bc

Jodohku, Sepupuku

book_age18+
1.5K
FOLLOW
8.9K
READ
forbidden
family
HE
opposites attract
drama
like
intro-logo
Blurb

"Pindahkan semua barang Edna kerumahku! Aku akan menikahinya. Memisahkan Edna dan aku hanya tetap menyisakan aib buat kalian!" ucap Dru tegas.

Edna Juliana terpaksa menikah dengan Dru Bimasakti sepupu tirinya sendiri karena mereka dituduh melakukan hal tak senonoh.

Demi melindungi Edna, Dru rela menikahi perempuan yang juga keponakan ibu sambungnya yang selama dititipkan kepada tantenya untuk disekolahkan.

Edna yang rendah diri, tengah berjuang untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang stabil, mendapatkan suami yang tampan dengan otak cemerlang dan karir yang bagus.

Disaat yang sama, Edna sendiri tengah dekat dengan atasannya yang bernama Ghe dan Dru pun menjalin asmara dengan Grace.

Akankah pernikahan mereka bisa bertahan, ketika Ghe tetap berusaha untuk bisa mendapatkan Edna?

Akankah Dru bisa meyakinkan Edna bahwa mereka sebenarnya saling mencintai dan bertahan, walaupun banyak perbedaan dan masalah yang menghadang?

chap-preview
Free preview
Edna dan Dru
Edna tampak menghela nafas panjang sembari memainkan sweater hoodienya yang tampak kebesaran. Tak lama kemudian, seorang pria muda menghampirinya dan memberikan sebuah tiket kereta. Edna dan pria muda yang bernama Dru itu berdiri berdampingan tanpa bicara. Penampilan mereka tampak mencolok perbedaannya, Edna tampak tomboy dengan sweater hoodie kebesarannya, mengenakan celana jeans yang mulai sobek dengan alami dibagian lutut dan sepatu kets belel, sedangkan Dru berpenampilan lebih edgy dan modis. Dru mengenakan jaket kulit dengan kemeja dan mengenakan celana jeans juga sepatu pantofel. Dengan berdiri seperti itu saja, ia tampak seperti seorang model yang sedang membuat photo session. Tak lama kemudian, Dru mencolek Edna agar berjalan mengikutinya ke arah kereta yang akan membawa mereka kembali ke Jakarta. Perlahan, Edna menyeret kopernya ke dalam kereta api sambil menatap tiket. "Ikuti aku!" titah Dru pada Edna dengan tiba tiba. Edna pun menatap pria itu dengan pandangan tak senang. Bagaimana tidak, perjalanan panjang ke Jakarta dari Surabaya pasti akan menjadi perjalanan yang sangat tak menyenangkan buat Edna jika ada Dru disisinya. "Duduk!” perintah Dru dingin sambil memberikan jalan untuk Edna memasuki bagian dalam tempat duduk mereka. Dengan wajah kesal Edna menuruti perintah Dru. Waktu masih menunjukan pukul tujuh pagi saat itu, Edna kembali mendesah dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Akhirnya, ia harus kembali ke Jakarta setelah hampir 2 tahun melarikan diri dari keluarganya sendiri. Di benak Edna, terbayang rumah luas yang indah tempatnya kembali nanti. Tempat yang membuat banyak orang iri akan keberuntungannya memiliki keluarga yang berada. Tetapi, tak semua orang tahu kisah yang sebenarnya. Tak banyak yang tahu ia menumpang di rumah itu untuk di sekolahkan dan dibesarkan oleh Rita yang merupakan kakak tertua dari sang ibunda Edna yang bernama Lara. Wanita yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, ketiganya perempuan, Rita, Lara, dan Rania. Perceraian kedua orang tua Edna saat ia masih remaja, membuat Lara harus menitipkan anak semata wayangnya pada sang kakak yang hidupnya lebih mapan darinya. Tak hanya Edna yang tinggal di sana, tetapi juga ada Aida sepupunya yang merupakan anak dari Rania, si bungsu dari tiga bersaudara. Jika Edna dititipkan karena perceraian, sedangkan Aida dititipkan karena ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Usia Edna dan Aida hanya terpaut satu tahun saja. Edna dititipkan pada Rita saat memasuki SMA sedangkan Aida sudah tinggal lebih dulu. Sedangkan Lara, menikah kembali dan pindah kota tanpa membawa Edna bersamanya. Edna dan Aida tumbuh bersama. Walau mereka berdua dekat layaknya seperti seorang adik dan kakak, tetapi sifat dan tampilan mereka sangat jauh berbeda. Aida tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar, elegan, dan serba bisa. Edna tumbuh menjadi gadis penyendiri, selalu keluyuran, dan juga ceroboh. Walaupun Rita tak pernah membedakan kasih sayangnya pada kedua keponakannya itu, tetapi Aida selalu mendapatkan yang terbaik karena kecerdasannya. Ia dimasukkan ke sekolah dan universitas terbaik. Saat liburan Aida selalu mengisinya dengan Summers school atau magang di perusahaan besar, sementara Edna malah sebaliknya. Untuk kuliah pun, walau terseok seok akhirnya Edna bisa menyelesaikannya dengan baik. Wajah Aida dan Edna cukup mirip hanya tinggi badan dan tampilan mereka saja yang berbeda. Aida sangat fashionable, sedangkan Edna sebaliknya. Ia berpenampilan biasa saja. Namun, seringkali ia mendapatkan limpahan pakaian-pakaian dari Aida sehingga ia tak perlu membeli. Tubuhnya yang lebih tinggi dan lebih ramping dibandingkan Aida membuat Edna beruntung, apa pun yang ia kenakan akan tampak cocok di tubuhnya. Walaupun Edna lebih tua satu tahun, Aida lebih cepat selesai sekolah dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan Edna. Di saat Aida dan karirnya semakin meningkat, Edna malah sebaliknya, ia justru terpuruk. Edna pun sengaja bekerja di luar kota agar bisa mandiri. Namun, hasilnya ia malah di PHK hingga harus bekerja di restoran fast food sebagai pelayan untuk menyambung hidupnya. Andai Dru tak sengaja melihatnya sedang melayani pelanggan, mungkin ia masih berada di kota ini dan menyembunyikan keadaannya. Edna terlihat menghembuskan nafas kesal sembari melirik pria yang duduk di sampingnya. Pria yang baru ia kenal lima tahun yang lalu karena Rita yang sebelumnya tak pernah menikah, akhirnya menikahi seorang duda yang memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Dru. Usianya tujuh tahun lebih tua dari Edna dan Aida. Tetapi, sejak mengenalnya Dru lebih akrab dengan Aida. Mereka sangat cocok, bahkan sering pergi bersama. Aida yang supel dengan mudahnya bergaul dengan teman-teman Dru yang menurut Edna adalah kumpulan pria-pria dengan kepribadian alpha atau sigma man. "Mas,” "Ya?" "Jangan bilang sama Mama Rita kalau aku bekerja di restoran fastfood ya!" pinta Edna sambil membayangkan betapa marahnya sang tante jika mengetahui hal itu. "Terlambat, aku sudah bilang tadi malam saat kamu tidur kalau aku menemukan kamu bekerja di restoran fast food dan seperti yang kamu takutkan, tante Rita kedengarannya sangat marah sekali. Dia bahkan sampai memintaku untuk membawa kamu pulang bagaimanapun caranya,” jawab Dru dengan santai sembari menikmati nasi gorengnya. "Laki-laki kok mulutnya ember? Kenapa semua harus diomongin? Kenapa nggak sekalian aja kamu bilang kalau kemarin kamu tarik-tarik aku dari resto dan maksa buat aku tidur sama kamu satu kamar hotel biar aku nggak kabur?" Edna terlihat kesal dan dongkol mendengar jawaban Dru. "Aku bilang kamu sedang bersamaku kok." "Dasar pengaduan! Kenapa sih kamu enggak biarin aku di sini?! Semua orang kalau mau sukses harus susah dulu dan buat aku baik-baik saja jika harus mulai bekerja dari bawah," ucap Edna makin kesal, dari yang terduduk malas, kini posisi tubuhnya tegak sempurna menghadap Dru dan seolah ingin mengacak acak rambut Dru yang terlihat sangat rapi. "Karena aku lihat kamu susah beneran. Lihat, kulit kamu jadi kusam, muka pucat, dan tampak tak terurus. Kalau kamu butuh kerjaan, semua orang di rumah bisa bantu cariin kamu kerja." Edna pun membalikkan tubuhnya menghadap jendela dengan gusar. Andai Dru tahu, tinggal bersama mereka adalah siksaan buat Edna karena ia merasa tak dianggap di rumah itu. Belum lagi ada perasaan tidak enak karena ia merasa bukan siapa-siapa di rumah itu. Beberapa menit kemudian, Dru tampak menatap Edna yang kini sudah tertidur lelap di sampingnya dan kelihatan begitu kelelahan. Bahkan saking lelahnya, Edna tertidur dengan mulut sedikit terbuka dan tak terbangun, walau kepalanya terantuk-antuk jendela. Melihat hal itu, perlahan Dru memindahkan kepala Edna agar bersandar di lengannya. Sejak mengenal Edna, gadis itu lebih senang menjauh dari kerumunan keluarganya. Sering kali ia mencoba berkomunikasi dan ingin mengenal Edna lebih jauh, tetapi gadis itu selalu menghindari semua orang, seolah sibuk dengan dunianya sendiri. Dru mengusap jemari tangan Edna yang kasar. Dahinya terangkat, seolah ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Edna hampir dua tahun belakangan ini. Ia sengaja membatalkan tiket pesawat yang telah dipesan dan memutuskan kembali dengan kereta agar ia memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan Edna. Walaupun Dru sering menegur dan memarahi Edna, ia tak pernah membenci sepupu tirinya itu. *** Setibanya di stasiun Jakarta, Edna terlihat melangkah malas mengikuti Dru yang tengah menyeret dua koper di kedua tangannya. "Ayo naik!" perintah Dru saat melihat sebuah mobil yang dikendarai supir berhenti di hadapan mereka. "Loh, Mas Dru bareng Mbak Eet?" sapa Pak Kus sang supir keluarga Dru saat melihat Edna dan memanggilnya dengan nama kecil, Eet. "Kita langsung ke rumah papi aja, Pak!" titah Dru dengan ramah. Perlahan Edna membersihkan kupingnya, seolah bersiap-siap akan dimarahi saat sampai di rumah nanti. "Tamatlah sudah. Aku pasti akan habis dimarahi," gumam Edna cemberut sambil menatap Edna dengan sinis. Setibanya di rumah, Edna segera menghempaskan diri di atas ranjangnya yang empuk yang begitu berbeda dengan kasur busa yang selalu ia gunakan hampir dua tahun ini di tempat kost. Setidaknya saat ini, ia bisa merasa tenang karena tidak ada siapa pun di rumah saat ia pulang. Selesai merebahkan tubuhnya selama beberapa menit, Edna kembali beranjak dari posisi tidurnya. Lalu, ia mulai melangkah ke arah lemari yang berada di sudut ruangan dan membukanya begitu tiba di depannya. Di dalam lemari, Edna banyak menemukan pakaian yang terlihat baru. Namun, sebenarnya itu bukanlah pakaian baru, tetapi pakaian yang sudah tak lagi diinginkan oleh Aida. Waktu pun beranjak senja, Edna segera membersihkan dirinya dan mengguyur tubuhnya lebih lama di bawah shower. Selesai mandi, Edna keluar dari kamar dan mengambil sebuah apel dari kulkas kemudian duduk selonjoran di lantai dekat jendela, di salah satu ruang keluarga yang merupakan tempat favoritnya. Dulu, menurut Edna rumah tantenya sudah sangat mewah. Namun, saat tantenya menikah dan pindah membawa mereka semua ke rumah suaminya, Edna merasa rumah yang ditempatinya saat ini jauh lebih mewah dari rumah Rita sebelumnya. Membuatnya harus tahu diri karena ia dan sang ibu harus bergantung hidup pada tantenya. Malam pun tiba, Edna sudah tahu bahwa sebentar lagi ia akan menghadapi kemarahan Rita yang tadi sedang tak berada di rumah saat ia pulang. "Edna." Teriakan itu terdengar keras dari depan kamar. Ya, seperti yang sudah Edna duga sebelumnya, Rita datang dengan penuh amarah. Bahkan wanita paruh baya itu langsung membuka pintu kamar dan merangsek masuk tanpa mengetuknya terlebih dulu bersama Aida yang juga ikut tepat di belakangnya. "Edna, Mama itu ambil kamu dari Lara supaya kamu nggak hidup susah dan punya masa depan! Tapi, kamu malah sengaja cari susah sendiri!" Rita terlihat gemas sambil mencubiti Edna yang hanya duduk di tepi ranjang. "Ma, sudah, Mah! Kasihan Eet," bujuk Aida saat melihat sepupunya dimarahi dan dicubiti. "Pergi saja dari sini, kalau kamu nggak mau mendengarkan Mama lagi! Pergi sana! Ikut ibu kamu hidup susah!" Rita berkata dengan penuh amarah, sebenarnya ia memarahi Edna karena merasa cemas dan khawatir akan masa depan Edna. "Maaf, Mah," ucap Edna pelan sambil menundukan kepalanya dalam. Ia tak berani menatap wajah sang tante yang begitu marah padanya. Rita benar benar marah pada keponakannya, ia begitu menyayangi Edna seperti anaknya sendiri, tetapi gadis itu selalu menolak perhatiannya dan menjauh. Ia benar benar marah saat mengetahui bahwa Edna di PHK dan bekerja di restoran fast food dibandingkan kembali ke rumah. Air mata Edna jatuh tanpa terasa. Ia tak pernah bermaksud untuk selalu membuat masalah. Tetapi, entah kenapa apa pun yang dilakukannya selalu salah di mata Rita. Keesokan paginya, rumah besar itu sudah tampak sepi, seisi rumah telah pergi untuk bekerja di kantornya masing masing. Hanya tinggal Edna yang sibuk luntang-lantung tak karuan ke sekeliling rumah. "Edna," panggil seseorang di balik punggungnya. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama lengkap karena seisi rumah lainnya memanggilnya dengan nama Eet. Edna menoleh dan melihat Dru yang sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih lengan pendek dan celana kerja warna khakinya. "Kamu kok di sini?" "Loh, ini rumahku bukan?" "Bukannya Mas Dru sudah punya rumah sendiri?" "Rumahku lagi direnovasi. Sudah dua bulan aku tinggal di sini." "Ooo," jawab Edna tampak bodoh. "Enggak cari kerjaan?" tanya Dru sambil mengambil sepotong buah untuk sarapan. Edna diam. Ia sudah tak punya laptop untuk digunakan. Barang-barangnya pun sudah habis dijual untuk bertahan hidup di Surabaya. "Nggak ada laptop," jawab Edna acuh. "Duduk!" titah Dru sambil menunjuk tempat duduk yang ada di sampingnya dengan matanya. Lalu, ia mulai mengeluarkan laptop dari tasnya. "Kita bikin CV untuk kamu," jawab Dru sambil mulai sibuk mengetik sesuatu. Edna terdiam. Ia bukannya tak ingin membuat CV, tetapi ia merasa tak ada kelebihan lain dan pengalaman yang cukup untuk membuatnya dilirik oleh perusahaan-perusahaan, berbeda dengan Aida dan Dru yang sudah punya pengalaman dan kemampuannya juga diatas rata rata. "Tapi …." "Sudah enggak ada tapi-tapian. Pokoknya ayo kita buat. Kamu sebutkan data-data kamu, biar aku yang buat ya!" Pria itu mengusap kening Edna. Menatap dalam hingga membuat Edna merasa malu saat ini. Setelah beberapa menit sibuk membuatkan CV untuk Edna, kini Dru mulai mencarikan Edna berbagai lowongan kerja. "Jadi Admin mau enggak?" tanya Dru tiba tiba. "Oh … boleh," jawab Edna setelah sempat berpikir. Ia cukup percaya diri jika mengerjakan pekerjaan yang selalu sama setiap harinya. "Ya sudah, nanti aku bantu," ucap Dru sambil menutup laptopnya, lalu pergi meninggalkan Edna sendiri. "Makasih ya," ucap Edna canggung tiba tiba ditinggal sendiri. *** Hari-hari pun berlalu dan Edna masih menjadi pengangguran yang sibuk bermalas-malasan di rumah. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi dan muncul nama sang tante di layar. Rita memberi tahu bahwa ia telah mentransferkan sejumlah uang dan menyuruh Edna ke salon karena Rita ingin mengajaknya ke sebuah acara koleganya. "Tapi, boleh nggak kalau aku enggak ikut?" tanya Edna menanggapi perintah Rita. "Kamu tuh selalu seperti itu, kalau diajak bergaul susahnya minta ampun. Umur sudah 25 tahun kelakuan masih kaya anak anak!" ucap sang tante yang lagi-lagi memarahinya. Edna seketika diam tanpa menanggapi perkataan dari Rita yang seolah menyudutkannya. "Kali aja di sana kamu bisa dapat pasangan Et, nggak bisa kamu hidup nggak ada tujuan seperti ini terus! Kalau enggak mau kerja ya nikah aja! Pokoknya kamu harus ikut. Sudah sekarang kamu siap-siap dan pergi ke salon langganan Mama ya!" Selesai mengatakan itu, Rita pun mengakhiri sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Edna yang masih kesal karena dipaksa ikut ke sebuah acara yang tak ingin didatanginya. "Nikah? Emangnya segampang itu?" Dengan rasa malas, Edna mengganti pakaiannya sebelum beranjak pergi. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook