bc

My Lecture, My Housemate

book_age16+
121
FOLLOW
1.8K
READ
HE
second chance
blue collar
drama
city
like
intro-logo
Blurb

"Di kampus, Bapak nyuruh saya terus. Sampai di rumah juga masih nyuruh-nyuruh," teriak Keyra tepat di depan wajah Prima.

Pria menunjuk ke arah halaman rumah. "Itu kotor. Kamu kan enggak ada kelas lagi. Mending itu dibersihkan."

Keyra menghentak-hentakkan kakinya. "Biarin aja! Biarin! Rumah juga rumah Ayah aku. Bapak kan cuma ngontrak di sini. Jadi jangan ribet!"

Prima terdiam sampai akhirnya Heri-Ayah Keyra-angkat bicara.

"Selagi baik. Ikuti aja, Key," ucap pria paruh baya itu.

"Ayah," ucap Keyra merengek.

"Ikutin aja."

Wajah Keyra langsung cemberut, sedangkan Prima full senyum.

chap-preview
Free preview
?️ S a t u
Kehidupan perkuliahan aku berjalan baik-baik aja. Enggak ada sesuatu hal yang membebani, sampai akhirnya saat semester lima aku mengambil mata kuliah yang dimana dosennya adalah dosen muda plus dosen baru di universitasku. Namanya Pak Prima. Dia enggak mau dipanggil dengan embel-embel Pak karena baginya umur dia dengan mahasiswanya tidak beda jauh sehingga dia menyarankan kami untuk memanggilnya dengan sebutan Bang. Teman-teman kelasku kompak memanggilnya Bang Prim, sedangkan aku berbeda. Aku tetap memanggilnya Pak Prima karena bagiku lebih sopan kalau manggil dia dengan sebutan 'Pak'. Dia enggak galak. Dia asyik kalau sedang mengajar. Penampilannya enak dipandang. Tubuhnya wangi. Dia terlihat semakin gagah ketika sedang mengendarai mobil Fortuner hitam seri terbaru. Namun, sisi-sisi positifnya enggak sama sekali membuat aku terkesan. "Hey Keyra. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Pak Prima yang sedari tadi berada di depan kelas. Saat ini jam perkuliahannya sedang berlangsung. Begitu mendengarnya refleks aku menggeleng. "Enggak ada, Pak." "Bang. Keyra. Panggilnya Bang," ucap Utami yang berada tepat di sebelahku. "Aku maunya panggil dia Bapak," jawabku pelan. "Emang agak lain ya kamu." "Emang," jawabku sekenanya. "Jadi bagaimana Keyra? Boleh ke depan sini," Pak Prima menunjuk ke arah sebelahnya, "tolong ceritakan apa yang sedang kamu pikirkan. Pastinya tentang materi yang sedang saya jelaskan kan?" Aku menggeleng. "Enggak, Pak." Pria itu melirik ke arah jam tangannya. "Tiga menit, lima puluh delapan detik kamu melamun. Apa yang sedang kamu pikirkan?" Ini nih yang aku benci darinya. Dia itu detail banget. Aku tuh suka mikir, kok ada ya manusia modelan kaya gini? Detail banget. Sampai-sampai mahasiswinya sedang melamun aja dia hitung lamanya. Beda bangetlah sama aku. Aku manusianya enggak detail. Kaya yaudah bodo amat. Tugas aja aku enggak perfect-perfect amat kalau ngerjain. Ya, yang penting kelarlah. Kalau ada yang salah, yaudah kasih nilai seadanya aja karena aku malas banget kalau revisi. Malas ngerjain berkali-kali. "Pikiran saya kosong, Pak. Kalau ke depan bingung juga mau menjelaskan apa." Pak Prima hanya mengangguk kemudian dia kembali melanjutkan materinya. Bermenit-menit berlalu sampai akhirnya lima menit terakhir dia memintaku untuk ikut dengannya ke ruang dosen. Aku enggak terkejut karena ini bukan pertama kalinya. Pak Prima emang senang banget bikin aku mondar-mandir ke ruang dosen. Dia kayanya juga senang kalau aku sering diomongin sama dosen lain perkara langganan banget ke sana. "Iya, Pak." Sesuai dengan perintahnya. Saat jam mata kuliah berakhir aku ikut dengannya ke ruangan dosen. Dia langsung memberikan laporan praktikum kepadaku. "Kalau mengerjakan tugas itu yang benar," dia menujuk ke arah tabel hasil kemudian ke arah perhitungan, "kamu salah masukin data ke rumusnya." Aku terdiam, mencoba mencerna dimana letak kesalahanku. "Pak, ini typo. Hasil dari perhitungannya udah benar." "Yaudah. Yang salah direvisi." Aku menarik napas. "Pak, udahlah. Saya cape tahu bolak-balik revisi terus. Kasih nilai seadanya aja." "Revisi." "Pak." "Revisi. Keyra." "Eng—" "Revisi atau kamu saya kasih nilai nol? Atau sikap kamu saya kasih nilai C?" "Ish, anj*r!" refleks tanganku langsung bergerak menutup mulutku. "Keyra, ngomongnya kasar!" ucap Pak Prima cepat. "Maaf, Pak. Keceplosan." "Sudah. Sudah. Revisi sekarang juga." Aku mendengus kemudian mengikuti perintahnya. Revisi sekarang juga. Dari sekian banyak dosen yang sudah mengajarkanku, dia doang yang seribet ini. Agak lain emang dia. Ada sedikit unsur tahinya. °•° Aku dapat musibah. Musibah besar. Jadi gini ceritanya, rumah tepat di depan rumahku dijual semenjak tiga bulan yang lalu. Entah bagaimana caranya semesta bekerja, tiba-tiba hari ini aku baru tahu bahwa pembeli rumah itu adalah Pak Prima. Pak Prima sudah membeli rumah itu sebelum dia bekerja sebagai dosen di kampusku. Wajar aja sih sebenarnya kalau aku enggak tahu, soalnya saat dibeli rumah itu langsung direnovasi sehingga Pak Prima jarang berada di sana. Malah aku sama sekali enggak pernah melihatnya atau mungkin juga enggak nyadar. Sore ini dari jendela kamarku, aku melihat pria itu sedang berbincang dengan salah satu tukang bangunan. Kemudian pria itu berjalan dan mendekati Ayahku yang sedari tadi sedang berkebun di halaman depan. Bermenit-menit aku perhatikan, kok ngobrolnya enggak selesai-selesai. Kedua mataku mendadak menbesar ketika melihat Pak Prima diajak Ayah untuk duduk di kursi taman. Jarang banget Ayah mau menerima tamu, apalagi orang asing. Dengan rasa penasaran yang memuncak aku bergegas turun ke lantai bawah untuk mendekati mereka. "Kamar kosong ada. Anak saya yang pertama sudah menikah, anak yang kedua kuliah di luar kota. Ada juga kamar tamu. Kalau Mas mau, Mas bisa pakai kamar tamu." Lah. Bisa-bisanya Ayah tawarin kamar ke Pak Prima. "Saya mau, Pak. Kalau tinggal di rumah Bapak, saya bisa ngecek renovasi rumah saya setiap hari." Sumbu emosiku seketika terbakar. Dengan langkah yang tergesa aku langsung mendekat ke arah mereka. "Enggak ada! Enggak bisa! Enggak ada kosan di sini!" Bodo amat kalau aku dibilang enggak sopan. Ini kan bukan di kampus. Jadi, dia enggak bakal bisa mengancamku dengan memberikan nilai sikap yang jelek. "Enggak ada kosan di sini. Maaf." "Cuma sebulan. Sebulan lagi rumah saya selesai direnovasi," ucap Pak Prima dengan nada tenang. "Enggak, maaf." "Keyra," ucap Ayah menginterupsi, "ini rumah bapak. Bapak yang berhak memberikan keputusan." Ayah mengambil ponselnya lantas membuka kalkulator. Dia menuliskan beberapa angka di sama kemudian memberikannya kepada Pak Prima. "Sebulan, biaya sewanya segini. Kalau Mas enggak keberatan, mulai lusa Mas boleh tinggal di sini." Pak Prima menatap ke arah layar ponsel itu kemudian mengangguk cepat. "Enggak keberatan, Pak. Saya bayar biayanya dua kali lipat, tapi saya tetap sebulan, enggak apa-apa." "Kurang mahal ya?" Ayah bergumam sebentar, "tiga kali lipat bagaimana? Kalau deal, mulai malam ini boleh tinggal di sini." Pak Prima mengangguk. "Deal, Pak. Boleh minta nomor rekeningnya? Biar saya transfer sekarang." Ini letak musibahku. Musibah yang akan terjadi berturut-turut selama satu bulan. Semangat aku, semangat Keyra. Setelah Ayah mendapatkan transferan uang, pria itu pergi ke dalam rumah, sedangkan aku masih terpaku berada di sini bersama Pak Prima. "Halo, Keyra," Pak Prima tersenyum, "kerja sama di kampus sudah cukup baik. Saya minta juga kerja samanya di rumah ya." Aku enggak menjawab. Aku memilih berbalik badan dan pergi meninggalkannya. My lecture, My housemate. Cobaan. Cobaan. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

My Secret Little Wife

read
96.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook