi sudut dindingnya. Tema full colour yang diterapkan kafe ini menggambarkan tempat nongkrong kekinian. Suara ketukan kecil jari telunjuknya menandakan betapa ia sudah merasa bosan di sana. “Ck.” Lelaki itu meraih ponsel. Mengetikan beberapa kalimat sebelum ia kirim. Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya. Em, mungkin tidak benar-benar pergi. Bunyi lonceng yang dipasang di atas pintu menandakan bahwa baru saja ada yang membuka pintu itu. Entah pengunjung yang baru masuk atau yang mau keluar. Namun, saat gawainya bergetar Hana tahu opsi yang mana dari kedua alasan tadi. “Engh, tadi namanya siapa? Maaf lupa.” Mata Hana mengerjap antusias. “Fajar. Parah banget udah lupa aja,” katanya sambil menarik satu sudut bibir. Hana tertawa kaku, “Iya, sekarang inget kok. Oh, iya, makasih buat hari ini. Untuk minumannya udah aku bayar. Jangan nyesel kencan bareng aku, ya.” Hana kembali tersenyum. Ia menyelipkan anak rambutnya sebelum berdiri. Menepuk ujung gaunnya yang tampak kusut dan memberi lambaian perpisahan kepada Fajar sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu. Meninggalkan kesan yang manis kepada teman kencan butanya. Selalu seperti itu. Senyum Hana baru memudar saat ia berbalik. Dengan tangan mengepal ia sudah menyiapkan ancang-ancang untuk memberi pelajaran kepada seseorang. Pukulan cukup keras melayang di kepala belakang lelaki yang tengah menikmati sebatang nikotin. “Perjanjiannya, kan, satu jam!” Hana melipat kedua tangan di depan d**a. “Belum ada setengah jam udah cerewet.” Lelaki itu membuang putung rokoknya dan menginjak hingga padam. Tanpa mau berdebat ia membuka pintu mobil sisi pengemudi dan masuk. Hana masih berdiri di tempatnya. Kalau sudah seperti itu maka yang harus lelaki itu lakukan adalah. “Mau apa lagi?” Hana tersenyum. Laki-laki berkacamata itu memang paling tahu keinginan Hana. Setelah memasang seatbelt, Hana menggulirkan layar ponselnya dengan wajah antusias. “Lucu, kan? Ayo, kita beli.” Tangannya menyodorkan layar gawai ke depan mata laki-laki itu. Sedikit mendorong tangan Hana yang terlalu dekat dengan matanya sambil menjawab, “Ya.” “Makasih, Tobi!” Tobias hanya menghela napas. Pasrah. Setelah membayar biaya kencan buta Hana, dia harus membelikan sesuatu lagi agar Hana tidak marah. Anehnya, Tobias tidak pernah mempermasalahkan itu. *** “Ngapain kamu?” Danu menyadari putri tunggalnya mengikuti dari belakang. “Ke rumah Tobi. Berangkat bareng.” Hana merapikan poni ratanya yang sedikit berantakan. “Nggak usah.” Danu melihat arah jarum jam di tangannya. “Berangkat sendiri aja, masih ada waktu. Ayah nggak enak sama Om Irwan. Lagian, ‘kan, kamu—“ “Udah ayah kasih ongkos.” Hana melanjutkan perkataan yang sudah menjadi makanan sehari-hari. “Itu paham. Harus jadi anak baik. Ayah berangkat kerja dulu.” Belum sempat melihat wajah anaknya yang menggerutu, Danu segera melangkah menuju halte di seberang jalan. Ingin berangkat bersama saja ayahnya sudah mengomel. Hana tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia tahu bahwa kemarin Hana sudah menghabiskan uang Tobias. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Hana merinding. Dengan terpaksa Hana harus menggunakan kendaraan umum. Namun, Hana bertekad besok ia tidak boleh gagal berangkat sekolah bersama Tobias. Salah satu hal yang paling menyebalkan bagi Hana saat menaiki kendaraan umum adalah bagaimana aroma di dalam kendaraan itu sangat kuat sehingga membuat parfum yang sudah Hana semprotkan ke tubuhnya menjadi insecure. Hana menggerutu, mencium aroma tubuhnya yang sudah tidak ada lagi wangi romansa. Ia memasuki sekolahnya sambil menyemprotkan kembali parfum yang untungnya sering ia bawa. Dari kejauhan Hana dapat melihat kelasnya sudah ramai. Namun, tidak seperti biasanya, banyak yang berlalu lalang di depan kelasnya. Entah apa yang mereka lihat. Ada yang berpura-pura lewat, tetapi matanya menuju ke dalam kelas. Ada yang secara terang-terangan mengintip melalui kaca. Yang terakhir nggak tau malu, sih. Hana makin penasaran. Ia melebarkan langkahnya. Bersesakan melewati tubuh siswa yang berkumpul di depan kelas hingga hampir terjatuh. “Ish, orang-orang pada kenapa, sih?” Hana membungkuk merapikan roknya yang kusut. Menegakkan tubuhnya untuk merapikan dasi sambil berjalan menuju meja. “Lo ngapain di sini?” tanya Hana kepada Gani. Gani yang tengah mendengarkan musik menggunakan earphone mengangkat wajahnya. “Disuruh Tobi tukeran.” Kening Hana mengerut. Tidak yakin dengan ucapan Gani barusan. “Bohong, lo, ya!” Gani berdecak. “Tanya orangnya langsung aja, ah. Daritadi gue mau dengerin musik diganggu terus.” Wajah Hana memerah kesal. Ia mengikuti arah telunjuk Gani. “Tobi!” teriak Hana. Namun, saat Tobi menoleh kalimat yang sudah ingin Hana muncratkan seperti tertahan di tenggorokan. Tidak ada lagi kacamata yang bertengger di pangkal hidung laki-laki itu. Tidak ada lagi tatanan rambut rapi disisir ke kanan. Tidak ada lagi wajah menunduk yang selama ini ia perlihatkan. Pun, tidak ada lagi kancing seragam yang terpasang sampai leher. Hana menelan salivanya. Dengan gugup ia menghampiri Tobias. “Kok lo nyuruh Gani duduk situ.” Tobias tidak menjawab hanya membalas tatapan tajam perempuan itu. Hana tambah kikuk dibuatnya. “Kalo ditanya jawab dong!” Nada ketus kembali Hana keluarkan. Tobias berdiri dengan kasar membuat Hana sedikit mundur. Dengan tinggi 180 senti, Tobias tampak seperti tiang listrik bagi Hana yang memiliki tinggi 157 sentimeter. “Nggak ada alasan. Gue mau pindah aja.” Bahunya mengendik santai, seperti tidak ada yang terjadi. Wajah Hana yang tadinya mengendur kembali mengeras. “Tobi, sekarang pindah!” “Kalo gue nggak mau. Lo mau apa?” Tobias memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Oh, atau lo bakalan ngadu ke bokap lo.” Kemudian Tobias merendahkan wajahnya untuk berbisik di telinga Hana. “Kalo anak dari bosnya nggak mau nurutin perintah anaknya?” Tubuh Hana kaku. Matanya membulat besar. Ia hampir berhenti bernapas kalau saja bel kelas tidak berdering. Hana belum bisa mencerna apa yang sudah terjadi. Namun, yang pasti dia sudah berubah. Tobias Otaru, lelaki itu berbeda.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.7K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook