bc

Belenggu Sesal

book_age18+
1.6K
FOLLOW
7.2K
READ
HE
heir/heiress
blue collar
tragedy
loser
detective
city
harem
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Nurvia Abe harus menerima kenyataan paling menyakitkan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, suami yang ia puja dengan penuh bakti, rupanya secara sukarela berbagi hati dengan wanita lain.

Tak ada yang mampu menyelami kedalaman luka yang wanita itu alami. Dalam diamnya, Via berusaha mengumpulkan kepingan hati yang berserakan dan patah. Hingga takdir menggiring kehidupan suram Via, pada seorang pria muda bernama Andra.

Apakah kehadiran Andra mampu menjadi penawar hati Via, yang penuh dengan sayatan luka karena pengkhianatan suaminya? Ataukah wanita baik itu akan memberikan kesempatan kedua kepada sang suami, demi putri kecilnya, Auryu Kartawijaya?

chap-preview
Free preview
Bab 1
Nurvia POV Ku tatap wajah pria yang kini tengah mengelus lembut, permukaan perut seorang wanita yang terlihat membuncit nyaris setinggi da da. Bibirku tersenyum miris, hatiku perih dan tentunya sangat sakit. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menatap adegan tersebut dengan hati yang terkoyak luka. Tega? Entahlah...pria yang telah membersamaiku selama kurun waktu 10 tahun itu nampaknya begitu bahagia, di atas luka yang dengan sengaja ia goreskan. Hingga sapuan lembut tangan mungil seorang gadis kecil, mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Ku tatap wajah polos, cantik dan suci putri kecilku. Dengan senyum sehangat mentari di luar gedung poli, sebuah rumah sakit swasta di kotaku tercinta ini. Samarinda, tanah Borneo di mana aku di lahirkan. Perkenalkan sebelumnya, namaku Nurvia Abe. Aku lahir dari keluarga sederhana, kedua orang tuaku berasal dari suku pedalaman Kalimantan Timur asli. Suku dayak, di sebuah kabupaten yang menurutku cukup maju dan berkembang sesuai jaman modern saat ini. Sedangkan suamiku berasal dari suku sunda campuran belanda dari sang ayah. Namun seluruh keluarganya berdomisili di Jakarta. Aslan Kartawijaya, putra kedua dari tiga bersaudara. Sebenarnya bisa saja kami menetap di kota kelahiran suamiku, namun aku juga memiliki usaha toko baju kecil-kecilan di Samarinda. Dan usahaku berkembang cukup pesat, sayang jika aku tinggalkan begitu saja. Lagi pula Aslan suamiku juga memiliki sebuah perusahaan kontraktor yang menyuplai alat berat, dan sejenisnya ke berbagai perusahaan pertambangan batubara. Jadilah suamiku harus membagi waktunya, antara keluarga kecil kami, perusahaanya sendiri juga perusahaan keluarga yang ia kelola di jakarta. Sebuah Perusahaan furniture milik keluarganya secara turun temurun. Perusahaan furniture adalah industri yang mengolah bahan baku Setengah jadi hingga menjadi produk mebel atau furniture yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Selain di pasarkan dalam negeri, industri milik keluarga Aslan juga menjualnya hingga ke mancanegara. Bayangkan seberapa melimpahnya kekayaan keluarga suamiku. Berbanding terbalik dengan diriku yang hanya anak petani. Kedua orang tuaku memiliki penghasilan dari hasil menyadap getah karet, juga berladang di daerah pegunungan. Pernikahan kami tak pernah benar-benar di restui oleh keluarga Aslan. Namun berbekal keyakinan cinta sehidup semati yang kami ucapkan di hadapan Tuhan. Maka terjalinlah sebuah hubungan halal, yang mengikat jalinan kami hingga menghadirkan seorang putri cantik, yang kami beri nama Auryu Kartawijaya. Aku sendiri sempat heran, kenapa Aslan memberikan nama yang persis seperti nama anak laki-laki. Jawaban suamiku sedikit menohok kalbuku sebagai seorang istri. Dia hanya berharap memiliki anak laki-laki sebagai penerusnya kelak. Namun tak masalah meski yang terlahir adalah anak perempuan, kami masih bisa memberikan adik bagi Ryu, gadis kecilku. Namun hingga Ryu berusia 8 tahun, anugrah itu belum kunjung menghampiri rahimku. Kembali ke masa kini. Aku masih setia mengusap lembut rambut panjang nan lebat Ryu, yang tertidur lelap di pangkuanku sebagai bantalannya. Kami tengah mengantri di depan poli anak, yang berada di seberang lorong di mana poli kandungan berada. Karena tak mungkin bagi kami berdesakan dengan para pasien lain, yang nampak memenuhi semua kursi tunggu di sana. Cukup jauh, mungkin sekitar 10 meter dari arahku tengah duduk saat ini. Kini kedua mataku kembali fokus pada dua insan yang tengah duduk berdampingan, dengan si wanita yang tengah menyenderkan kepalanya di da da suamiku, Aslan. Ku lihat tangan lebar suamiku masih setia mengusap lembut permukaan perut wanita itu dengan sayang. Aku kagum pada keberanian suamiku, melakukan perselingkuhan di kota yang sama denganku. Nyali yang patut diacungi jempol. Entah kenapa dia tak melakukannya saat berada jauh di kota lain, atau minimal kota kelahirannya sendiri? Ku simpan rapat pertanyaan konyol yang mengganggu benakku. Jiwaku sedikit terguncang menyaksikan kenyataan yang ada di hadapanku, tanpa sensor sama sekali. Adegan dari pasangan paling romantis abad ini yang pernah aku lihat secara terang-terangan. Benar kata orang, pelakor selalu mendapatkan perhatian lebih daripada istri sah. Tentunya lebih cantik, seksi dan memiliki nilai-nilai plus lainnya. Itu karena mereka memang di desain sebagai perusak. Dan untuk bisa melakukan pengerusakan, mereka harus tampil lebih baik dari sang pemilik yang sebenarnya. Kenapa? Karena mereka tak pernah merasakan berkutat dengan pakaian kotor setiap hari, membenahi rumah hingga keringat bercucuran, bergelut dengan panasnya tungku agar keluarga terkenyangkan. Menjadi seorang guru, dokter, kuli panggul ketika galon habis, juga pekerjaan lain yang tak ada habisnya. Sangat di wajarkan jika terkadang seorang istri tak memiliki waktu luang yang cukup, untuk sekedar memoles wajahnya. Boro-boro menggunakan pakaian yang indah setiap hari, karena akan berkahir sebagai salah satu lap alternatif di saat panggilan tugas mendesak lainnya. Tak mudah menjadi seorang ibu rumah tangga yang katanya pengangguran. Duduk manis menghabiskan waktu dan uang. "Bu Nurvia Abe?" Sapa seorang perawat menghampiri tempat dudukku. Aku menoleh lalu melemparkan senyum teduh seperti biasanya. Aku memang seramah ini. Dan ini pula yang menjadi alasan suamiku rela menentang restu kedua orang tuanya. Dalih cinta sebagai penguat. Namun sayang, pria itu justru menabur beling tepat di hamparan luas hatiku yang kini telah terkoyak sangat dalam. "Ya sus?" Kataku ramah. "Nomor antrian ibu sudah saya tukar sama pasangan yang ada di ujung lorong sana. Mereka tidak masalah, malah senang karena bisa lebih dahulu bertemu dengan dokter." Jelas si perawat cantik yang ku lihat bernama Nurah A.G, yang terbordir indah di da da kanannya. "Syukurlah..aku khawatir mereka akan protes." Kataku lagi dengan senyum yang sama. Meski hatiku tergores dalam, senyum ramahku tak serta merta surut begitu saja. "Tapi nomor antrian ibu Kinara masih jauh bu... nomor antrian 27, sedangkan nomor urut ibu nomor 12." Terangnya nampak ragu. Aku kian melebarkan senyum manisku. "Tak apa sus, ibu itu hamilnya sudah besar sekali sedangkan aku baru akan memastikan saja. Lagi pula aku juga tidak terburu-buru, santai saja." Kataku berusaha membuatnya tenang. "Baiklah bu, nomornya sekalian saja saya pegang agar nanti saya bisa langsung tau kalau giliran ibu sudah dekat. Di sana ada ruang ibu menyusui, ibu bisa menggunakannya untuk membawa anak ibu tidur di sana." Saran si perawat penuh perhatian sembari menunjuk area yang ia maksudkan. Aku tersenyum haru, meski mendapatkan perhatian dari orang asing, tapi hatiku cukup senang. "Tidak perlu, di sini saja. Tapi terimakasih sebelumnya. Lagi pula ruangan di sana tidak terlalu luas, biarkan ibu-ibu yang membutuhkan privasi saja yang menggunakannya. Putriku baik-baik saja di sini selama ia masih ku usap seperti ini." Kataku terkekeh kecil menanggapi perhatiannya yang luar biasa. Dan itu menular pada si perawat baik hati itu. Ia pun menyunggingkan senyum hangat mendapati aku terus menatapnya dengan senyum yang ramah. "Baiklah bu, kalau begitu saya kembali ke meja saya dulu. Apa ibu membutuhkan sesuatu? Saya bisa membantu sebelum saya kembali duduk di sana." Ujarnya lagi menawarkan pertolongan tanpa aku minta. Sungguh perawat yang peka, setiap rumah sakit harusnya memiliki lebih banyak perawat seperti ini. Ramah, peka dan peduli terhadap sesama bukan hanya sebagai pasien prioritas non jaminan paskes. Aku berpikir sejenak, setelah melihat sisa air mineralku tinggal seperempat. Aku meminta tolong untuk membelikan aku sebotol air mineral ukuran besar mengingat kami akan antri cukup lama. Ruang gerakku terbatas, itu karena pahaku di gunakan sebagai alas kepala putri kesayanganku. Ku serahkan selembar uang 50 ribuan yang di sambut sopan oleh si perawat. Kini fokusku kembali pada sepasang manusia laknat yang kompak menebar senyum bahagia di ujung sana. Ku sapu sudut mataku yang berembun dan terasa mulai memanas. Aku tak ingin menangis di tempat umum lalu menjadi bahan tontonan gratis, yang akan membuat harga diriku sebagai seorang istri kian merosot ke dasar jurang. "Bu..ini minumannya dan ini kembaliannya. Dan ini ada sekotak brownis fudgy, ini buatan ibu saya yang di titip di kantin rumah sakit. Sambil menunggu silahkan di coba, siapa tau cocok di lidah. Dan ini gratis, anggap saja perkenalan dulu sama rasanya." Ujar si perawat tertawa kecil. Aku menyambut sekotak brownis tersebut dengan senyum lebar. Tak lupa ku ucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hatinya. "Pasti akan aku makan, terimakasih banyak suster Nurah." Ucapku sambil terus menyunggingkan senyum. Selepas mendinginkan kerongkonganku yang serasa terbakar, dengan pemandangan yang terpampang nyata di depan sana. Aku membuka kotak brownis yang di berikan oleh suster Nurah tadi. Aromanya langsung menyeruak ke dalam rongga hidungku. Aroma khas coklat yang menggoda selera langsung membuat mulutku penuh dengan air ludah. Sebelum menyantapnya, aku menatap Suster Nurah yang kebetulan menoleh ke arahku. Aku tersenyum seraya mengangguk kecil, sebagai tanda aku menyukai kue buatan ibunya. Dan senyum ku pun di balas ramah oleh wanita baik itu. Baru potongan kedua, aku terpaksa menghentikan suapanku. Kala telinga tajamku mendengar nama wanita yang aku berikan nomor urut antrian dengan penuh keikhlasan hati. Kinara Subakti. Itulah nama lengkap wanita yang kini entah apa statusnya. Yang jelas wanita itu sekarang memiliki tempat istimewa di hati suami, Aslan. Karena jika tidak, perut wanita itu tak akan sebulat buah semangka ukuran jumbo seperti saat ini. Ku lihat bagaimana suamiku merangkul bahu wanita itu dengan langkah hati-hati, seolah wanita itu adalah berlian yang harus di jaga sedemikian rupa. Aku memalingkan wajahku sejenak. Pemandangan itu rupanya mampu menggoyahkan imanku yang mulai rapuh. Aku cemburu, marah dan entahlah. Semua perasaan mendadak bercampur aduk menjadi satu di dalam da da ku. Ada gemuruh yang tak dapat aku jelaskan dengan kata-kata. Saat aku kembali menoleh, kedua manusia terkutuk itu sudah memasuki ruangan dokter kandungan. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak jiwa yang mulai tak lagi sekokoh saat pertama aku melihat keduanya. Sesak, serasa ada jutaan ton beban yang menghimpit rongga da da ku. Sesakit itu yang kurasakan saat ini. to be continue Novel ketiga author, semoga dapat memberikan bacaan yang memuaskan hasrat para pembaca sekalian. Mohon dukungan, berikan kritik juga saran yang membangun semangat penulis. Tanpa kalian, novel ini hanyalah sepenggal kisah tanpa nyawa. Dengan penuh cinta, akak Rose_Ana

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dear, Mr. Duda (I Hate You but I Love You)

read
47.1K
bc

Pesona Mantan Istri Presdir

read
14.2K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.5K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.2K
bc

Bucinnya Pria Arogan

read
34.7K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.4K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook