bc

No Longer in Love

book_age18+
1.0K
FOLLOW
3.9K
READ
revenge
dark
possessive
arrogant
independent
drama
tragedy
betrayal
cheating
first love
like
intro-logo
Blurb

"Saya tidak bisa memberimu anak karena memang tidak bisa!" jawab Eden keras.

Aksa balas membentak, "Lihatlah rumah ini, Eden. Lihat! Karena kegagalanmu, kita dikutuk untuk menghuni rumah besar yang sunyi ini!"

Malam itu semuanya terasa hambar dan... salah. Salah karena seharusnya ia melakukannya dengan orang yang ia cintai dan mencintainya. Di antara keduanya hanya sebatas ikatan pernikahan di atas kertas. Setelah selesai, Aksa meninggalkannya dan tak lama suara mobilnya terdengar. Sejak itu keduanya tidak pernah bertemu lagi sampai Aksa mendapat kabar Eden kehilangan bayi yang dikandungnya--yang ia tahu itu bukan anak Aksa.

-Cover by Canva-

chap-preview
Free preview
SATU
"Tidak ada jalan keluar lagi bagi kita." Aksa memandangnya dengan sorotan yang penuh amarah. "Kamu ubah sikapmu atau kita selesai." Usia keduanya sudah hampir mencapai kepala empat. Namun seiringnya berjalannya waktu, tidak ada yang menunjukkan kedewasaan di antara keduanya. Lima belas tahun menikah tidak pula membuat keduanya semakin saling percaya dan mencintai. Sebaliknya, pertengkaran sudah menjadi hal yang biasa di rumah besar itu. Penyebab pertikaian itu macam-macam. Eden, sebagai istri yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada mengurus suami, menyepelekan kemarahan suaminya. Bahkan malam ini saat suaminya mengancam untuk bercerai, Eden hanya duduk manis di meja kerjanya, tidak memedulikan ocehan suaminya. Eden menurunkan matanya ke kertas di atas meja. Dihelanya napas panjang sambil membaca isi kertas itu. My reasons to leave this marriage: 1. January 2017 : My husband insists on having babies 2. March 2017 :My husband doesn't hesitate to yell at me, no matter where we are. 3. June 2017: My husband starts accusing me of cheating. 4. December 2017 : My husband asks me to quit from work. 5. January 2018 : He is barely home, I smell woman's perfume on his suit. 6. January 2019 : Our marriage is dumb. I don't even want to call him "Husband" anymore. "Eden Savara, say something. Saya tahu kamu sedari tadi mendengar saya!" Well, dalam hati Eden bicara sambil menulis di kertas itu. Another reason to leave this marriage, January 2019, he calls me Eden Savara-not sweetheart or merely Eden. Keduanya diam. Sama-sama terlarut pada pikirannya masing-masing. Setengah jam tak bersua, akhirnya Eden turun dari kursinya, berjalan menghampiri suaminya yang berdiri di sudut ruang kerjanya. "Sejak awal kita tahu bahwa keadaannya akan sama saja," kata Eden datar. "Aku tidak akan pernah bisa memberikanmu anak. Dan aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku." "Kenapa? Karena pada dasarnya kamu ingin membangkang suamimu?" Can I just kill him, pikir Eden geram. "Kita tahu kenapa, dan kamu tahu bukan itu alasannya," jawab Eden membalikkan tubuh. Dia tidak mau berdebat lagi. Hari sudah malam dan ia ingin beristirahat. "Don't turn back on me like that, Eden!" bentak suaminya, menarik lengannya hingga tubuhnya berhadapan lagi dengan suaminya. Dan dengan gerakan cepat tangan suaminya mendarat di pipinya. Untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun menikah, Aksa memukulnya. Eden tidak menunjukkan sedih di wajahnya-yang semakin membuat Aksa ingin menyakitinya lebih jauh. Perempuan yang sudah mendampinginya lima belas tahun lamanya tidak pernah terlihat lemah di hadapannya. Hal itu memang menimbulkan rasa kagum, namun kali ini, keberanian perempuan itu seakan menentang egonya sebagai suami dan laki-laki. "Saya tidak bisa memberimu anak karena memang tidak bisa!" jawab Eden keras. Dia begitu lantang bagi seorang yang baru saja disakiti secara fisik. "Dan untuk pekerjaan. Saya bukan berasal dari keluarga kaya sepertimu yang bisa masuk-keluar perusahaan begitu saja. Untuk jadi managing partner di kantor konsultan pajak bukanlah hal yang mudah!" "Then why don't you give a f*****g try?" Aksa balas memarahinya. "Berapa banyak pasangan yang memiliki anak dengan program? Banyak! Kalau kamu mau meninggalkan pekerjaanmu dan fokus untuk memiliki anak, kita bisa punya anak. Lihatlah rumah ini, Eden. Lihat! Karena kegagalanmu, kita dikutuk untuk menghuni rumah yang besar yang sunyi ini!" "Umurku tiga puluh sembilan. Aku tidak akan bisa mewujudkan keinginanmu." "You are such a loser," desis suaminya dengan ada menghina. Eden orang yang berjuang. Dia dibesarkan di panti asuhan. Sejak SD sampai kuliah dia dibantu program beasiswa dari pemerintah. Sebagai lulusan terbaik dari fakultas ekonomi, ia berkesempatan untuk melanjutkan studinya di Inggris dengan bantuan pihak universitas. Di Inggris-lah dia memulai karirnya sebagai associate di kantor konsultan pajak skala internasional. Dia bukan orang yang manja. Dia orang yang berprinsip bahwa untuk mengubah nasib, hanya melalui jalur pendidikanlah yang paling tepat. Untuk dihargai orang dia harus memiliki karir yang baik. Dia banyak memiliki pengalaman pahit saat sekolah dulu karena kekurangan finansialnya. Dan bagi Eden yang sudah melalui banyak hal buruk, dengan berat hati ia mengakui dengan air mata berlinang. "Ya, I am. I am nothing but a loser." Ia diam sejenak, menatap suaminya. "Tapi kamu tidak perlu menghabiskan tenagamu untuk marah lagi padaku. Aku pergi malam ini." "Are you sure?" Eden tertawa dalam hati. Tawa itu diperuntukkan baginya. Suaminya tidak menahannya. Suaminya tidak memintanya untuk berpikir ulang. Cinta yang pernah ada sejak belasan tahun lalu seakan hilang begitu saja. Perlahan, Eden mengangguk. "Kalau begitu jadikan perpisahan ini indah seperti dulu." Pria bernama Aksa Prasodjo itu sudah mendampinginya lama. Pria yang tidak pernah menyerah padanya, selalu menciumnya dengan kehangatan, membawanya ke puncak surga setiap malam, telah berubah. Malam itu semuanya terasa hambar dan... salah. Salah karena seharusnya ia melakukannya dengan orang yang ia cintai dan mencintainya. Di antara keduanya hanya sebatas ikatan pernikahan di atas kertas. Setelah selesai, Aksa meninggalkannya dan tak lama suara mobilnya terdengar. Sejak itu keduanya tidak pernah bertemu lagi. *** Lima bulan lamanya mereka tidak pernah bertatap muka. Tak pula saling memberi kabar melalui pesan singkat. Aksa tidak menceraikannya. Tidak pula memperlakukannya sebagai istri. Dia menghabiskan waktunya di luar negeri untuk bisnis dan liburan. Melupakan semua kenangan bersama Eden yang hingga kini singgah di benaknya. Keduanya bertemu di kantor konsultan pajak di London. Saat itu Aksa adalah senior associate dan atasan langsung Eden. Dia banyak mengajarkan Eden yang baru pertama kali bekerja. Masih diingatnya Eden yang pemalu namun tekun untuk mempelajari hal-hal baru di dunia kerja. Hubungan mereka semakin dekat ketika peak season di mana keduanya harus lembur. Dari situlah Aksa mulai punya perasaan terhadap Eden. Ketika kontrak kerjanya selesai, Aksa menyatakan cinta pada Eden. Aksa mengatakan pada Eden bahwa dia akan melanjutkan karirnya di perusahaan semen ayahnya. Mereka sempat menjalani hubungan jarak jauh karena Eden masih terikat kontrak untuk bekerja beberapa bulan setelah Aksa keluar. "Setelah kamu selesai di sini, pulanglah dan kita menikah." Mereka menikah. Dan... Entahlah. Aksa tidak mau mengingat lagi setelahnya. Dia menenggak wine-nya. Dari jendela vilanya dipandanginya Pantai Monte Carlo dengan warna air yang jernih dan birunya langit yang cerah. Sayang sekali pemandangan yang begitu indah tidak cukup menghibur perasaannya yang gundah. "Aku tidak tahu bahwa anak begitu penting." Di belakang Aksa, perempuan tanpa busana telentang di atas tempat tidur. "You know, anak tidak selalu membahagiakan." Aku tidak berselingkuh, Aksa mengingatkan dirinya. Eden-lah yang menyalakan percik api di pernikahan kami. Dia yang punya affair dengan salah satu tax partner di firma itu. Aku sering memergokinya makan malam dengan Rashid sialan itu. Tapi tak pernah kukatakannya karena aku tidak mau merusak perkawinanku karena laki-laki yang tidak bisa dibandingkan denganku. Alasanku untuk punya anak dengan Eden juga karena aku tidak mau dia berpaling dariku. Dengan adanya anak, perhatiannya akan hanya pada anak itu, tidak pada pria lain. Aksa hendak menjawab simpanannya namun ponselnya berbunyi. Diraihnya ponsel dan nama ibunya tertera di layar. Ibunya jarang meneleponnya. Untuk melepas rindu ibunya akan mengunjunginya langsung. "Aksa! Di mana sih kamu? Bolos kerja, dan tidak mendampingi istrimu!" Belum apa-apa ibunya mengomel padanya. "Eden keguguran. Dan dia menolak untuk melahirkan anaknya yang meninggal" "Eden keguguran?" Aksa tertawa kecil. "Aksa! Kenapa kamu tidak respek begitu? Istrimu kesakitan!" "Biarkan dia sakit, Ma," jawab Aksa dingin. "Kalau perlu biarkan dia mati. Anak itu bukan anak saya.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook