Prolog
Di sebuah rumah yang penuh dengan ketegangan, Lucia berdiri tegar di depan suaminya Rendra Rayyan, disampingnya adalah mertuanya yang memandangnya dengan tatapan sinis. "Lucia, aku ingin kau bertindak bijak. Ini adalah keputusan terbaik untuk keluarga kita," ucap suaminya dengan wajah tegang menatap pada Lucia.
"Tapi, aku tidak bisa menerima hal ini! Aku mencintaimu, hanya kamu!" Lucia menangis sambil berusaha memohon pada suaminya.
Mertuanya tersenyum sinis, "Lucia, kau hanya bisa memberikan cucu perempuan padaku. Tak ada gunanya kau menolak, karena aku yang menentukan nasib keluargamu." Bicara wanita paruh baya itu sambil bersedekap,
Lucia memandang mertuanya dengan rasa marah yang tak terbendung. "Ini tidak adil ma! Aku tidak akan pernah menerima wanita itu sebagai istri kedua," Lucia berseru dengan suara gemetar.
Rendra mencoba meredakan situasi, "Lucia, tolonglah, coba pahami posisiku juga." ujarnya dengan nada frustasi, Namun Lucia menolak untuk mendengarkan, ekspresinya penuh dengan keputusasaan dan kekecewaan.
"Aku tidak bisa... Aku tidak bisa melihatmu bersama wanita lain, terutama dia." telunjuk Lucia lurus mengacung pada seorang wanita yang sedang berdiri di belakang sang suami, wanita yang sangat ia kenal, siapa lagi jika bukan Donna, teman SMA sekaligus cinta pertamanya Rayyan.
Dalam keheningan yang menyakitkan, Lucia merasa dirinya terjebak dalam pusaran drama keluarga yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dia merasa sendirian dan terluka, dihadapkan pada pilihan yang tak pernah ia inginkan.
“Lucia! Donna sekarang sedang hamil anakku.” beber Rendra kemudian, setelah melihat sikap Lucia yang keukeuh tidak mau menerima Donna. menjadi madunya.
Lucia terpaku, merasakan beban emosional yang begitu berat, merenung masa depannya akan terbentuk di tengah situasi yang rumit ini.
“Lucia! Kamu mendadak tuli iya!” bentak mertuanya, Ambar, sukses membuyarkan semua lamunan Lucia.
Menghapus bulir bening yang berhasil merobek pertahannya menggunakan punggung jari, Lucia mengangkat wajah menatap pada mertua dan suaminya silih berganti.
Dengan suara yang tegas namun penuh martabat, ia berkata “aku mungkin tidak bisa mengendalikan pilihan mas Rendra, tetapi aku akan mengendalikan bagaimana diriku merespon semua ini.” ucapnya ambigu.
Rendra terkesiap melihat perubahan dalam sikapnya, Lucia, “maksud kamu apa Lucia?” tanya Rendra,
Dengan kepala yang tegak dan hati yang kuat “Baiklah! aku akan menerima Donna, mas, namun sebelum itu, mas Rendra harus menceraikan aku.”
“Lucia!!”