bc

Dinikahi Tuan Muda Arogan

book_age18+
245
FOLLOW
4.8K
READ
love-triangle
HE
playboy
arrogant
badboy
heir/heiress
bxg
kicking
campus
cheating
like
intro-logo
Blurb

"Nikah sama gue beasiswa lo aman sampai wisuda."

"Kalau gue nggak mau, gimana?"

"Gue hamilin lo biar mau nikah sama gue."

Demi balas dendam atas sakit hati sang ibu terpaksa Argaxella Fermonica menikah dengan mahasiswa bermasalah, playboy, dan tukang balap liar. Sakha Adi Pratama tidak percaya kalau dia jatuh cinta kepada tahanannya sendiri yang berstatus istri. Dia menikahi untuk balas dendam kepada saudara laki-lakinya. Namun, kebaikan Xella yang tidak pernah protes dimanfaatkan membuat Sakha tergugu. Tersadar bahwa selama ini perlakuannya salah dan menyakiti banyak orang, termasuk saudara laki-lakinya yang ternyata mengikhlaskan cinta pertamanya untuk dia.

chap-preview
Free preview
Bab 1. Dijebak Tuan Muda Arogan
"Nikah sama gue beasiswa lo aman sampai wisuda." Tergiur, sih, tapi kalau untuk menikah dengan si badboy kampus rasanya tidak semudah itu. "Kalau gue nggak mau, gimana?" tantang gadis itu bersedekap d**a. "Gue hamilin lo biar mau nikah sama gue," jawabnya enteng. Sontak karena hal itu membuat gadis bernama Argaxella Fermonica melotot tidak habis pikir. “Rumor kalau lo gila dan seenaknya sendiri sepertinya nyata. Gue yakin seratus persen,” cibir Xella hendak membuka pintu toilet akan tetapi, terkunci dari luar. Berulang kali mencoba membuka tetap saja tak bisa. Badannya menoleh ke belakang dengan segera. Menyorot tajam sosok Sakha Adi Pratama yang tengah bersedekap d**a dengan gaya angkuh andalannya. “Naik ke genteng kalau mau. Silakan, Nona.” “Sakha,” panggil Xella dengan gigi gemeletuk kesal. “Lo tiba-tiba masuk ke toilet cewek lalu ngancam gue begitu. Lo pikir keren?” “Lo susah diajak kerja sama. Gue harus pakai cara kasar, dong,” balasnya mengulum permen kaki tanpa peduli lawan bicaranya. Xella menggerutu kesal. “Apa yang lo inginkan, Sakha? Gue nggak pernah cari masalah sama lo.” Tak gentar, tak ada wajah nelangsa. Yang ada adalah wajah sok berani milik gadis itu. Menghadapi Sakha tidak bisa dengan cara menggebu-gebu. “Lo emang nggak ada masalah sama gue ...,” tutur Sakha sengaja menggantungkan kalimatnya. “Karena lo orangnya,” lanjut Sakha di dalam hati. Sakha mendekat, seiring Sakha memangkas jarak justru Xella makin terpojok di sudut toilet. Dia kebingungan ketika kedua lengan kekar laki-laki itu memerangkapnya di tembok. Menghimpit. “L-lepasin gue,” cicit Xella bingung. Tatapan keduanya saling mengunci dalam pikiran berbeda-beda. “Kalau gue nggak mau gimana?” Wajah tengil Sakha makin maju membuat kepala Xella terpentok dinding. Ringisan itu membuat Sakha tersenyum miring. “Ah … shhh,” desah Xella tanpa sadar. Tiba-tiba suara tendangan pintu terdengar keras. Xella terlonjak kaget, lebih kaget lagi karena bibirnya ditempeli dengan benda kenyal milik Sakha secara tiba-tiba. Dengan cepat Xella berusaha mendorong d**a bidang Sakha. Keduanya tanpa jarak. Berengsek! Tiba-tiba pintu toilet didobrak kasar sehingga dua orang penghuninya terlonjak kaget. “Nah, ‘kan! Saya mana bohong, sih, Pak,” adu Ijul yang datang menenteng tas hitam tipis milik Sakha. Julian namanya akan tetapi, lebih sering dipanggil Ijul. Revano merupakan om dari Sakha yang diberikan mandat memimpin universitas memijit keningnya perlahan. Keponakannya ini berbuat ulah apa lagi, sih? “Kalian berdua datang ke ruangan saya segera!” perintah Revano tidak terbantahkan. Xella ingin menangis karena malunya ini tidak tertolong. Namun, dia menahannya, dengan kepala mendongak angkuh Xella mendahului Sakha keluar lebih dulu. Dia tidak peduli dengan semua pasang mata yang menatap dirinya mencemooh, bahkan terang-terangan mengatainya juga ada. Karena hal inilah Xella tak menunjukkan wajah nelangsanya, yang ada semakin di-bully. “Anak beasiswa nggak tahu diri mengincar cowok kaya.” Hanya terisa kalimat itu sebelum pada akhirnya masuk ke dalam ruangan milik Revano. Diikuti juga oleh Sakha yang duduk dengan tenang. "Jadi bisa jelaskan kepada saya apa yang kalian lakukan di dalam toilet kampus?" "Seperti yang lo lihat, Om. Emang apa lagi?" "Sakha," tegur Revano. Pusing sekali menghadapi keponakan yang satu ini. "Permisi, Pak Revano apa kami boleh masuk?" Suara lembut di depan pintu yang tertutup. "Masuk," ujar pemilik ruangan sedikit keras. Begitu pintu terbuka sosok yang dikenal Xella berdiri di sebelah kakak kembarnya. Muka kecewa sosok itu berhasil mengusik Xella berbeda dengan Sakha yang tersenyum di dalam hati. "Gue menang lagi," batin laki-laki itu girang. "Silakan duduk, Sathir, Shifkha," kata Revano menunjuk sofa panjang di dekat rak buku. "Abang buat ulah apa lagi?" tanya Shifkha langsung to the point. Kakak pertamanya memang bandel sekali. Selalu buat ulah sejak dulu. Sedangkan Sakha yang ditanya justru diam saja, memainkan lidah yang sedang mengulum permen kaki kesukaannya. "Sudahlah, saya tidak mau tahu. Kampus ini tidak seharusnya tercoreng karena ulah mahasiswa seperti kamu, Sakha. Saya percaya penuh kepada Xella," ujar Revano saat dirasa ini hanyalah keusilan keponakan. Namun, dia juga tak bisa acuh apalagi melepaskan karena menyangkut nama baik instansi. Wajah Xella berbinar dan lega. Setidaknya bisa memberikan bukti kepada laki-laki pujaannya bahwa dia nggak bersalah. "Nggak bisa gitu, dong, Om. Gue sama Xella yang berbuat, masa cuma gue yang disalahkan, sih," protes Sakha. Tidak akan dia biarkan Xella hidup tenang. "Dengarkan saya ngomong dulu, Sakha!" Teguran Revano sedikit membentak karena sudah lelah. "Xella, maaf jika saya lancang. Kamu tentu tahu nama baik kampus yang paling utama. Lagi pula dengan status beasiswa kamu saat ini tentunya kabar buruk ini bisa berpengaruh." Wajah Xella memucat. Dia sadar betul bukan hal yang baik. *** "Seharunya lo jelasin semuanya ke pak Revano. Kenapa malah diam aja, kalau sudah begini beasiswa lo yang terancam dicabut, Xella. Astaga." "Gue pusing, Lov. Jangan makin bikin gue over thinking, deh." Xella mendengus. Mampir ke apartemen Lovina di kawasan elit. Dia nggak berani pulang ke rumah karena bingung mau ngomongnya ke mama. "Lagian kenapa lo bego banget sampai lupa kunci pintu, sih! Kenapa tadi nggak nunggu gue datang ke kelas biar gue yang jaga pintu kayak biasanya." Omelannya masih berlanjut antara gemas dan juga merasa bersalah. Banyak kalimat pengandaian yang tercipta. "Iya, gue salah, Lov. Udah, dong," ujar Xella menunduk. Wajahnya ditutup dengan kedua telapak tangan. Pusing sekali rasanya. Masih lama sebagai status mahasiswi masa iya sudah dicabut beasiswanya. Untuk masuk ke kampus impian juga tidak semudah itu. "Mau bagaimana lagi memangnya. Lo tahu sendiri siapa pun yang berhubungan sama Sakha nggak akan semudah itu untuk lepas. Apalagi sudah membawa pak Revano. Sumpah gue ngeri, La." "Besok gue bolos aja kalau begitu. Nggak berani masuk, Lov," putus Xella sepihak. Menjambak rambut sebahunya frustasi. "Eh, jangan, dong! Jangan menghindar begini. Lo harus hadapi. Jangan begini, La. Mama lo pihak yang paling terpukul nantinya." Di tengah kekalutan Xella dia dapati ponselnya bergetar panjang tiada henti. Matanya mengerjap karena nama 'Marina' terbaca dengan jelas di layar ponselnya. "Angkat, La." "Gue takut. Walau yakin mama belum tahu masalah ini. Gue nggak tega bohongin mama juga nggak tega bikin mama kecewa." Berada di ambang batas antara jujur atau berbohong demi kebaikan. "Gue aja yang angkat kalau begitu." "Jangan!" Xella menggeleng. "Biarkan aja sampai mati." Setelah berkata demikian layar ponselnya menggelap. Namun, tidak lama kemudian justru panggilan masuk dari orang yang sama ke ponsel milik Lovina. "Nyokap lo. Gue angkat aja, ya? Pasti beliau khawatir karena udah malam lo belum pulang, La." Xella menggigit bibir bawahnya resah. Apakah iya? "Ya udah," putus gadis itu pasrah. "Bilang aja gue ketiduran. Bilang juga gue nginep di sini. Please, Lov." Sedangkan di sisi lain, sebuah kediaman megah. Sepasang suami dan istri menatap datar sosok laki-laki dengan rambut brokoli berwarna hijau toska. Sungguh bandel sekali, sudah dibilangin masih saja badung. "Bisa jelaskan kepada Ayah dan Bunda apa yang kamu lakukan. Masalah apa lagi, Bang?" Nada suara ayahnya—Pradana Sakti Pratama—sudah tidak santai. Rasanya ingin sekali menonjok muka Sakha yang tengil saat ini. Bahkan asik menjilat permen kaki. "Abang," tegur wanita paruh baya yang bernama Merida Pratama. Wanita itu menghela napas karena paham betul anak tertuanya sangat susah diatur. Suaminya saja sudah angkat tangan dan menyerahkan kepada Revano. Adik iparnya. "Seperti yang Ayah dan Bunda dengar." Jawaban super acuh. Sakha bangkit membawa tas tipis tanpa isi di dalamnya. "Duduk, Sakha!" bentak Pradana murka. Sedang dimarahi malah santai begitu. Siapa coba yang tidak jengkel. "Ngantuk, lengket mau mandi dulu. Simpan tenaga Ayah buat besok pagi siapa tahu Sathir pingsan lagi." "Jaga bicara kamu, Sakha. Dia adik kamu!" "Ya-ya." Sakha merespon meledek lalu melenggang pergi. "Lihat anak yang kamu manja, Merida." Walau sudah berjarak satu meter nyatanya telinga Sakha masih tajam mendengarnya. Laki-laki itu terkekeh sinis.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook