bc

Bukan Cinta Biasa

book_age18+
11.6K
FOLLOW
170.5K
READ
family
kickass heroine
CEO
doctor
drama
heavy
city
rejected
weak to strong
lonely
like
intro-logo
Blurb

Sequel dari KARMA

*Aksa Pradipta

Gagal move on juga bukanlah keinginan Aksa. Siapa orangnya yang mau beribu kali terluka, melihat wanita yang telah memberinya seorang anak itu bahagia bersama pria lain.

Rasa cintanya pada wanita itu melebihi batas nalarnya. Bukan, bukan mantan istri yang sudah dia ceraikan itu. Namun wanita dari masa lalu yang telah dia campakkan dalam keadaan hamil itu.

Dipaksa Ikhlas oleh kenyataan, Aksa memilih melimpahkan cintanya untuk menebus rasa bersalah pada sang anak.

Akankah Aksa benar benar menghabiskan sisa hidupnya dengan terus terjebak dalam kisah nasa lalunya? Mungkinkah dokter cantik itu bisa membuatnya berubah pikiran, sedangkan anaknya terus menolak kehadiran wanita lain di sisi papanya?

* Sifa Haidar

Sifa tidak pernah menyangka, pasiennya yang sedang sekarat karena luka tembak itu adalah pria yang menjadi cinta pertamanya dulu.

Namun sayangnya Aksa masih tetap sama, hanya bisa dilihat dan tidak teraih olehnya. Bukan hanya karena anaknya yang posesif, tapi pria itu sudah terlanjur cinta mati pada wanita dari masa lalunya.

Akankah takdir membuka jalan untuk mereka bersama? Atau Aksa tetap membiarkan wanita sebaik Sifa pergi begitu saja?

chap-preview
Free preview
Bab.1 Keluarga Toxic
Berpura-pura bahagia bukan hal yang sulit untuk Sifa lakukan. Dia sudah terbiasa dan terlalu fasih dengan peran itu. Memajang senyum, bersikap ramah dan tertawa layaknya hidup tanpa beban. Bukan semata karena Sifa tidak ingin terlihat menyedihkan, tapi topeng itu memang sengaja orang tuanya sematkan di wajahnya untuk menutupi kebobrokan keluarga mereka. Keluarga Haidar tidak pernah main-main menjaga nama baiknya, terutama kakeknya. Itulah kenapa sejak kecil Sifa dipaksa hidup dalam drama rumah tangga orang tuanya yang begitu memuakkan. Iqbal Haidar ayahnya adalah bukti nyata dari pria b******k yang tak pernah bisa setia. Puluhan tahun pernikahan orang tua Sifa hanya menyisakan status di atas kertas. Sejak awal niat mereka untuk bercerai mendapat tentangan keras dari sang kakek yang menganggap itu sebagai aib. Entah mereka tidak tahu atau memang memang tidak mau tahu, sedalam apa luka di hati Sifa yang sejak kecil dibesarkan dalam keluarga toxic. Sifa menghela nafas kasar. Lamunan sakit hatinya terhempas semakin mengenaskan saat mendapati mobil ayahnya yang terparkir di halaman rumah. Seakan belum cukup liburan bersama teman-temannya di Bali yang menyisakan cerita patah hatinya, sekarang ditambah bertemu laki-laki itu. Dengan gontai dia melangkah masuk ke rumah besar mereka. Bagi papanya rumah ini tak lebih hanyalah tempat singgah, sedangkan Sifa sendiri sudah bertahun-tahun memilih tinggal terpisah supaya bisa tetap waras. "Dari mana saja kamu?! Tiga hari meninggalkan tanggung jawabmu di rumah sakit, hanya untuk bersenang-senang dengan orang-orang urakan seperti mereka!" Suara menyengat laki-laki setengah baya itu menggelegar menyambut Sifa yang bahkan baru membuka pintu rumahnya. Tak ada sahutan, Sifa justru menanggapinya dengan membanting keras pintu di belakangnya. "Kamu lihat sendiri kan kelakuan anakmu! Begini ini yang kamu dan papa selalu sanjung hebat bisa memajukan Medical Centre!" Iqbal Haidar berteriak marah ke istrinya yang sedang duduk di sofa, sedang tangannya menuding ke arah Sifa. "Tidak usah berteriak ke Mama! Memangnya kelakuanku kenapa? Berkaca lah sebelum mencelaku, aku bahkan malu punya papa sepertimu!" "Sifaaaa!" "Apa?" Sifa menyahut dengan santai teriakan marah papanya. Tidak, dia tidak akan lagi diam melihat laki-laki ini bertindak sesuka hatinya di rumah ini. Setelah mencium pipi mamanya, Sifa duduk dengan tenang di sampingnya. Menatap datar laki laki yang sejak dia masuk sudah menyambutnya dengan makian itu. "Kakek tidak bodoh, dia tahu siapa yang lebih pantas mewarisi semua sahamnya dan menggantikan kedudukannya memimpin rumah sakitnya. Kenapa? Papa masih tidak terima karena tidak mendapatkan apa-apa?" cibir Sifa. Iqbal mendengus keras, tidak habis pikir kenapa sikap anaknya semakin hari semakin kurang ajar padanya. "Kamu pikir Papa tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan untuk membantu teman-teman berandalanmu itu?! Pakai otakmu Fa! Bagaimana bisa kamu mau saja dimintai tolong mereka untuk menyembunyikan buronan di rumah sakit kita! Siapa yang akan menanggung resikonya kalau sampai terendus pihak hukum?!" ucap Iqbal geram. "Yang tidak memakai otak itu sebenarnya siapa? Aku bukan Papa yang selalu bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Buktinya semua bisa selesai tanpa sedikitpun masalah. Jangan terlalu meremehkan mereka, Pa! Aku bukan tipe orang yang sembarangan memilih teman," balas Sifa nyelekit. "Sudah, kenapa setiap kali bertemu kalian selalu ribut terus? Kalau kesini cuma mau bertengkar, lebih baik kalian pergi saja sana! Mama makan kue ulang tahunnya ditemani Rendra saja." Ucapan mama Sifa yang sejak tadi hanya diam melihat suami dan anak semata wayangnya bertengkar itu telak membungkam keduanya. Rianti meraih tangan Sifa dan menggenggamnya hangat. Jarang-jarang dia bisa duduk dengan anaknya yang selalu sibuk ini. "Kamu baru pulang dari Bali?" tanya Rianti. Sifa mengangguk pelan. "Iya, dari bandara langsung kesini untuk menemani Mama berulang tahun. Tidak tahunya malah dibikin emosi." Mendengar sindiran anaknya Iqbal hanya meliriknya kesal, sedang Rianti menghela nafas panjang. "Pulang dari liburan harusnya senang, kok mukanya malah keruh begitu?" Sejak Sifa datang dia tahu anaknya tidak sedang baik-baik saja. "Tidak apa-apa, aku cuma capek Ma." jawab Sifa asal. "Papa ingatkan kamu! Jangan coba-coba bermain api! Jauhi mereka sebelum kamu menyesali semua!" ucap Iqbal bersungguh-sungguh. "Yang harus Papa khawatirkan bukan mereka, tapi orang-orang di dekat Papa yang semuanya penjilat itu," sahut Sifa. "Jangan asal ngomong! Siapa yang kamu maksud penjilat?!" Sifa tertawa pelan. Benar, kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari usianya. Semakin tua kelakuan papanya malah semakin ngelantur dan semaunya sendiri. "Aku diam bukan berarti tidak tahu apa-apa. Aku berani jamin, Papa akan menyesal kalau suatu saat tahu seberapa busuk kelakuan mereka." Iqbal menyerah, sudah terlalu lelah berdebat dengan anaknya yang luar biasa keras kepala itu. Apapun yang dia katakan selalu dibantah habis-habisan. "Papa dengar kepala bagian keuangan mau resign, biarkan nanti Yasmine yang menggantikannya." Rianti tampak menggeleng, tidak habis pikir kenapa suaminya lagi-lagi memancing amarah anaknya. Sifa menatap papanya nyalang, bisa-bisanya tanpa sedikitpun rasa bersalah dia melontarkan permintaan konyol itu. "Atas dasar apa Papa meminta aku memberikan jabatan untuk anak wanita sialan itu?!" sahut Sifa ketus. "Jangan keterlaluan kamu kalau ngomong, Sifa!" Pertengkaran mereka terhenti saat pintu rumah tiba-tiba dibuka dari luar. Rendra kakak angkat Sifa yang baru pulang kerja melangkah masuk dengan wajah kesalnya. Rupanya dia tidak datang sendirian, seorang wanita muda tampak berdiri di depan pintu yang terbuka lebar itu. "Dia memaksa masuk meski sudah aku larang," ucap Rendra sambil duduk tak jauh dari Sifa. Wajah Sifa terlihat kaku, matanya berkilat marah menatap tamu tak diundang yang sudah lancang datang ke rumah mereka. "Siapa yang mengijinkan kamu datang ke sini? Keluar!" teriak Sifa geram. "Papa yang mengajak Yasmine datang ke sini, jadi kamu tidak berhak mengusirnya." sahut Iqbal sambil melangkah ke arah pintu dan menggandeng wanita muda itu masuk. Sebelum duduk Yasmine tersenyum sopan ke Rianti sambil meletakkan tas berisi bingkisan kado di atas meja. "Maaf kalau kedatangan saya mengganggu. Papa bilang hari ini Tante ulang tahun, jadi saya membawa kado. Semoga saja Tante Rianti suka." Mama Sifa diam tidak membalas. Wajah dinginnya sudah cukup menunjukkan betapa dia tidak menyukai kedatangan anak tiri suaminya itu. Entah drama apalagi yang akan mereka pertontonkan sampai tiba-tiba nekat mendatangi rumahnya. "Tidak usah bersikap sok baik, aku jijik melihatnya! Kamu sama busuknya dengan mama sialanmu itu. Ambil bawaanmu dan pergi dari sini!" Sifa menyambar kado itu dan membuangnya ke lantai. Iqbal yang melihat itupun berteriak marah. "Jangan keterlaluan kamu, Fa! Yasmine sudah berbaik hati membawa kado untuk mamamu yang berulang tahun. Bukannya berterima kasih, kamu malah bersikap tidak sopan!" "Iya, harusnya mama berterima kasih pada anak tiri Papa yang baik hati ini, karena mamanya sudah berhasil merebut Papa dan menghancurkan rumah tangga kalian." balas Sifa melempar tatapan sinisnya ke Yasmine yang diam menunduk. "Kalau dia masih punya malu seharusnya tidak akan berani menginjakkan kakinya di rumah ini. Kelakuannya sama persis seperti ibunya, entah kesialan apalagi yang mereka bawa kesini!" lanjut Sifa berang. "Aku datang baik baik, bukan untuk membuat keributan. Lagipula papa yang memintaku menyusulnya kesini," sahut Yasmine tenang seakan sama sekali tidak tersinggung ucapan kasar Sifa yang terang-terangan menghina dia dan ibunya. "Alasan! Kamu jelas tahu kedatanganmu tidak pernah diharapkan di rumah ini, tapi malah memaksa masuk. Jangan kira aku tidak tahu apa yang di otak licikmu itu! Belum cukup kalian menjadi benalu keluarga Haidar, sekarang kamu juga ngelunjak ingin jabatan di Medical Centre!" cibir Sifa pedas. "Bicaramu sudah keterlaluan! Kami bukan benalu keluarga Haidar dan soal jabatan itu aku bahkan tidak tahu menahu." ucap Yasmine kesal. "Bukan benalu, lalu kamu pikir dari mana uang yang kalian hambur-hamburkan selama ini kalau bukan uang kami. Gaji papa sebagai dokter mana cukup untuk biaya kalian berfoya-foya?" "Aku juga kerja dan punya penghasilan sendiri," jawab Yasmine tidak terima dicap sebagai benalu. "Hebat, memang berapa gajimu yang hanya pegawai kantoran biasa sampai bisa beli barang-barang mewah? Tas yang kamu tenteng itu butuh gajimu berapa tahun untuk bisa membelinya?" sindir Sifa sambil mengedikkan dagunya ke arah tas punya Yasmine. Rendra yang hanya diam menyimak tampak mengulum senyum, adik angkatnya itu tidak pernah gagal membungkam mereka. Bahkan papanya sendiri selalu dibuat darah tinggi kalau sudah bertengkar dengan Sifa. "Bukan begitu Fa, Papa yang ingin Yasmine bisa bekerja di Medical Centre. Lagipula apa salahnya membiarkan dia bekerja di sana?" "Tentu saja salah! Memang dia siapa ingin minta jabatan penting di Medical Centre, apalagi di bagian keuangan. Itu sama saja aku membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan maling untuk masuk. Sama seperti saat mama dulu menolong mama dia yang tidak tahu diri itu. Sudah diberi pekerjaan, tapi setelahnya justru merebut suaminya." teriak Sifa sengit. "Yasmine juga kakakmu, kalau bicara sopanlah sedikit!" ucap Iqbal yang semakin membuat anak kandungnya itu naik pitam. "Kakak?! Jadi Papa dulu tidak hanya berselingkuh dengan dengan wanita yang sudah bersuami, tapi juga menghamili istri orang!" ucap Sifa ketus. "Jaga mulutmu, Sifa!" Iqbal yang murka berdiri dari duduknya dan berteriak marah ke anaknya. "Kamu jangan pura pura tidak tahu kalau mamamu dulu berselingkuh dengan papaku saat masih berstatus suami orang. Murahan sekali kan?" ledek Sifa ke Yasmine yang sudah menatapnya dengan wajah merah padam. "Jangan kira aku tidak berani menampar mulutmu yang kurang ajar itu Sifa!" desis Iqbal luar biasa marah. "Berani kamu menyakiti Sifa, besok aku pastikan akan menggugat cerai! Kita lihat apa istri mudamu dan anak-anaknya masih mau hidup bersamamu setelah jatuh melarat!" ancam Rianti. "Selama ini aku tidak pernah peduli dengan semua kelakuanmu di luar sana. Tapi kalau kamu sampai berani membawa mereka untuk mengusik hidup Sifa, aku tidak akan tinggal diam lagi!" lanjutnya. "Bagus sekali! Setelah Sifa berhasil mendapat semua warisan dari papa, kamu juga mulai berani mengancamku! Kamu pikir aku tidak tahu, kamu menuruti keinginan papa untuk tidak bercerai dariku supaya bisa mendapat warisannya." Iqbal menyeringai sinis ke istrinya. Rianti tersenyum menatap suami dan anak tirinya itu bergantian. Dia sudah terlalu hafal tabiat mereka, apalagi setelah mertuanya mewariskan semua hartanya pada Sifa. "Dari awal papa sudah memperingatkanmu, ada harga yang harus kamu bayar untuk semua kelakuanmu. Bukankah karena itu juga kamu tidak berani menceraikan aku sampai sekarang?" cibir Rianti. "Aku hanya meminta Sifa memberikan satu posisi untuk Yasmine di Medical Centre, bukan meminta membagi sahamnya. Bagian mana yang keterlaluan?" ucap Iqbal yang tampak mulai jengah. Dia merasa seperti pengemis, sedangkan seharusnya semua warisan itu adalah haknya. "Selama aku masih menjadi pemegang saham terbesar dan direktur utama di Medical Centre, jangan harap dia bisa bekerja di sana meski hanya sebagai cleaning service sekalipun!" jawab Sifa tegas. "Kalau tahu pada akhirnya kakekmu akan mewariskan semua hartanya padamu, aku tidak mungkin bertahan sampai sekarang untuk tidak menceraikan mamamu!" Ucapan Iqbal kali ini benar-benar membuat Sifa kalap. Apalagi saat menoleh dan mendapati mata mamanya yang memerah dan berkaca-kaca. Genggaman tangan mamanya mengerat, seakan sedang mati-matian menahan rasa marah dan sakit hatinya. "Aku masih berbaik hati membiarkan jalang peliharaan Papa dan juga anaknya ini untuk ikut menikmati harta keluarga Haidar. Jangan ngelunjak minta jantung! Sabarku juga ada batasnya Pa," desis Sifa. "Tutup mulutmu! Dia bukan jalang, dia juga istri yang sah aku nikahi!" "Iya, kalian berdua memang lebih cocok bersama. Sama-sama pengkhianat. Yang satu selingkuh dari istrinya, yang satunya lagi selingkuh sampai cerai dari suaminya supaya bisa menikah dengan Papa." Rendra beranjak cepat dari duduknya saat melihat Iqbal menyambar cangkir kosong di atas meja depannya, lalu melemparnya ke arah Sifa. Tapi terlambat, Rianti menjerit keras saat cangkir itu menghantam kening anaknya, kemudian pecah berantakan di lantai. Sifa diam tidak bergeming, hanya meringis dengan kening berdenyut sakit bukan main. Tapi itu tidak seberapa jika dibanding sakit hatinya sekarang. Sedangkan Iqbal berdiri membeku di tempatnya. Tangannya tampak gemetar setelah melihat ada darah mengalir di kening anaknya. Dia juga sama sekali tidak menyangka sampai bisa lepas kendali begitu. "b******k kamu, Iqbal! Berani sekali kamu melukai anakku!" teriak Rianti emosi. Sifa menatap nanar papanya dan Yasmine bergantian. Dia bilang juga apa, wanita ini sama busuknya dengan ibunya yang jalang itu. Matanya masih bisa melihat dengan jelas senyum puas di bibir Yasmine. "Ayo aku obati keningmu!" Sifa menepis tangan Rendra. Dia berdiri dan menatap datar papanya. "Aku masih menganggapmu ayah, meski sebenarnya Papa sudah tidak pantas lagi. Karena itulah aku masih memberi berapapun uang yang Papa minta untuk mereka berfoya-foya. Tapi mulai detik ini jangan harap lagi!" "Uang itu bahkan tidak ada artinya dibanding warisan itu!" sahut Iqbal geram. "Berterima kasihlah karena aku masih membiarkan kalian menempati rumah itu. Sekali lagi kalian membuat ulah, aku tidak akan segan menendang kalian dari sana. Paham kan kamu, Yasmine? Buktikan kalau kamu dan ibumu bukan benalu di keluarga Haidar!" Setelah itu Sifa beranjak pergi dari sana, meninggalkan mamanya yang terus berteriak memanggilnya. Tepat saat tangannya yang gemetar meraih pintu mobilnya, Rendra tiba-tiba menarik lengannya. Tangis Sifa pecah saat kakak angkatnya itu memberinya pelukan lembut, tanpa mengusiknya dengan sepatah katapun. "Aku antar pulang, jangan menyetir dengan keadaan kacau seperti ini!" Rendra meraih kunci mobil di tangan Sifa, lalu menggandengnya masuk ke kursi penumpang. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara. Sifa masih terdiam, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara tangisan. Dia baik-baik saja, sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Sebrengsek apapun Iqbal Haidar tetaplah ayah kandungnya. Sifa masih terus berusaha bertahan dan turuti apa maunya. Sampai suatu saat nanti jika dia sudah terlalu lelah, Sifa akan menyerah dan pergi dari cerita yang salah juga menyakitkan ini. Namun sepertinya Sifa masih belum bisa bernafas lega meski sudah menjauh dari papanya. Sesampai di apartemennya seseorang yang saat ini begitu ingin dia hindari justru sudah menunggunya disana. "Sifa …" Sifa dan Rendra yang sedang berdiri menunggu lift sontak menoleh. Helaan nafasnya terdengar keras saat melihat Aksa yang beranjak dari duduknya di sofa tunggu lobi apartemennya. Dia tidak sendiri, ada Cello anaknya yang masih duduk dan menatapnya acuh tak acuh. Bahkan meski Sifa tidak sedang di dekat papanya pun, bocah itu tetap menatapnya tak suka. "Bang Rendra naik saja dulu, aku bicara dengannya sebentar." ucap Sifa sambil beranjak menghampiri Aksa. Tidak ada senyum di wajah Rendra saat tatapan matanya bertabrakan dengan Aksa yang juga sedang menatapnya aneh. Pria itu pasti penasaran karena tidak kenal dengannya, tapi Rendra sangat tahu apapun tentang Aksa yang merupakan cinta pertama Sifa dulu. Tanpa sadar tangannya semakin erat mencengkram gagang koper milik Sifa. Entah Rendra harus senang ataukah kesal, karena Aksa sudah dua kali menolak Sifa. Yang jelas tidak hanya Aksa, tapi Rendra tidak pernah suka melihat Sifa dekat dengan pria manapun. Tidak, Rendra tidak akan pernah rela.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook