bc

Me and Rain

book_age18+
3.7K
FOLLOW
37.1K
READ
love-triangle
family
friends to lovers
submissive
goodgirl
bxg
campus
office/work place
betrayal
sisters
like
intro-logo
Blurb

Riana, 19 tahun, seorang mahasiswi cantik di sebuah Universitas ternama di kotanya, harus menerima ketidak adilan dari kedua orang tuanya semenjak ia kecil. Ia meminta kedua orang tuanya untuk menjelaskan kepadanya, mengapa mereka memperlakukannya berbeda dengan kakaknya.

Hati Riana semakin sakit, saat Aryo, sahabat sekaligus kekasihnya mengkhianati kepercayaannya dengan selingkuh. Aryo selingkuh dengan kakak kandung Riana.

Akankah Riana bertahan dengan semua luka yang ditorehkan orang-orang terdekatnya?, ataukah ia pergi membawa luka hatinya?

HEYU GRAPHIC

chap-preview
Free preview
Hujan dan Luka
Pagi ini, lagi dan lagi Riana merasakan kesakitan di hatinya. Hati dan pikirannya berontak ingin terlepas dari penderitaan yang menjadi teman akrab dalam hidupnya. Mengapa orang-orang terdekat dalam hidupnya sangat suka menorehkan luka di hatinya. Sekarang orang yang dicintainya, pria yang telah menjadi tempat menitip separuh hatinya pun ikut-ikutan menorehkan luka. Di bawah guyuran hujan lebat, Riana, gadis cantik berusia 19 tahun yang baru saja duduk di semester 3 sebuah Universitas swasta di kota kelahirannya, berjalan dengan langkah gontai. Hatinya bagaikan dicabik-cabik, di saat Ia memerlukan topangan semangat dari pria pemilik hatinya semenjak Ia duduk di kelas X, sang pemilik hati malah turut menambah luka tak berdarah di hatinya. Aryo, 22 tahun. Pria tampan dengan tinggi 180 cm, yang bekerja di perusahaan keluarganya dan menjabat sebagai manajer keuangan di PT. Pelita. Telah berhasil mengoyak-ngoyak kepercayaan Riana dan mengikis habis rasa percaya Riana, akan namanya kebahagiaan. Perbuatan Aryo tak termaafkan dan membuatnya menjadi terluka begitu dalam. Orang yang dipercaya mampu mengobati rasa luka di hatinya, akibat perlakuan keluarganya yang tidak adil kepadanya. Kini, ikut menyumbang kepedihan dalam hidupnya. Dengan langkah tertatih, Riana berjalan pulang menuju ke rumahnya. Tak dipedulikannya guyuran air hujan yang turun lebat membasahi tubuhnya. Bahkan suara petir yang menggelegar pun tak dihiraukannya sama sekali. Begitu pun tatapan orang-orang di sepanjang jalan yang dilaluinya tak Ia hiraukan. Ajakan orang-orang yang melihatnya untuk berteduh hanya diacuhkannya. Hujan yang turun membuat air mata Riana yang mengalir deras tidak terlihat, pun dengan sura isakannya tersamarkan oleh derasnya rintik hujan yang turun disertai suara petir yang menggelegar membelah langit. Hujan benar-benar menjadi sahabat Riana saat ini. Setelah menempuh perjalanan yang terasa begitu lama dengan berjalan kaki menuju ke rumahnya, Riana sampai di depan pagar rumahnya. Di bukanya pintu gerbang pagar rumah yang tinggi dan tertutup. Menghalangi pandangan orang-orang luar untuk melihat ke balik pagar rumah. Riana meneruskan langkahnya, hingga Ia sampai di depan pintu rumah. dimasukkannya anak kunci ke dalam lubangnya, pintu pun terbuka dan Riana masuk ke dalam rumah. Hanya keheningan yang menyambut kedatangan Riana di rumah dengan arsitektur modern dan sangat mewah. Riana sudah sejak lama berhenti berharap setiap kepergian dan kedatangannya akan disambut diiringi dengan senyum hangat dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Rumah dengan penghuninya yang mengasingkan dirinya, menganggapnya ada. Namun, tiada. Melihat kehadirannya, akan tetapi mengacuhkan hadirannya. Tiada kehangatan yang Riana dapatkan saat berada di dalam rumah ini, hanya air mata dan luka yang Riana rasakan, atas sikap tidak adil kedua orang tuanya kepadanya. Perlakuan kedua orang tuanya dengan kakaknya sangat lah berbeda. Kakaknya mendapatkan perhatian dan kasih sayang mereka secara berlebih, sementara dirinya hanya mendapatkan sedikit kasih sayang yang tersisa dari mereka. Bahkan, hanya amarah lah yang diterimanya dari kedua orang tuanya. Terkadang Riana bertanya-tanya, apakah dirinya hanyalah seorang anak angkat, sehingga mereka memperlakukannya berbeda. Meski dirinya hanyalah seorang anak angkat, seharusnya mereka juga memberikan kasih sayang yang sama, seperti anak kandung mereka bukan?” Saat Riana mencapai pertengahan anak tangga, ibunya, Wati wanita paruh baya yang berumur 50 tahun. Wanita yang mengatakan dirinya adalah ibu Riana, akan tetapi perlakuannya sama sekali tidak mencerminkan perlakuan seorang ibu kepada anaknya menegur Riana dengan keras. “Dari mana saja Kamu!, masuk ke dalam rumah dengan pakaian basah kuyup, seperti itu. Kau ini hanya mengotori lantai rumah saja.” Bentak Wati kasar. Riana membalikkan badannya, ke arah ibunya, ditatapnya ibunya dengan tatapan yang nanar, “Ibu pasti senang bukan, kalau melihat Aku menderita. Sebenarnya salah Aku apa sama kalian semua, sampai kalian begitu membenci ku.” Ucap Riana sambil menuruni anak tangga menghampiri ibunya. Begitu berdiri dihadapan ibunya, dengan berani Riana mengguncang pelan pundak ibunya. Dengan air mata yang setia membasahi wajahnya, Riana bertanya kepada ibunya dengan suara yang serak, akibat terlalu banyak menangis. “Tolong, katakan kepadaku, Bu. Apa yang sudah kulakukan sampai kalian memperlakukan begitu berbeda dengan Kak Dena?, apakah Aku hanya anak pungut saja?” Akhirnya Riana berani juga menanyakan pertanyaan yang selama ini hanya bersemayam di benaknya. Wati tergugu di tempatnya berdiri, Ia tidak mengira kalau putri bungsunya akan berani bertanya secara langsung kepadanya. Wati dapat melihat tatapan terluka di wajah cantik putrinya. Riana, memang putri kandungnya dan dirinya juga suaminya dengan sadar memperlakukan Riana berbeda dengan kakaknya Dena, 22 tahun. Wati, melepas pegangan tangan Riana di pundaknya dan didorongnya Riana, hingga Ia terjatuh di lantai keramik yang dingin. Wati menutupi kegugupannya dan rasa bersalahnya kepada sang putri dengan bentakan kasar. “Berani Kamu dengan Ibu, wanita yang sudah melahirkanmu. Kamu mau jadi anak durhaka dengan Ibu?” Riana mendongak menatap ibunya, dengan suara lirih Ia berkata, “Aku sudah berusaha untuk menjadi anak yang baik, untuk menarik perhatian dan mendapatkan kasih sayang dari kalian semua. Namun, apakah kalian memberikan sedikit saja kasih sayang kalian untukku, seperti yang kalian berikan kepada Kak Dena. Aku iri dengan Kak Dena yang mendapatkan kasih sayang dan perhatian berlebih dari kalian. Sementara Aku, hanya mendapatkan kemarahan dan sasaran emosi kalian.” Tepat saat Riana mengucapkan kalimat tersebut, pintu rumah orang tuanya terbuka dan dua orang yang baru saja menambah luka tak berdarah di hati Riana terpaku di tempat mereka berdiri. Aryo menatap tubuh sang kekasih yang terduduk di dinginnya lantai keramik dengan bersimbah air mata. Aryo merasa sangat bersalah mendengar kalimat Riana barusan, Dia yang dipercaya Riana sebagai seorang kekasih yang dapat mengobati luka hatinya, hari ini justru menambah luka baru di hati gadisnya. Gadis yang masih menjadi pemilik hatinya, akan tetapi hari ini, ia telah menghancurkan hati gadis yang dicintainya menjadi berkeping-keping. Riana melihat ke arah Aryo,mata coklat miliknya beradu dengan netra hitam milik Aryo. Riana membiarkan Aryo melihat luka di matanya, tak ditutupinya rasa sakit atas penghianatan yang dilakukan sang kekasih, pemilik hatinya. Matanya beralih menatap ke arah wajah kakaknya, Dena. Dapat dilihatnya senyum sinis terukir di wajah cantik milik Dena. “Tentu saja, ibu dan ayah lebih menyayangi diriku, karena aku penurut dan aku mau mendengarkan semua nasihat mereka. Sementara kau jtu hanyalah gadis nakal yang suka membuat ulah. Bahkan kekasihmu pun berpaling darimu, karena Ia tidak suka dengan sikap barbarmu dan juga semua sikap dirimu yang kekanakkan. Aryo mengepalkan kedua tangannya, Ia tidak suka Dena menyudutkan Riana, karena dirinya sangat mengenal gadisnya, Riana. Riana sama sekali tidak seperti yang dituduhkan oleh Dena. Wati terkejut di tempatnya berdiri, Ia memang mengenal Aryo sebagai kekasih Riana. Betapa terkejutnya, Ia saat mendengar kalau Aryo mengkhianati Riana dengan Dena. “Inikah yang menyebabkan Kau rela hujan-hujanan, Nak. Apakah Kau melihat secara langsung pengkhianatan kekasihmu dengan kakakmu sendiri?” Monolog Wati dalam hatinya. Riana berdiri dari duduknya, ditatapnya mereka bergantian, “Kehadiran diriku memang tidak dianggap di rumah ini, bukan. Kalian semua tidak peduli dengan diriku, bukan. Kurasa kalian semua lebih baik tanpa kehadiran Ku bukan. Tenang saja, Aku akan menghilang dari hadapan kalian semua untuk selama-lamanya.” Mendengar ucapan Riana, Wati dan Aryo terkejut. Aryo begitu panik, dirinya takut kalau Riana bertindak nekat dan akan membunuh dirinya sendiri. Tanggapan berbeda justru datang dari Dena, kakak kandung Riana. “Syukurlah, kalau akhirnya kau sadar juga, kalau kehadiranmu di rumah ini tidak ada artinya sama sekali.” Cemooh Dena kepada Riana. “Sayang, ku mohon jangan bertindak nekat. Maafkan Aku yang sudah melukaimu.” Mohon Aryo kepada Riana dengan suara gugup dan panik. Riana menatap nanar mereka semua, “Kalian tidak perlu khawatir, Aku tidak akan melukai diriku sendiri, apalagi sampai bunuh diri. Aku terlalu menghargai hidupku dan tidak akan kusia-siakan dengan meratap lagi. Aku hanya akan pergi jauh dari sini dan tak akan kuingat lagi kalian dalam hidup Ku.” Riana membalikkan badannya dan dinaikinya kembali anak tangga dengan perlahan, tubuhnya terasa lelah dan lemas. Namun, tak akan diperlihatkannya kepada mereka di bawah tangga yang menatap langkahnya dengan rasa iba, kasihan dan rasa bersalah di hati mereka. Begitu memasuki kamarnya, Riana masuk ke dalam kamar mandi dan dinyalakannya shower. Dibiarkannya dinginnya air shower mengguyur tubuhnya. Air matanya bercampur dengan air yang mengalir dari pancuran, Riana duduk sambil menekuk lututnya di dinginnya lantai kamar mandi. “Ya Allah, kuatkan Hamba-Mu yang lemah ini, biarkan hamba mendapatkan sedikit kebahagiaan di dunia yang fana ini.” Rintih Riana pilu. Merasakan tubuhnya yang menggigil kedinginan, Riana pun menyudahi mandinya, dimatikannya shower dan diambilnya bathrobe yang tersampir di gantungan dinding kamar mandi. Riana segera naik ke atas tempat tidurnya dan di tutupinya badannya yang menggigil kedinginan dengan selimut. Riana tertidur hingga malam, tanpa ada seorang pun yang peduli dan mengusik tidurnya untuk mengajaknya makan siang hingga makan malam yang terlewat begitu saja. Riana terbuai dalam alam mimpi dengan kondisi badan yang panas tinggi. Riana membolak-balikkan badannya dengan gelisah. Suhu tubuhnya terasa panas dalam tidurnya Riana mengigau memanggil-manggil ibunya mencari kasih sayang. “Ibu…ibu…Riana kangen ibu!” berulang-ulang Riana dalam igauannya memanggil ibunya, wanita yang Riana harapkan mampu memberikan kasih sayang kepadanya. Sementara itu, Wati di dalam kamarnya tidak dapat tidur nyenyak, masih terbayang di benaknya tatapan terluka dari Riana. Permintaannya untuk mendapatkan hak yang sama dengan kakaknya. Hak untuk mendapatkan perhatian dan kasih yang sama dari dirinya, sebagai ibu dan juga dari suaminya, ayah kandung Riana. Suwito, 52 tahun, ayah kandung Riana terbangun dari tidurnya, karena istrinya yang bergerak gelisah di atas tempat tidur mereka. “Kenapa sih, Mah. Dari tadi gerak terus, kenapa gak bisa tidur, apa yang menggangu pikiran Mamah?” “Tadi pagi Rania pulang dengan keadaan basah kuyup. Kau tahu, Mas. Riana menanyakan kepadaku. Mengapa kita memperlakukannya berbeda dari kakaknya Dena. Riana menuntut perlakuan yang sama, seperti yang kita berikan kepada Kakaknya.” “Ah, sudahlah Mah!, tidak usah dipikirkan apa yang dikatakan oleh Riana. Anak itu hanya pembawa masalah saja.” “Aku merasa bersalah, kepada Riana, Mas. Sebagai seorang Ibu, Aku sudah memperlakukannya dengan tidak adil. Aku dan Kau, Mas sudah membuat Riana menderita semenjak kecil dengan perlakuan berbeda yang kita berikan kepadanya.” “Hari ini, Riana memergoki kalau Aryo, kekasihnya berselingkuh dengan Dena. Kau tahu, Mas. Aku merasakan sakit yang dirasakan oleh Riana, sebagai ibunya Aku hanya diam saja, tidak sedikit pun melakukan pembelaan untuk Riana dari kakaknya yang sudah merebut kekasihnya.” Urai Wati dengan air mata membasahi pipi mulus miliknya hasil perawatan yang mahal dan rutin di salon. “Bahkan, Aku dengan teganya tidak membangunkannya untuk makan siang dan makan malam. Apakah Riana baik-baik saja di dalam kamarnya?, atau kah dia sakit di dalam kamarnya, sebagai ibu kandungnya, Aku sama sekali tidak peduli.” Isakan Wati semakin kencang. “Ibu macam apa, Aku ini Mas, yang memperlakukan anak kandungnya sendiri dengan jahat.” Suwito memeluk tubuh ramping istrinya. Dielusnya punggung istrinya dengan mesra, “Ya, sudah. Ayo, kita lihat Riana di kamarnya, biar Kamu bisa tenang dan dapat tidur kembali dengan nyenyak. Wati dan Suwito pun bangkit dari atas tempat tidur menuju ke kamar Riana. Dapat keduanya dengan suara rintihan Riana dari balik pintu yang tertutup. Dengan cepat Wati membuka pintu kamar Riana dan mereka lihat, Riana bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidurnya. Wati dan Suwito menghampiri Riana yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Wati meraba kening Riana, dapat dirasakannya suhu tubuh Riana yang sangat tinggi. “Mas, Riana demam, suhu tubuhnya tinggi sekali. Apa perlu kita panggil dokter?” “Mas, akan menghubungi dokter keluarga kita, dokter Cipto, agar datang untuk memeriksa kondisi Riana.” Wati ke luar dari kamar Sarah dan berjalan menuju dapur. Ia mengambil baskom yang kemudian diisinya dengan air hangat untuk mengompres Riana. Suwito menatap wajah cantik putrinya, “Maafkan Ayah, nak. Sudah berlaku tidak adil kepadamu. Namun, ayah dan ibu memiliki alasan mengapa kami memperlakukan kamu berbeda dengan kakakmu. Kami mendidikmu agar menjadi gadis yang kuat dan tangguh, serta tidak lemah. Kami berharap suatu saat nanti Kau akan mengerti alasan dibalik semua perlakuan kami kepadamu dan Ayah harap Kau bisa menerima alasan sikap buruk kami kepada mu selama ini. Suwito mengelus surai hitam milik putrinya, tindakan yang hampir-hampir tidak pernah dilakukannya di saat Riana sadar. Betapa banyak Ia dan istrinya melewatkan pertumbuhan dan perkembangan Riana dari kecil hingga sekarang. Mereka dengan sengaja melakukannya, bahkan mereka pun memperlihatkan ketidak pedulian mereka kepada Riana dihadapan keluarga besar dan rekan bisnis, serta teman-teman mereka tanpa ditutup-tutupi. Wati masuk kembali ke dalam kamar Riana, Ia duduk di atas kasur di samping Riana. Diperasnya handuk kecil yang sudah dimasukkannya ke dalam baskom yang berisi air hangat. Wati meletakkan handuk kecil tersebut ke atas kening Riana. Wati menatap wajah cantik putrinya, “Maafkan Ibu, yang belum dapat menjadi ibu terbaik dan bersikap adil untuk mu. Jauh di lubuk hati Ibu, Ibu sangat menyayangimu. Ibu juga terluka dengan sikap Ibu kepadamu. Namun, ini semua Ibu lakukan demi kebaikan dirimu.” Riana terbangun dari tidurnya, ditatapnya kedua orang tuanya yang ada di kamarnya dengan keheranan. Sungguh suatu kejutan kedua orang tuanya mau masuk ke dalam kamarnya. Ada rasa bahagia yang membuncah di d**a Riana. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya dengan warna merah alami tanpa tersentuh lipstick. “Terima kasih, Ayah dan Ibu mau datang ke kamar Riana, Riana sayang Ayah dan Ibu. Riana meraba keningnya yang ditempeli handuk kecil untuk mengompres kepalanya. “Terima kasih, Riana senang ternyata Ayah dan Ibu peduli dengan Riana.” Suwito membentak Riana dengan kasar, “Dengar, ya!. Kamu jangan besar kepala. Ayah dan Ibu datang ke kamar Mu, karena kami merasa terganggu dengan suara igauanmu yang begitu kencang. Itu sebabnya Kami masuk ke dalam kamar Mu. Kami melakukannya demi kenyamanan kami yang terganggu dengan suara teriakan Mu yang mengusik tidur nyenyak Kami.” Suwito menatap garang ke arah Riana, sementara yang ditatap menggigit bibirnya menahan isakan yang hampir lolos dari bibir tipis berwarna merah muda alami tersebut. Hatinya yang sempat merasa senang atas kedatangan kedua orang tuanya ke kamarnya menjadi mencelos, bagaikan balon besar yang ditusuk dengan jarum hingga kempes. Riana menatap nanar kedua orang tuanya, hatinya begitu sakit. Sakit yang dirasakan tubuhnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit yang dirasakan hatinya. Mereka telah memadamkan sedikit harapan di hati Riana, kalau dirinya akan merasakan, meski sedikit saja kasih sayang dari kedua orang tuanya. Menutupi luka di hatinya yang terus menganga, Riana mengusir kehadiran kedua orang tuanya dari kamarnya, “Kalau begitu, mengapa kalian masih ada di kamar Saya. Silahkan kalian ke luar!” Riana menunjuk pintu dengan tangan kanannya mengisyaratkan kedua orangtuanya agar segera ke luar. Sungguh Riana tidak bermaksud untuk bersikap kasar kepada kedua orang tuanya. Namun, Ia tidak mau mereka melihat air matanya turun. Wati dan Suwito berdiri dari duduk mereka di atas kasur Riana dan beranjak ke luar. Saat mencapai pintu kamar Riana, Suwito berbalik dengan tatapan yang sulit dimengerti oleh Riana. “Kau tidak akan pernah mengerti, mengapa kami melakukan semua ini kepada Mu.” “Kalau begitu, buat Aku mengerti!, mengapa kalian memperlakukan Ku dengan tidak adil!” Teriak Riana kepada kedua orang tuanya. Suwito dan Wati bergeming mendengar teriakan Riana, mereka melanjutkan langkahnya meninggalkan Riana sendirian di dalam kamarnya. Riana menangis, tatapan matanya terasa kosong, “Mengapa kalian tidak mau memberikan pengertian, atas semua perlakuan tidak adil kalian kepadaku. Mengapa…!.” Riana terisak dengan suara yang menimbulkan rasa iba bagi orang yang mendengarnya. Diantara isakan tangisnya, Riana mendengar suara pintu kamarnya dibuka perlahan. Tanpa mengangkat wajahnya, Riana berucap kasar. “Mau apalagi kalian?, belum cukup kalian mematikan harapanku untuk mendapatkan kasih sayang dari kalian.” Namun, ucapan Riana tidak mendapat tanggapan sama sekali, hanya suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya yang terdengar. Riana yang penasaran, kenapa kedua orang tuanya hanya diam saja. Riana merona malu, saat menyadari orang yang berdiri dihadapannya, bukanlah kedua orang tuanya.” “Tidak apa, tidak perlu malu. Luapkan saja kesedihan dan kekesalanmu, jangan Kau tahan. Aku dokter pribadi keluargamu. Tadi, ayah Mu menghubungiku dan mengatakan kalau putrinya demam tinggi. Ku pikir, putri yang dimaksudnya adalah Dena. Namun, dugaan Ku salah. Ternyata putri yang dimaksud olehnya adalah kau, Riana. “Apakah, Anda kecewa, dok?, orang yang harus Anda periksa bukanlah putri kesayangan keluarga Adibrata yang terhormat?” ‘Tidak, Saya sama sekali tidak merasa kecewa. Saya merasa senang untuk merawat semua pasien Saya, termasuk Kamu. Sekarang ijinkan Saya untuk memeriksa mu.” Dokter Cipto pun mendekat ke arah Riana. Diceknya suhu tubuh Riana yang di atas 39°C. Suhu tubuhmu panas sekali, Saya meresepkan obat penurun panas untukmu. Ini minumlah, obat penurun panas.” Dokter Cipto menyerahkan sebutir tablet penurun panas untuk diminum oleh Riana. Dokter Cipto juga menulis di secarik kertas, entah apa yang ditulis oleh dokter itu, Riana tidak peduli. Riana mengambil gelas berisi air minum yang ada di atas nakas, di samping tempat tidurnya dan dengan cepat Riana meminum obat yang diberikan dokter Cipto. Selesai minum obat Riana merebahkan badannya kembali ke atas tempat tidur. Dokter Cipto meninggalkan kamar Riana, dia tidak habis pikir dengan kedua orang tua Riana yang memperlakukan kedua putrinya dengan berbeda. Begitu ke luar dari kamar Riana dan menutup pintu kamarnya dengan perlahan, dokter Cipto disambut dengan pertanyaan dari pasangan suami istri Adibrata. “Kenapa dengan putri kami?, dia hanya demam biasa saja, ‘kan?” Dokter Cipto tersenyum ke arah keduanya. Putri kalian hanya demam biasa saja, Aku sudah memberikan obat penurun panas untuk diminum olehnya. Ini, resep obat yang harus kalian tebus di apotik untuk Riana minum,” ucap dokter Cipto sambil menyerahkan kertas berisi resep obat untuk Riana. “Terima kasih, sudah mau datang malam-malam. Kami akan menebusnya nanti, mari Saya antarkan Anda, sampai pintu depan Dok.” Tawar Suwito kepada dokter Cipto dan mengajaknya menuruni tangga menuju lantai satu bersama-sama. Dokter Cipto membuka pintu rumah keluarga Adibrata, “Sebelum pergi, Saya mau mengatakan sesuatu. Sebagai dokter pribadi keluarga Mu dan juga sahabatmu. Aku meminta kepadamu, agar lebih perhatian lagi kepada Riana, kasihan gadis itu. Dia merasa tertekan, sudah saatnya Kau dan istri mu memperlakukan Riana sama seperti perlakuan kalian kepada Dena.” “Terima kasih, Dok atas sarannya. Sayangnya kami tidak memerlukan saran dari orang lain, atas apa yang kami lakukan kepada anak-anak kami.” Geram Suwito yamg tidak terima urusan rumah tangganya dicampuri. Menyadari kemarahan Suwito kepadanya yang telah ikut campur dalam urusan pribadi keluarganya, dokter Cipto meminta maaf dan berlalu ke luar dari kediaman Adibrata yang tampak sunyi dan terkesan dingin. Tanpa adanya kehangatan dan kasih sayang untuk salah seorang putri keluarga Adibrata. Sementara itu Riana, sepeninggal dokter Cipto dari kamarnya kembali merebahkan badannya. Efek dari obat yang diminumnya, membuat dirinya tertidur dengan lelap. Menjelang subuh Riana terbangun dari tidurnya, Riana bergegas turun dari tempat tidur dan menuju walk in closet. Dimasukkannya beberapa potong pakaiannya ke dalam tas ransel. Tak lupa Riana memasukkan dokumen-dokumen resmi miliknya, seperti ijazah yang akan digunakannya untuk mencari pekerjaan di tempatnya yang baru nanti. Riana membuka pintu kamarnya dengan perlahan dan menutupnya kembali juga dengan perlahan. Riana tidak takut ulahnya terpergok kedua orang tuanya, toh mereka tidak akan peduli sama sekali dengan dirinya. Riana menuruni tangga menuju ke lantai bawah, sesampainya di bawah dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 05.30 pagi. Riana bergegas menuju pintu dan Ia bersyukur, kedua orang tuanya yang terlupa mencabut anak kunci dari lubangnya. Begitu tiba di luar kediaman kedua orang tuanya, Riana merentangkan kedua tangannya dan berseru pelan, “Selamat tinggal kesedihan dan selamat datang kebahagiaan.” Wajah pucat Riana tampak tersenyum merasa bahagia, karena dapat terbebas dari perlakuan tidak adil kedua orang tuanya. Riana merasa yakin di luar sana Ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak pernah didapatkannya di dalam rumah mewah bak istana milik kedua orang tuanya. Sementara itu, di apartemen mewah miliknya. Aryo duduk di balkon kamarnya, dihisapnya rokok yang sudah lama ditinggalkannya, karena gadis yang dicintainya tidak suka melihat Ia merokok. Kini, setelah bulan-bulan panjang tanpa rokok, Aryo kembali pada kebiasaan buruknya. Dibiarkannya kegelapan menyelimuti balkon kamarnya, dinginnya udara malam bekas hujan yang melanda seharian pun tak dihiraukannya. Rasa bersalah memuncak di dadanya. Ia telah mengkhianati kepercayaan dari kekasihnya. Namun, kini Ia telah menjadi salah satu orang yang turut menyumbangkan luka di hati gadis kecilnya. “Argh!, bodoh Kau Aryo…Kau benar-benar bodoh. Ya, Tuhan, apa yang sudah kulakukan. Mengapa Aku tega menyakiti gadis mungil Ku, “I’m sorry my little Princess, please forgive me.” Lirih suara Aryo dikeheningan malam balkon kamarnya. Tanpa dirasa Aryo, air mata turun membasahi pipinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook