bc

Berakhir di Pelukanmu

book_age18+
1.8K
FOLLOW
10.4K
READ
HE
arrogant
badboy
kickass heroine
heir/heiress
bxg
kicking
rejected
like
intro-logo
Blurb

Dipaksa menikah untuk memperbaiki keturunan, Bagus Adhitama seolah heran kenapa pikiran orang tuanya begitu jauh dengan kenyataan bahwa mereka sebenarnya sudah sangat kaya raya. Fisik tampan, memiliki perusahaan bercabang di mana-mana, kenapa mereka bisa menyebutnya memperbaiki keturunan? Bagus Adhitama harus menikahi gadis desa yang sama sekali bukan kriterianya. Namun, pria itu malah menyuruh istrinya mandi besar pagi-pagi. Apa yang sudah terjadi malam itu?

Ikuti kelanjutannya dan baca sampai selesai, ya! Terima kasih

chap-preview
Free preview
Sikapnya Yang Dingin
"Basahi rambutmu! Aku enggak mau ada orang mengira kalau aku membiarkanmu semalam." Bagus berdiri di depan cermin setelah berpakaian rapi. Sementara gadis yang baru semalam ia halalkan itu tertunduk dengan seribu pertanyaan. Mengapa suaminya itu bersikap berbeda dari yang lalu, saat ia datang ke rumah bersama kedua orang tuanya. "Orang-orang tidak akan tau kalau saya habis mandi atau tidak. Mereka tidak akan tanya hal-hal seperti itu, Mas." Dengan rasa takut, gadis itu menjawab. "Jangan membantah! Aku tidak suka." Bagus lantas keluar dari kamar itu setelah melipat lengan kemeja putihnya. Rumaisa tak menjawab lagi. Ia bergegas pergi ke kamar mandi setelah azan Subuh berkumandang. Di luar sana, pagi-pagi sekali sudah terdengar banyak orang berbincang-bincang karena acara pernikahan sederhana masih terasa membekas di rumah orang tua gadis itu. Begitu selesai salat, Rumaisa lantas keluar kamar berniat membantu orang-orang yang ada di dapur menyiapkan makanan. "Duh, seger nih pengantin baru," sindir salah seorang wanita paruh baya yang duduk sambil meracik menu untuk sarapan. Sanak saudara masih berkumpul di rumah itu sebelum mereka melepas kepergian Rumaisa dan Bagus siang nanti. "Bude ...." Rumaisa tersipu malu. Padahal, tidak ada yang tahu apa yang sudah terjadi semalam. Tiba-tiba dari belakang Rumaisa seorang wanita muda menyentuh kepalanya. "Eh, basah rambutnya. Udah main unboxing aja nih mereka." Gelak tawa seketika memenuhi ruangan dapur. "Ana, jangan sindir adikmu terus! Nanti dia malu," tambah Fatimah. Wanita tua yang telah melahirkan dua gadis di hadapannya. Wanita-wanita di dapur itu tertawa lagi. Setelah makanan untuk sarapan siap, Rumaisa membantu membawakan ke meja depan. Meja tamu penuh dengan makanan, Bagus tampak berpaling dari Rumaisa yang baru saja duduk di sebelahnya. Lalu mereka semua menikmati hidangan pagi itu bersama-sama. Keluarga Rumaisa terlihat sangat bahagia dengan pernikahan gadis itu. "Terima kasih, Buk. Kami berangkat dulu," ucap Bagus saat ia dan Rumaisa sudah siap berangkat ke Jakarta. "Titip Mai ya, Nak Bagus! Ajari dia tata krama di rumah mertuanya," pinta Fatimah setelah melepas pelukan pada putrinya. "Insyaallah, Buk." Bagus tersenyum. Rumaisa tampak sedih, tetapi ia segera masuk ke dalam mobil dan berangkat bersama suaminya. Perjalanan panjang itu membuat Bagus sering menggerutu. Apalagi saat itu Rumaisa hanya diam saja. Setiap ungkapan yang keluar dari lisan Bagus memang terdengar pedas. Maka tak salah jika gadis itu tak berani bicara lebih dulu. Sesampainya mereka di Jakarta, mobil tampak masuk ke halaman rumah yang sudah disiapkan oleh kedua orang tua Bagus. Mereka pun segera turun dan satpam membantu menurunkan barang-barang. "Kamar kamu di sana," tunjuk Bagus dengan dagunya pada salah satu sudut ruangan di dekat dapur. Rumah itu kebetulan hanya satu lantai dan hanya akan dihuni mereka berdua saja. Lelaki itu tak mengatakan apa pun lagi selain pergi meninggalkan Rumaisa sendirian. Rumaisa pun segera membawa tasnya ke arah kamar yang tampak pintu coklat tertutup itu. Sampai di sana, gadis itu terkejut melihat isi dalam kamar. Hanya terdapat satu kasur lantai dan satu lemari kayu. Sisanya karpet saja. Satu meja pun tak ada di sana. Pundak Rumaisa terjatuh, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Gadis berkerudung segitiga itu masuk seraya menatap sekeliling sudut ruangan yang masih tercium aroma cat basah. Baru saja meletakkan tas hitamnya di dekat kasur, Rumaisa menoleh ke arah pintu karena mendengar suara langkah seseorang mendekat. Benar saja, Bagus muncul dan langsung melempar bantal pada Rumaisa. Spontan gadis itu menangkapnya. "Pakai tuh!" Lalu lelaki berkaus hitam itu memutar badan dan pergi lagi. Rumaisa menatap jam dinding yang menunjuk pukul empat sore. Gadis itu langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur karena rasa pegal pada punggung, beberapa jam duduk di dalam mobil membuatnya ingin bermalas-malasan. Baru saja merasakan nikmatnya meluruskan punggung, kembali ia mendengar suara teriakan dari luar kamar. Rumaisa lantas kembali bangun karena Bagus tiba-tiba masuk ke dalam. "Ayo pindah!" kata lelaki itu seraya meraih tas hitam milik Rumaisa tadi. "Ada apa, Mas? Kenapa saya disuruh pindah?" Rumaisa langsung mengikuti Bagus yang berjalan dengan langkah panjang menuju kamar utama. Pria itu meletakkan tas tadi di dalam lalu dengan tangan berkacak pinggang, dia berkata, "Mama sama papa mau datang. Aku tidak mau mereka memergokimu tidur di kamar sana." "Hah?" Rumaisa ternganga. Ia bingung harus berkata apa lagi. "Sekarang kita satu kamar. Tapi ingat, hanya saat mereka datang saja. Dan ketika mereka sudah pulang, kau harus kembali lagi ke kamarmu tadi. Paham?" Rumaisa mengangguk pelan. "Tapi, Mas. Kenapa kita tidak tidur di kamar yang sama?" "Sssttt! Diam! Tidak usah membantah dan jangan banyak bicara. Aku tidak suka. Aku juga tidak banyak waktu untuk bicara denganmu." Kalimat pedas itu membuat Rumaisa memejamkan matanya sejenak. Bagus pun langsung pergi lagi dari hadapan istrinya itu. *** Sampai malam menjelang pukul sembilan, kedua orang tua Bagus nyatanya tak datang juga. Lelaki itu berdecak lalu bangkit dari sofa ruang tengah. Ia segera menekan tombol telepon berkabel di meja dekatnya duduk. Bagus berniat menelpon mamanya. Namun, setelah ditelpon ternyata mereka tak bisa datang karena hujan begitu lebat dan jalan yang akan dilalui tergenang banjir, begitu kabarnya. "Kalian baik-baik ya, di sana. Besok Mama ke sana kalau sudah enggak banjir lagi. Oh ya, Bagus, jangan sakiti Rumaisa! Dia anak baik, juga penurut. Beruntung kamu bisa nikahin dia." Bagus tak menjawab lagi saking kesalnya. "Ingat, Bagus, Mai itu istrimu. Dia menantu kesayangan. Ingat kan, perjanjian yang kamu buat sendiri?" Bagus langsung menghela napas panjang sambil menutup panggilan tanpa salam. Lelaki itu segera mengunci pintu utama dan pergi ke kamar. Di kamar utama, Rumaisa terlihat duduk dengan buku bacaan di tangannya. "Malas sekali melihat dia di kamar ini. Kenapa juga mama harus mengancam posisiku di kantor kalau tidak menikahinya. Dia jauh sekali dari tipe istri idamanku." Bagus berjalan dengan malas lalu berakhir di atas ranjang tidurnya. Tanpa mengajak Rumaisa yang terlihat melirik, lelaki itu langsung merebahkan tubuhnya di sana. Tak lama sebuah panggilan masuk pada ponsel di atas nakas. Bagus pun segera mengangkatnya. "Hallo, Sayang?" "Iya, besok aku jemput kalau berangkat." "Jangan naik taksi! Aku enggak mau kamu kenapa-napa." Rumaisa langsung mendongak begitu mendengar suara Bagus menelpon seseorang. Lelaki itu tak peduli dengan perasaan Rumaisa yang ada di kamar itu juga. "Mas nelpon siapa?" Rumaisa tak dapat menahan perasaannya lagi. "Bukan urusan kamu. Tidur aja!" Bagus mematikan lampu tidur. Suasana kamar itu tampak gelap dan hanya remang-remang sorot lampu dari luar yang menembus ke dalam kamar lewat korden putih. Rumaisa berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Suara gagang pintu yang terputar membuat Bagus membuka mata lagi. "Mau ke mana?" Nada bicara lelaki itu sangat menyesakkan hati gadis itu. "Mau balik ke kamar tadi," balas Rumaisa dengan pelan. "Tidur di sini aja! Mama pagi-pagi mau datang. Malam ini enggak jadi," kata Bagus lagi. Hujan semakin deras dan petir menyambar-nyambar. "Bagaimana aku bisa tidur di sini sementara Mas saja telponan mesra sama wanita lain. Kenapa Mas enggak nikahin aja wanita itu?" Rumaisa masih berdiri di dekat pintu sambil memilin ujung jilbabnya. Bagus bangkit dari tidurnya lalu duduk. "Semua itu karena kamu sendiri. Kenapa kamu mau dijodohkan denganku?" "Karena saya tidak mau mengecewakan mereka." "Kalau begitu, bilang sama mereka kalau kamu ingin bercerai denganku. Setelah itu urusan kita beres. Kamu enggak akan lagi mendengar aku menelpon kekasihku." "Apa?" Rumaisa terkejut bukan main. Dengan mudah, lelaki itu berucap. Sampai membuat Rumaisa sedikit naik darah. Sampai hati Bagus menyuruhnya begitu. "Baik, besok saya akan bilang sama mereka. Mas Bagus yang menyuruh saya bilang begitu. Dan sebenarnya, Mas Bagus sudah memiliki kekasih." "Hei! Awas saja kalau kau berani bilang begitu!" "Saya enggak mau berbohong, Mas!" "Sini kamu!" Bagus berdiri lalu menarik tangan Rumaisa dengan paksa.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook