bc

GASTA

book_age16+
3.7K
FOLLOW
17.3K
READ
arrogant
boss
student
comedy
sweet
ambitious
evil
captain
magical world
school
like
intro-logo
Blurb

Gasta Nismara Alvredo si pemilik hati beku. Orang sering menyebutnya Iblis kematian berwujud dewa dalam mitologi Yunani. Pemuda pemegang tahta tertinggi di SMA Dharma Wijaya. The King senior high school. Bosgeng utama sekolah. Menyukai Denta Kalla Nayyiradi awal pertemuan keduanya.

Primadona atau queen bee sekolah, merupakan julukan yang melekat pada diri seorang Denta Kalla Nayyira. Julukan yang tidak bisa di pandang hanya sebelah mata. Bahkan siswi manapun pasti ingin merebut gelar pusaka tersebut.

Apa jadinya jika raja sekolah yang dingin seperti puncak gunung es paling tinggi harus bertemu dengan ratunya sekolah. Ratu dengan segala kerecehan dan mulut merconnya?

Apalagi ratu itu segalak macan?

chap-preview
Free preview
PROLOG
1 bulan sebelum masuk SMA Langit tidak secerah tiga puluh menit yang lalu. Matahari mulai berarak ke ufuk barat bersama semburat kemerahan dan burung-burung yang sedang mencari tempat untuk menetap, menjadi pemanis di atas langit sana. Sebentar lagi senja menyapa, mengingatkan setiap orang untuk menyudahi segala aktivitasnya di luar rumah. Berbeda halnya dengan kebanyakan orang yang memilih pulang bertemu keluarga, seorang pemuda berjaket hitam justru tengah melajukan ninja putihnya membelah padatnya jalanan ibu kota, dengan kecepatan di atas rata-rata. Angin berhembus dengan sangat kencang. Suara hiruk pikuk suasana perkotaan terdengar, seolah menjadi melody tersendiri kala itu. Lampu jalanan dan gedung-gedung menjulang menuding angkasa berpadu mesra dengan langit seolah menyapanya. Pemuda tampan itu terkesima, dengan pesona Jakarta pada sore menjelang malam ini. Gasta Nismara Alvredo, begitulah namanya. Remaja berusia 15 tahun. Berambut hitam dengan kulit sawo matangnya yang bersih. Memiliki garis wajah tampan khas asia yang begitu kental. Hidungnya menukik mancung, dengan alis tebalnya yang seakan menyatu. Bibir tipis serta sorot mata hazel-nya menambah kesan dingin pada parasnya yang rupawan. Pemuda tampan itu mulai membelokkan setir kemudinya ke arah kiri, memasuki halaman kafe yang lumayan terkenal di daerah ini. Memarkir ninja putihnya, bersama dengan jajaran motor pengunjung yang lain. Tidak banyak, hanya ada sekitar enam motor yang terparkir. Gasta merapatkan jaket hitamnya sebentar, sesaat sudah turun dari atas motor. Kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam kafe klasik. Suara mesin kopi yang di putar menjadi pendengaran ketika kaki menapak dan aroma kopi yang menguar ke seisi ruangan menjadi penciuman pertama untuk mengajak dia segera menarik kursi dan memesan. Kafe lumayan sepi. Tidak seramai biasanya atau ketika weekend tiba. Mungkin orang-orang sudah malas keluar rumah, mengingat cuaca yang sempat hujan deras sore tadi. Hanya beberapa bercakapan rendah terjalin di setiap meja. Kecuali hening, menghampiri meja nomor tujuh, dimana pemuda itu mendudukkan dirinya dengan tenang. Laptop putih berlogo apel nangkring di atas mejanya, dengan kedua telinganya sudah tersumpal aerpods yang melantukan Cherry milik Lana Del Rey, sehingga tidak memperdulikan keadaan sekitar. Fokusnya hanya mengarah pada layar laptop yang menyala, memperlihatkan formulir PPDB online, dengan logo sekolah tujuannya berwarna biru tua di pojok kanan atas, bertuliskan SMA Dharma Wijaya. Dharma Wijaya sendiri adalah satu sekolah swasta elite di daerah Jakarta Selatan. Sekolah berakreditasi A, dan unggul di bidang olahraganya membuat Gasta memantapkan hatinya untuk mendaftarkan diri di sekolah itu. Terlebih dia memiliki banyak piagam kejuaraan, mulai dari basket, taewondo dan pencak silat. Membuat dirinya akan lebih mudah masuk lewat jalur prestasi. Memang rata-rata yang sekolah di sini di d******i para atlet. Berbeda dengan Cendrawasih atau Sevit yang lebih mengunggulkan akademiknya. Sampai denting ponsel di sebelahnya membuatnya sedikit terpaku. Sejenak mengerutkan kening, dan pada akhirnya memilih membuka pesan yang masuk. Tidak lama setelah itu, senyum getir perlahan tersungging dari bibir merah muda alami miliknya. Melody : Aku udah nyampe di Surabaya. Sampai ketemu di lain waktu Gasta. Aku janji bakal sering-sering ke Jakarta. Jaga kesehatan jangan lupa! *** Malam sangat gelap. Beruntung bintang dan bulan masih mau meminjamkan cahayanya untuk memberi sedikit terang di langitnya. Udara sangat dingin, karena angin yang berhembus menerpa kulit putih seorang gadis yang mengenakan celana jeans putih ketat dan hoodie pink magenta membalut tubuhnya begitu pas. Dia juga memakai topi putih yang menutupi rambut coklatnya, tak lupa dengan masker hitam yang masih menggantung di dagunya, gadis itu terlihat tengah mendekap satu buku tebal dan majalah bersampul hijau ke dalam dadanya, memasuki kafe klasik di depannya. Sampai di sebuah meja yang kosong, remaja cantik itu mendaratkan tubuhnya di atas bangku kafe. Sambil memandang padatnya jalan raya di depan sana lewat jendela kafe, gadis itu masih menunggu dua temannya yang belum juga datang. Sejenak, gadis itu terlihat memejamkan mata menikmati sisa-sisa hujan sore tadi. Aroma petrikor mulai masuk ke dalam indera penciumannya. Wanginya mampu memberikan efek tenang bagi siapa saja yang menghirupnya. Denta Kalla Nayyira—gadis cantik berkulit putih 15 tahun, pemilik iris mata coklat madu itu terlihat mengulum senyum tipis, sesaat membuka majalah yang di bawanya tadi dan mulai membaca ramalan bintang. Wajahnya jadi sumringah, penuh harap. Ramalan bintang minggu ini tidak mengecewakan ternyata. Apalagi asmaranya. Sagitarius Tanda astral menunjukkan bahwa ada berada dalam posisi yang bagus untuk bertemu dengan cinta sejati anda. Denta sudah cengengesan sendiri ketika membaca sederet kalimat itu pada majalah remaja kesayangannya. Jantungnya berdebar kencang, seakan nyaris meledak. Anehnya dia terus tersenyum. Padahal apalagi yang dia harapkan? Bukankah dia sudah bertemu cinta pertamanya sejak setahun silam. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya sekarang yaitu Azka Ramadhan. Dan sudah pasti bahwa cinta sejatinya itu dia. Semoga saja. Denta selalu berharap banyak pada Tuhan. Meski dia tau, cinta pertama belum tentu berakhir dengan baik, terkadang malah mengecewakan. Tidak apa-apa, toh, dia masih remaja SMP. Bisa di bilang masa pubertas. Masa dimana seseorang mengalami yang namanya cinta monyet. Masa dimana seseorang pertama kali mengalami jatuh cinta ataupun patah hati. Semua itu definisi pubertas dari seorang Denta. Di usianya yang menginjak 14 tahun kala itu, dia sudah berani menyukai seorang pemuda. Namanya Azka. Teman satu sekolahnya di SMP Ganesha Utama. Dan beruntungnya dia, pada cinta pertama dia tidak mengalami yang namanya cinta sepihak alias cinta bertepuk sebelah tangan. Kadang, teman-temannya di kelas selalu mengeluhkan soal cinta segi tiga, segi empat, ada juga yang mengeluhkan cinta segi dua yang berakhir tragis. Semisal mendadak friendzone, perselingkuhan, atau di tinggal pas lagi sayang-sayangnya padahal belum ada status yang jelas, tapi sudah keburu baper duluan. Membahas soal cinta, dia jadi mengingat Azka sekarang. Gadis berwajah oval itu tanpa sadar mencuatkan bibirnya lucu. Mulai merasa lesu, mengingat satu bulan lagi, mereka sudah harus berpisah sekolah pada tingkat SMA atau biasa di bilang masa putih abu-abu. Masa yang di nanti para remaja. Masa yang katanya paling nyenengin dan susah di lupain. Masa yang pastinya akan punya banyak sekali cerita, baik cinta atau persahabatan. Dalam tiga tahun itu seseorang akan menemukan perjumpaan dengan kehidupan yang lebih luas. Denta melengos sebal. Mana mungkin masa SMA-nya akan menyenangkan? Sementara seseorang yang dia harapkan mampu membuat kisah-kasih percintaan di SMA bersamanya saja, harus berbeda sekolah darinya. Denta yakin dia tidak akan merasakan indah nya pacaran ala-ala anak SMA nantinya. Mulai dari di apelin pacar ke kelas, lihatin pacar lagi main basket di lapangan, bohong ke guru dengan mengatakan ingin ke toilet padahal nyatanya pengen ketemu pacar, pulang-pergi sekolah bareng, jajan ke kantin, dan lainnya. Kepalanya mendadak turun ke atas meja itu, menyenandungkan lagu Hivi berjudul Pelangi. Lagu itu di sesuaikan dengan tema masalah yang membuat hatinya gundah, membuat tubuhnya melemas seolah tidak memiliki rangka. Dia sangat frustasi sekali, terlihat jelas ketika menyenandungkan lagu itu, begitu di hayati dengan nada seperti merengek-rengek minta di maki. Dharma Wijaya adalah sekolah impiannya sejak lama. Sekolah yang unggul di bidang olahraganya itu, membuat Denta yakin bakatnya dalam bermain voly bisa mengembang di sekolah itu. Berbeda dengan Azka yang lebih memilih melanjutkan sekolahnya di SMA Cendrawasih. Denta mendecak sebal, dia cukup sadar diri dengan otaknya yang di bawah rata-rata, untuk masuk Cendrawasih—sekolah yang selalu unggul di akademiknya. Memiliki murid yang jelas-jelas sangat pintar. Denta tentunya akan kalah jika harus bersaing dengan mereka. Lagipula, sejak lama dia memang tidak ingin masuk sekolah itu. Membayangkan tiga tahun berteman dengan manusia-manusia pintar dan ambisius saja sudah membuat Denta bergidik ngeri. Berbeda hal-nya dengan Azka. Dia lumayan pintar meski tidak masuk tiga besar di kelasnya sewaktu SMP. Tapi jangan salah, Azka pernah ikutan lomba cerdas cermat wawasan kebangsaan, dulu. Kalau Denta? Boro-boro ikutan lomba, masuk dua puluh besar di kelasnya saja sudah syukur alhamdulillah. Pernah ngotot sekali, memaksa Azka agar mau masuk ke SMA Dharma Wijaya, bergabung bersama dirinya, namun Azka menolak dengan dalih permintaan papanya yang kebetulan alumni SMA Cendrawasih, pada era 90-an, memintanya untuk masuk ke sekolah itu saja. Kalau Denta ikut ke Cendrawasih, bisa rontok habis rambutnya gara-gara kebanayakan belajar dan mikir agar tidak tertinggal yang lain. “Heh, botol kecap! Batre lo abis?” celatuk Willy seraya melompat ke bangku di sebelah Denta. Cewek itu sedang menumpukan kepalanya di atas meja. “Kenapa lo? Idih, kayak orang abis kena diagnosa kanker stadium akhir aja. Mana nih kobaran semangatmu yang biasanya selalu menggebu-gebu Nta?” sahut Vio sambil menabok bahu Denta kencang, membuat empunya bahu mengumpat kasar. Vio dan Willy tentu saja heran, mengingat teman mereka ini selalu hyperaktif, tidak pernah bisa diam, namun hari ini mendadak lemas begini. Denta mendecak, “Lama banget sih kalian? Gue nungguin hampir setengah jam di sini tau enggak? Gue sampai lumutan.” Gadis itu mengadukan kekesalannya dengan sewot. “Aduh, sumpah ya. Gue kesel pakek begete.” Vio memulai sesi curhatnya, “Jalanan tadi macet parah banget dong, anj*r. Lo tau nggak Nta, jalan Sudirman yang biasa kita lewati pas mau sekolah, tadi banjir woy,” kata Vio heboh sendiri. Denta melengos keras. Mengalihkan perhatian enggan menyimak. Dia memutar pandangannya ke sekeliling dan perhatiannya tertuju pada satu orang pengunjung kafe, yang duduk di bangku tidak jauh darinya. Lelaki yang di perhatikan Denta itu berpenampilan seperti remaja pada umumnya. Hanya memakai celana jeans dan jaket kulit warna hitam. Pemuda itu terlihat sibuk di balik layar laptopnya yang menyala, sampai seorang pelayan menghampiri, sambil membawakan secangkir minuman hangat. Tidak ada yang istimewa, karena posisi pemuda itu membelakanginya, sehingga Denta tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya, tapi cukup membuat gadis itu betah untuk terus mengamati. “Ekhem.” “Uhuk-uhuk!” “Astaga godaan.” Denta mendecak sebal, segera mengalihkan pandangan pada suara-suara yang di buat-buat barusan. Dia tau, Willy dan Vio tengah menyindirnya. “Apa?” tanya Denta langsung galak. “Inget Nta, masih punya babang Azka!” cibir Vio sambil menopang dagunya. “Mana inget Vi, orang sibuk ngelihatin cowok yang lebih ganteng,” sahut Willy ikutan memperhatikan pemuda barjaket hitam tidak jauh dari mereka. “Lo berdua apaan deh? Nggak jelas.” Denta enggan membahas, dia mencoba mencari topik lain dan juga mengenyahkan keinginannya yang kembali mengajak untuk menoleh sembilan puluh derajat yang mengarah pada si cowok berjaket hitam tadi. Sampai cowok bernama asli Willy Irsadi itu mengangkat sebelah alisnya. Dia mengubah posisi duduk menghadap Denta sepenuhnya, “Besok ke taman yuk! Jogging kita,” ajaknya sambil menoel pipi gembul Denta, membuat gadis itu mendecak sebal. “Males.” “Yaelah, gimana sih Nta? Padahal gue udah ngajakin lo dari jauh-jauh hari kemarin. Katanya lo mau ikutan," gerutu Vio sewot menyahuti ucapan Willy, "Lemak di badan gue udah numpuk nih, butuh olahraga. Ayo dong!" sambungnya merengek. "Lo aja sono, gue males kalau lari-lari gitu, capek tau nggak!" tukas Denta, "Nih ya Vi, gue olahraga paling berat tuh cuma pas lagi ada pelajarannya di sekolah aja. Itupun seminggu sekali." "Serius lo? Terus badan sekurus ini, hasil apaan?" Willy heboh bertanya. Vio mengangguk menyetujui, "Gue kira kalau lo di rumah sering olahraga. Kalau diet jelas nggak mungkin lah ya, secara porsi lo makan udah mirip gitu sama kuli," sahutnya menyambar. "Justru itu gue nggak tau, dari dulu badan gue emang segini. Padahal gue suka makan banyak dan nyemil," kata Denta sambil memperhatikan badannya yang kurus. "Ihh anj*r, gue iri deh. Lo tau nggak sih, gue aja mati-matian diet, biar badan gue tetep kurus, nah lo, makan banyak tetep aja kurus," gerutu Vio dengan mimik wajah sebal. Denta mendelik, "Idih Vio, aturan diet lo mah, selama nggak ada orang yang lihat, makanan yang lo makan nggak akan jadi kalori," balas Denta pedas mengingat Vio itu suka sekali punya niat untuk diet, namun setiap melihat makanan enak, pasti langsung main embat aja, tanpa ada kefikiran kalau kalorinya banyak. Mana maruk lagi, semuanya masuk mulut sampai lupa bagi-bagi. Vio terkekeh, merasa malu dan bodoh dengan dirinya sendiri, "Lo tau nggak sih? Diet itu sebuah tekad yang jadi angan, sebuah harapan yang tak pernah tercapai, dan sebuah janji yang nggak di tepati. Sakit," katanya Vio si ratu baper, mulai mendrama. Willy melengos, "Makanya, besok kita jogging sore-sore habis pulang dari sekolah, gimana? Udah lama nggak jogging bareng." "Nggak mau," kata Denta menolak. "Kenapa sih Nta?" gerutu Vio, merasa gemas sendiri. Denta mendecak, “Gue sibuk latihan voly. Lagian, gue mesti belajar. Minggu depan udah tes tulis buat masuk SMA Dharma Wijaya,” katanya, “Lo pada tau kan, otak gue se-ampas apa? Makanya gue harus belajar. Biar bisa masuk sekolah impian gue,” sambung Denta menggebu-gebu. “Loh, elo jadi sekolah di Dharma Wijaya? Katanya mau ikutan Azka masuk ke Cendrawasih? Mana yang bener?” tanya Vio heran. “Nggak jadi. Males gue masuk sekolah yang isinya orang pinter semua,” balasnya langsung tidak berselera sama sekali. “Yee, menurut lo Dharma Wijaya bukan sekolahnya orang pinter?” balas Vio sewot. “Makanya lur, gue belajar mati-matian buat tes tulis minggu depan. Nih, nggak lo lihat gue udah bawa buku setebel ini buat apa?” kata Denta sambil menunjukkan buku tebal yang di bawanya tadi dari rumah. Willy mendelik, “Ngapain lo bingung belajar coba? Bukannya syarat masuk SMA Dharma, karena nilai ujian nasional juga? Besok lusa juga udah pengumuman, kan?” “Iya Nta, gue juga yakin nilai UN lo bagus. Bukannya elo pakek KJ?” ujar Vio hati-hati, takut ada yang mendengar. Mendengar pertanyaan tersebut, Denta menghentakkan kakinya dengan frustasi, bukan karena jengkel dengan ucapan Vio, tapi jengkel mengingat tentang satu fakta, kalau kunci jawaban yang dia pegang hari itu salah, alias tidak benar. Setelah dia cocokkan, tidak ada yang tembus sama sekali. Dia merasa tertipu oleh para calo kunci jawaban. Mahal-mahal dia beli, sampai pede sekali dengan tidak belajar sebelum ujian, tapi nyatanya, kunci jawaban yang di bawanya tidak asli. Biasalah, banyak sekali oknum yang memanfaatkan ujian nasional sebagai ajang cari duit gede. “Apanya yang bakal bagus? KJ yang gue bawa aja nggak ada yang tembus. Pas ujian kemarin, banyak banget soal yang gue jawab pakek kancing.” Curhatnya dengan mimik wajah yang di buat semelas mungkin, membuat Willy dan Vio melongo kompak. Ingat tidak, ada dua waktu dimana anak sekolah terutama anak SMP dan SMA, memegang kancing seragamnya. Pertama tentu saja ketika hendak memasang atau melepas seragam. Dan kedua adalah ketika sedang menghadapi soal pilihan ganda dalam ujian. Faktor lupa belajar, soal terlalu susah, otak blank, waktu sudah hampir habis, sampai malas berfikir, membuat jurus menghitung kancing menjadi salah satu jalan pintar favorit bagi beberapa pelajar agar bisa menjawab soal dengan cepat. Terutama Denta. Dasarnya memiliki kepintaran di bawah rata-rata, dan tidak belajar sebelum ujian, membuatnya terpaksa memakai jurus keberuntungan itu. “Lo pada tau nggak? Gue abis demam beberapa hari kemarin, cuma gara-gara kepikiran soal nilai ujian yang mau keluar besok lusa. Gue yakin, nilai gue pasti anjlok banget," kata Denta gondok sendiri. Vio terbahak, “Ya elo sih, punya nyokap guru. Kenapa nggak ketularan pinternya coba? Malu banget buset dah. Keluarga lo aja nggak ada yang bodoh kayak lo perasaan,” timpal Vio menatap Denta tidak habis fikir. “Vero aja pinter setau gue. Masuk tiga besar terus di kelasnya. Pernah ikutan olimpiade fisika juga,” komentar Willy ikutan. Komentar dari Willy membuat telinga Denta jadi semakin panas. Ya sih, Denta sendiri sadar betul kalau sedari dulu dirinya sangat lemah dalam pelajaran-pelajaran akademik. Selain karena otak Denta yang di takdirkan pas-pasan, hal itu juga di perkuat oleh faktor kemalasannya untuk melakukan aktivitas belajar. Jadi ya, semua nilai di raport Denta selalu memprihatinkan. “Please deh, nggak usah bandingin gue sama dia,” omel Denta, malas sekali jika di banding- bandingkan dengan Vero—adik laki-lakinya itu, yang berjarak setahun darinya itu. “Eh Vi, lo beneran mau sekolah di Bandung?” tanya Denta tiba-tiba, membuat Vio mengangguk cepat. “Lo tau sendiri kalau bokap gue di sana sendirian. Kasihan Nta, nggak ada yang nemenin. Lagian di Jakarta nyokap gue masih punya kak Bima buat nemenin,” tuturnya. Denta tau, kedua orang tua Vio memang bercerai sejak lama. Dan kebetulan hak asuh anak jatuh ke tangan Amanda—mama Vio semua. Namun, entah setan mana yang merasuki Amanda, meminta Vio agar ke Bandung menemani sang papa yang tak lain bukan adalah mantan suaminya. “Terus, elo gimana Wil? Jadi masuk SMK Pelayaran?” Kali ini Denta memutar tubuhnya menghadap Willy. Pemuda berkulit putih itu mengangguk. “Gue sebenarnya pengen masuk SMA aja. Tapi bokap gue yang maksa suruh masuk SMK Pelayaran,” ujarnya sambil menunjukkan ekspresi wajah kesal, mengingat sebentar lagi dia akan sering berhadapan dengan laut dan kapal-kapal besar. Denta mendesah. Mau bagaimana juga, pada akhirnya mereka tetap harus berpisah bukan? Yah, untuk mengejar mimpi-mimpi mereka yang lain. Tidak mengapa, Denta tidak akan sedih, toh mereka juga masih bisa berkomunikasi lewat ponsel. Dunia sekarang sudah canggih. Jarak jauh pun terasa dekat karena bisa video call. “Oh iya Nta, emangnya lo yakin bias, kalau harus pisah sekolah sama Azka?” tanya Willy ragu. Meskipun Azka baik, tidak ada yang menjamin bukan kalau cowok itu bakal setia dengan Denta? Denta tanpa sadar memajukan bibir bawahnya, “Nggak yakin, sih. Tapi mau gimana lagi? Dia juga nggak bisa nolak permintaan papanya. Lagian gue juga dari dulu udah bercita-cita masuk Dharma. Sekolah impian gue.” “Udah sih Nta, nggak papa. Lagian Cendrawasih sama Dharma kan deket. Masih satu wilayah kan? Kalian juga masih bisa pulang pergi barengan,” kata Vio menyahuti. Denta menghela nafas. Bibirnya agak mencuat, tatapannya berubah menyendu, “Iya sih, tapi...gue pengennya tetep satu sekolah sama Azka. Gue ragu harus LDR sekolah sama dia. Tapi, mau gimana lagi dong, gue masih mau sekolah di Dharma. Gue jadi dilema....AH SUDAHLAH!! CAPEK GUE.” Vio tersentak. Cewek mungil itu jadi melongo, tidak mengerti menyaksikan ulah Denta yang menggerutu tidak jelas sambil mengacak-acak rambutnya sebal. Willy justru melengos tidak ambil pusing. Sudah biasa dengan tingkah Denta yang selalu tidak waras begitu. Malah kalau Denta waras, itu yang aneh. “Mana sekarang gue jarang chat-an sama dia lagi, gara-gara sibuk belajar nyiapin tes masuk Dharma minggu depan,” katanya ngedumel, "Ketemu juga pas di sekolah doang, gara-gara beda kelas," sambung gadis itu lagi. “Heh nyet, kenapa lo nggak coba masuk Dharma lewat jalur prestasi aja? Piagam voly lo kan banyak banget di rumah,” kata Willy membuat Denta melebarkan mata, "Jadi, lo nggak perlu repot-repot belajar gini. Ada jalan pintas," sambung Willy. “HUAAA!! Iya anjir. Kenapa nggak kefikiran dari tadi coba? AAAA, makasih Wil udah ingetin. Gue jadi yakin bisa masuk SMA Dharma Wijaya dengan mud—“ BRAAAAKKKK “BERISIK!” Suara gebrakan meja yang di ikuti bentakan dari seorang pemuda yang sempat Denta perhatikan tadi, membuat gadis itu tersentak kaget dan terdiam sekarang. Tidak hanya Denta, namun Willy dan Vio pun tak kalah terkejutnya. Tapi Denta tidak benar-benar diam, karena setelah beberapa detik kemudian, cewek itu malah langsung bangkit sambil berkacak pinggang seolah menantang. Memberikan tatapan sengit dan sewot, pada pemuda tampan, pemilik suara bass yang kini masih sibuk berkutat dengan laptopnya dengan posisi duduk yang berada di sebelah kanan Denta. “Heh dugong, masalah emangnya buat lo kalau gue berisik?” seru Denta memberikan tatapan sewotnya pada pemuda yang belum mengalihkan pandangan ke arahnya itu. Vio dan Willy sekarang sudah sibuk menyembunyikan wajah masing- masing karena pengunjung caffe sedang menatap ke arah meja mereka. Lebih tepatnya ke arah Denta yang kini teriak-teriak, alias mengamuk. “Emang lo siapa berani gebrak-gebrak meja terus marahin gue? Pengunjung yang lain nggak ada tuh yang selebay elo. Nggak ada juga yang senyolot elo,” semprotnya tajam. “Lo siapa haa? Lo siapa?? Anak yang punya caffe? Atau lo pemilik caffe nya? Nggak usah belagu deh jadi cowok, eww!” cerocos Denta panjang lebar. “Inget mas! Lo Cuma pengunjung kafe doang. Gue juga di sini bayar. Nggak usah ngomel- ngomel kalau ada orang berisik. Ke hutan aja lo sana, sepi!” Gasta—pemuda tampan berjaket hitam itu masih terus diam, ketika gadis asing itu masih terus meneriakinya dari belakang, dengan suaranya yang cempreng dan melengking itu. Belum berniat untuk membalas kalimat tajamnya. “KE KAFE CUMA BELI SECANGKIR KOPI DOANG BANGGA!!” “GUE TAU, LO CUMA NUMPANG WIFI KAN? NGGAK USAH GAYA LO!!" Gasta mengumpat pelan. Sudah cukup!! Gasta sudah tidak tahan dengan cewek di belakangnya yang entah siapa, dia tidak kenal. Pemuda itu buru-buru mematikan layar laptopnya yang masih menyala, lalu memasukkannya ke dalam ransel hitam miliknya. Berdiri, kemudian meletakkan uang lima puluh ribuan sebanyak empat lembar dan langsung keluar kafe tanpa ada niat sama sekali untuk melihat siapa gadis asing itu. Untuk sekedar melihat bagaimana rupanya saja, Gasta enggan. Dia sudah yakin, bahwa gadis itu pasti memiliki wajah yang tidak jauh berbeda dengan mulut merconnya. Alasan dia keluar bukan karena malu. Tapi justru khawatir, jika emosinya meledak sewaktu-waktu karena kelakuan cewek gila, yang kini masih terus memakinya di belakang tanpa mau berhenti. "WOY, JANGAN KABUR LO!! BANCI!!" teriak Denta masih gatal ingin memaki. "Astaga Nta, duduk! Bikin malu aja sih lo!" umpat Willy menarik Denta agar mau duduk. "Lihat deh! Gara-gara kelakuan lo, kita semua jadi pusat perhatian banyak orang," omel Vio kesal, masih berusaha tersenyum kaku, pada setiap mata yang menatap mereka seolah memperingatkan. "Lo nggak lihat, itu cowok songong banget. k*****t gitu! Main asal pergi gitu aja setelah bikin darah gue mendidih," gerutu Denta masih dengan ekspresi yang bersungut sebal. Vio menyodorkan cappucino yang sempat Denta pesan tadi, "Sabar ler, sabar!! Cantik lo ilang nanti! Senyum dong!" katanya membuat Denta mendesah. Gadis itu kemudian duduk, merasa sudah tidak ada gunanya lagi, kalau harus marah-marah. Toh, cowok k*****t itu sudah pergi. Benar-benar merusak mood saja. Awas saja kalau ketemu lagi, Denta tidak akan berfikir dua kali, untuk mencekiknya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.6K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook