bc

Istri Yang Kucampakkan

book_age16+
271
FOLLOW
1.3K
READ
HE
badboy
sensitive
kickass heroine
drama
bxg
office/work place
secrets
like
intro-logo
Blurb

Aku menikahinya hanya karena terpaksa. Jadi, untuk apa aku peduli dengannya. Aku benci dia!

Rani harus berjuang membuat suaminya, Fatih, berubah mencintainya. Sejak awal pria itu sangat membencinya karena masalah keluarga mereka.

chap-preview
Free preview
Menyebalkan
"Apa? Papa mau nikah lagi?" Tubuh Fatih seketika meremang. Kepalanya berdenyut nyeri, ditambah rasa panas membakar dadanya. Kedua tangan Fatih pun mengepal seolah siap melayangkan tinju kepada lelaki yang baru saja menalak mamanya pekan lalu. "Iya, Fatih. Papa akan menikahi Bu Erika, Ibunya Rani. Mereka akan tinggal di sini, bersama kita." Bram mengulas senyuman. Tangannya terayun menyentuh pundak Fatih, berharap dia akan menganggap Rani seperti adiknya sendiri. Rani dan ibunya hanya bisa menunduk. Berdiri di tempat pertama kali kedua kakinya menjejak bumi kota Jakarta, di depan rumah Fatih. Rani baru saja mengetahui kalau Fatih, teman satu kampusnya adalah calon saudara tiri. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tinggal satu atap nanti. Begitu pula bu Erika, ia gugup sampai-sampai tubuhnya gemetaran. Ia menggigit bibirnya karena takut Fatih tidak akan bisa menerimanya. Wanita mantan pembantu paruh waktu itu paham betul bagaimana sifat Fatih. "Tidak. Papa jahat! Papa baru saja bercerai dengan Mama. Kenapa sekarang cepat sekali mau menikah? Apalagi dengan wanita itu." Fatih menatap tajam ke arah Erika. Dadanya naik turun tak dapat mengatur lagi udara yang keluar masuk paru-parunya, sakitnya seperti menusuk hingga ke ulu hati. "Fatih, dengarkan Papa! Papa adalah sahabat baik almarhum Pak Santoso. Beliau masih ada hutang dengan orang, apalagi Bu Erika sekarang menjanda masih harus membiayai Rani yang belum lulus kuliah, sama sepertimu." Bram mencoba membujuk putranya dengan pemahaman. Ia tidak ingin terpancing emosi lagi. Sama seperti tempo lalu saat ia dan Melania tengah berdebat. Fatih tiba-tiba ikut campur dan membuat Bram melayangkan tangannya pada pipi Fatih. "Sampai kapan pun, aku tidak akan menerima dia sebagai ibuku! Dia itu pembantu, tempatnya itu di belakang. Bukan malah menjadi pengganti mama." Fatih Nabhan, dua 27 tahun dengan perangai kasar pergi begitu saja setelah membanting bola basketnya tepat di depan mereka. Bram menghela napas panjang melihat kelakuan putranya. Ia tak enak hati pada dua wanita di sampingnya. Mendadak rasa bersalah mencuat ketika ingat pesan-pesan sahabatnya sebelum meninggal. Bram merasa berat dengan amanah tersebut, tetapi ia terlanjur mengiyakan. "Maafkan Fatih, Erika, Rani. Dia memang masih labil. Kalian yang sabar, ya. Insyaallah, saya akan membujuknya lagi." Rani dan ibunya saling melempar pandangan. Bukan itu yang mereka pikirkan. Akan tetapi, bagaimana dengan rentenir yang nanti sore akan datang menagih sejumlah uang dan menyita rumah mereka. "Tidak apa-apa, Pak Bram. Saya dan Rani akan mencari pekerjaan lain saja. Mengenai amanah suami saya, jangan khawatir. Anda tidak perlu melaksanakannya. Kami pamit undur diri dulu," ucap Erika dengan bibir bergetar. "Assalamualaikum." Wanita paruh baya itu kian hari kian kurus. Tubuhnya seolah dimakan oleh pikiran berat tentang hutang sang suami. Begitu juga dengan kuliah Rani yang tinggal selangkah lagi. Sayang, jika tiba-tiba berhenti di tengah jalan. "Tunggu!" cegah Bram. Lelaki dengan setelan jas mewah itu mengangkat tangannya agar mereka berhenti. Rani dan ibunya mengurungkan langkah. Mereka ragu untuk menoleh ke belakang. Mereka tak ingin semakin banyak berhutang budi pada keluarga Bramantyo. Rani terus memegang tangan ibunya hingga keringat dingin semakin mengucur dari pori-pori. "Tunggu sebentar!" Bram mengulangi perkataannya. "Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya. Kalian tidak perlu takut atau sungkan. Saya sudah berjanji kepada pak Santoso akan menjaga kalian. Kalau ini jangan menolak!" Bram meraih sesuatu dari dalam saku jas lalu menyerahkannya pada Rani sebuah amplop putih. "Terima kasih, Pak Bram. Kami pulang dulu," balas Erika dengan nada berat. Ia ingin segera pergi dari sana. Tak kuasa melihat Fatih yang mengintip dari balik pintu. Ia juga tak ingin menjadi beban keluarga Fatih. Bram menatap iba pada mereka. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah setelah Rani dan ibunya lenyap dari pandangan mata. Fatih yang melihat Papanya hendak masuk, segera pergi ke kamarnya. Ia tersenyum sinis karena mereka tak jadi menikah. Di belahan bumi sebelah sana, Rani menatap langit gulita bertabur bintang dengan kedua mata berkaca-kaca. Bayangan samar Santoso terlihat diantara cahaya-cahaya kecil di atas sana. Lelaki tua yang tak pernah sekalipun membentaknya semasa hidup. Senyum dari wajah keriput bapaknya seperti tampak begitu nyata. Kedua kaki Rani tertelungkup sementara tangannya mengusap wajah kemudian. "Pak, kenapa secepat ini? Kenapa, Bapak, tidak menunggu Rani wisuda dulu?" Seolah tak terima takdir yang telah tertulis, Rani menumpahkan seisi dalam hatinya pada malam sunyi. "Ran." Erika menyentuh pundak putrinya. Wajah sendu tampak pula pada wajah wanita itu. "Ikhlaskan kepergian Bapak. Kasihan Bapak kalau kamu terus meratapinya." Hati Erika perih menyampaikan kalimat itu. Namun, pada kenyataannya ia harus tetap berdiri menjadi peran orangtua tunggal. Belum lagi kalau Anggi pulang dari Surabaya, dari tempat Budenya nanti. Erika semakin dilema. "Iya, Bu. Kita sama-sama doakan Bapak." Rani lantas menutup kembali jendela dan merebahkan kepalanya di atas bantal usang peninggalan Santoso. Pagi itu, suasana kampus terlihat sangat padat, pendaftaran mahasiswa baru telah dibuka. Rani berjalan dengan setengah melamun. Ia memikirkan cara agar bisa kerja sambil kuliah. Sejauh lamaran yang ia ajukan sama sekali belum ada panggilan. Seseorang dengan sengaja menyenggol bahunya secara kasar. Rani tersungkur hingga terjatuh. Ia meringis karena lututnya membentur keras pada lantai. Ketika gadis itu mendongak, seorang lelaki muda dengan ransel hitam tersenyum licik dan segera pergi. Seolah mengejek Rani, lelaki itu membuang ludah ke samping. "Dasar si Fatih," lirih Rani. Gadis itu hendak berdiri, tetapi tiba-tiba sebuah tangan terulur. Rani mendongak dan mendapati Arfan, pria paling tampan satu kampus mengulum senyuman padanya. "Ayo!" Arfan mempertegas maksudnya. Rani mendadak gagu. Bukan kali pertamanya Arfan bersikap baik dan perhatian seperti ini. Padahal, di sebelah kanan kiri gadis itu, banyak mahasiswa yang berdiri dan hanya menatap biasa. "Terima kasih, Mas," ucap Rani. Ia tampak malu-malu ketika Arfan masih terus memindainya lekat. "Sama-sama. Aku antar pulang, ya." Mahasiswa senior itu masih berjongkok, menunggu sang gadis hingga berdiri tegak. "Aku bisa pulang naik angkot, Mas." Rani menata kembali buku-bukunya yang tadi berserakan. Arfan pun ikut membantunya. "Kalau begitu, ke kantin sebentar, yuk! Siang ini panas sekali. Kita minum es dulu di sana," ujar Arfan lagi. Kali ini Rani tak menolak. Mereka berjalan ke arah samping kampus yang terlihat pedagang dengan jejeran makanan dan minuman instan. Mereka tak tahu, jika di balik dinding sejak tadi seseorang tengah menguping sambil memukul tembok bercat putih tempatnya menyandarkan tubuh. Melihat Rani bahagia, rasanya tak rela. Apalagi dengan Arfan. "Iya, Bu. Ada apa?" Rani terperanjat ketika mendapat panggilan telepon dari ibunya. Gadis dengan jilbab abu tua itu gemetaran. Hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. Tak lama setelah itu, buliran bening luruh membasahi pipinya yang semu kemerahan. "Ada apa, Ran? Kenapa dengan Ibumu?" tanya Arfan. Ia panik melihat Rani terpaku menatap jauh. Arfan segera berdiri dari duduknya di kantin. Lelaki itu melihat wajah Rani mendadak pucat. "Aku harus pulang, Mas. Ibu dalam keadaan bahaya." Sembari terus mengusap wajahnya, Rani kembali meraih buku-bukunya di meja. Ia ingin buru-buru sampai di rumah. "Aku antar, ya? Jangan menolak! Menunggu angkot bakalan lama." Arfan berlari mengejar Rani yang lebih dulu di depan. Rani gelisah. Ia terus bergumam, mengeluh karena angkutan umum tak kunjung datang. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di pinggir jalan, tempat Rani mencegat kendaraan yang setiap hari ia naiki. "Ayo, naik! Kamu ingin segera sampai di rumah, kan?" teriak Arfan dari dalam mobil setelah membuka kacanya. Tak punya pilihan, akhirnya Rani menerima ajakan Arfan. Mobil melaju dengan segera, sementara seorang lelaki yang sama mengintai dari mobil miliknya sendiri. Ia memukul bagian setir melihat kedekatan Rani dan Arfan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook