bc

You Are The Reason Why

book_age16+
433
FOLLOW
1.6K
READ
fated
second chance
goodgirl
sweet
bxg
highschool
school
shy
like
intro-logo
Blurb

Sejak kecil, Ella tidak pandai untuk bergaul dengan orang asing keluarganya sangat tahu tentang itu. Akan tetapi, Ryan bisa mendapatkan kepercayaan dari gadis itu dan keluarganya. Lelaki itu pun menjadi sahabat Ella sejak dini.

Hingga suatu ketika, Ryan mengajak Ella untuk ikut dengannya keluar wilayah sekolah di jam kosong kelas. Dia memperkenalkan gadis itu kepada teman basketnya; Nian. Ryan bilang kalau Ella tidak apa-apa jika Nian mengajaknya berkenalan. "Nian orang baik." Begitu kata Ryan. Ella pun menerima Nian dengan baik karena sangat percaya dengan Ryan. Pertemuan itu pun terasa sebagai sebuah keajaiban bagi Ella. Sekaligus, pertemuan keduanya malah membuat hati Ryan terasa sakit.

Entah karena takut kehilangan sahabat atau ada hal lain yang dipendam oleh Ryan. Yang dia tahu, Dialah yang mempertemukan mereka berdua dan dia merasa harus melakukannya karena Nian.

chap-preview
Free preview
1.1 Kelas Kosong
Ella ingin pulang. Pekerjaan yang ditinggalkan oleh wali kelasnya tadi sudah selesai. Sekarang kelasnya mulai ramai. Teman-temannya saling berbicara dan ada beberapa yang bermain di kelas meskipun tidak ada yang keluar. Sungguh membosankan. Hari ini ada rapat para guru dan kelasnya tentu saja kosong dari jam pertama tadi. Masih mending jika ada tugas yang diberikan seperti jam pertama dan kedua tadi. Hingga sekarang, dia dan teman-temannya masih terjebak di dalam kelas. Tidak ada yang berani keluar meskipun mereka sangat ingin. Nama kelas dan diri mereka sendiri juga dipertaruhkan. Sungguh merepotkan mempunyai wali kelas yang sangat gila kesempurnaan. Pernah ada temannya yang keluar sebelum waktu istirahat. Kalian tahu apa yang terjadi? Dia malah tidak boleh pulang sampai sore untuk membersihkan kamar mandi. Tentu saja tidak ada yang mau menjamah lantai kamar mandi sekolah yang jauh dari kata bersih itu. Ella menghela napas dalam. Teman sebangkunya, Danisha, sedang asyik dengan drakornya. Baiklah, dia akan mencari kesibukan sendiri. Gadis itu pun menolehkan wajahnya ke luar jendela. Dia menelan ludah. Dalam sekejap dia menyesal telah mengeluarkan payung dan jas hujannya dari tas kemarin malam. Awan di langit sana sangat tebal, saling menggulung untuk menghalangi sinar matahari dari bumi. Kenapa saat dia tidak menyediakan payung, langit malah akan mencurahkan rindunya kepada bumi. Sudahlah, dia hanya bisa pasrah jika harus mendapatkan ceramah dari kakak perempuannya. Mana di rumah juga tidak ada cadangan seragam apa pun. Oke, dia hanya bisa pasrah sekarang. Di tengah ratapan, Ella merasakan sikunya disentuh. Dia menoleh ke arah Danisha. Gadis yang sebangku dengannya itu berisyarat dengan dagu ke arah pintu masuk kelas. Matanya terbuka lebih lebar saat mendapati sesosok yang tak asing di matanya sedang berdiri di ambang pintu. Ella memejamkan matanya sejenak, meredam rasa malu yang tiba-tiba saja datang karena tatapan teman-teman sekelasnya. Kenapa Ryan ada di situ, sih? "Apa?" Ella bertanya tanpa mengeluarkan suara. Sosok itu, Ryan, mendengkus. Dia melipat kedua tangannya di atas d**a dan menyandarkan bahu kanannya ke kusen pintu. "Aku mau keluar. Ikut enggak?" Mata Ella terpejam lagi. Malu sekali. Suara Ryan membuat mereka jadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Lebih lagi kaum hawa. Ella segera meminta permisi ke Danisha untuk lewat. Dia tidak mau semakin menarik perhatian yang lain. Dia lebih tidak mau lagi jika mereka mendengarkan percakapan antara dirinya dan Ryan. "Mau keluar ke mana emangnya?" tanya Ella dengan lembut. Dia mendorong Ryan ke belakang agar tidak di pintu lagi. Lebih nyaman berbicara tanpa menjadi pusat perhatian. "Keluar nemenin aku. Mau?" Ella menggigit bibir bawahnya. "Ke mana? Kamu, kan, tahu kalau kelasku gak boleh keluar kecuali kalau udah bel istirahat." Ryan tersenyum miring tipis. "Ini. Kamu udah keluar kelas tuh." Ella menajamkan tatapannya. "Rese!" gumamnya pelan, kesal. Lelaki itu tertawa. "Ya, udah. Mau ikut atau enggak? Kalau gak ikut, gak boleh nyesel. Jangan cari aku juga." "Ya, tapi, kan—" perkataannya dipotong. "Anton!" Ryan berteriak keras sambil masih melihat ke arah Ella. "Gue pinjem anak kelas lo dulu. Gak bakalan lama." "Oke, Bos!" Anton, ketua kelasnya, menjawab dengan santainya. Ella menoleh ke arah Anton dengan tatapan memprotes. Dia hanya dibalas dengan pundak yang terangkat dari lelaki itu. Sungguh, dia sebal sekarang. Dia lupa dengan status Ryan sebagai siswa yang terkenal dan disegani di sekolah karena karier basketnya. Ya, Ryan kapten basket di tim sekolahnya. Maka dari itu, kadang sikapnya semena-mena. Lelaki itu memang suka sekali menguji kesabaran. Ella menggembungkan kedua pipinya setelah melihat kedua alis Ryan terangkat di hadapannya. Dia paham, jika Ryan sudah bertindak demikian, yang dimaksud lelaki itu adalah keharusan. Bukan lagi ajakan. Berteman dengan Ryan sejak kecil membuatnya paham dengan semua maksud dan bahasa tersembunyi di setiap kata dan kelakuan lelaki itu. Tidak. Tidak. Jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Ryan tak seburuk yang kalian bayangkan. Hanya untuk saat ini saja dia terpaksa untuk 'menculik' Ella. "Ya, udah. Tunggu aku sebentar." Ella menatap sepasang mata di depannya yang sudah ikutan bibir pemiliknya untuk tersenyum. Dengan langkah enggan, Ella memasuki kelas. Dia disambut oleh Danisha yang tengah tersenyum menggoda. "Tolong hp-ku, Nis." Ella tidak permisi lagi. Danisha mengambilkan gawai Ella yang ada di loker meja dan menjulurkan tangannya ke sang pemilik. "Seharusnya lo jujur sama gue kalau lo dan Ryan bukan cuma temen." Ella memutar bola matanya jengah. Danisha tertawa bahagia, bisa mengejek teman sebangkunya. Pernyataan yang baru saja dia lontarkan itu adalah yang sering dikatakan oleh para gadis penggemar Ryan. Ya, Ryan memang seterkenal itu. Jaman SMA, siapa yang tidak menaruh perhatian kepada kapten basket? Dan payahnya, terkadang, Ella lupa kalau temannya adalah murid yang popular. "Gak usah cari gara-gara, Nis," ucap Ella kesal meskipun terdengar seperti tidak mengancam sama sekali. Danisha malah tertawa lebih kencang. Ella menghadap ke ketua kelasnya. "Anton!" "Iya. Apa, Beib?" Lelaki itu memang tidak bisa serius. "Awas kalau kamu mau contekan lagi. Gak aku beri." "Gak papa. Nanti aku nyuri." "Aku gak mau satu kelompok sama kamu lagi." "Gak papa. Nanti list-nya aku manipulasi." "Hiih," geram Ella yang malah membuat ketua kelasnya itu gemas. Gadis itu segera berpaling sebelum keinginannya untuk memukul Anton bertambah besar. Lagi pula, telinganya juga sudah tak ingin lagi mendengar cibiran yang sengaja dikeraskan oleh beberapa teman ceweknya. Apakah mereka bisa dibilang sebagai teman? Entahlah. Yang penting mereka cukup menyebalkan. Dalam hati, dia semakin yakin jika Anton bisa jadi ketua kelas bukan karena hasil suara yang bersih. Pasti ada manipulasi. Argh, cowok itu memang ... entahlah apapun itu. Yang penting Anton jauh dari kata menyenangkan di mata Ella. Baiklah, kesalnya ini semuanya gara-gara Ryan. Akan tetapi, saat berhadapan dengan sahabatnya itu, dia hanya bisa cemberut sambil memajukan bibir bawahnya. Ryan tertawa renyah. "Gak bakalan rugi ikut aku. Ayo, dah. Kita jalan." Ryan mendahului Ella yang masih terlihat kesal. Tanpa memakan waktu yang lama, dia segera mengikuti langkah Ryan menyusuri lorong depan kelas. Di saat seperti ini, dia berusaha mengontrol pernapasannya agar kesalnya tidak meluap. Namun, kenapa langkah Ryan sangat cepat dan lebar? Dia pun berlari kecil untuk mengejar sahabatnya itu. "Ryan, tunggu!" serunya yang membuat penghuni kelas yang sedang mereka lewati menoleh. Ella segera menggandeng lengan Ryan dan bersembunyi di baliknya. "Malu, astaga. Gara-gara kamu." Dia memukul lengan lelaki itu. Ryan terkekeh. "Kamu, sih, gak lihat-lihat dulu." "Kamu yang rese. Kalau kamu gak ngajak keluar, ya, gak bakalan ini terjadi." "Nyesel?" Ryan sedikit menolehkan wajahnya. "Ya, udah. Balik aja sana." "Isshhh!" Ella mencubit lengan Ryan dan mendapatkan usakan di kepalanya. Mereka pun berjalan hingga koridor belakang sekolah. Ryan sengaja memilih melewati gudang alat olahraga. Dia menghindari rute di depan kantor, terlalu beresiko. Ella hanya diam dan mengikuti arah jalan sahabatnya. Kedua alisnya hampir bertautan saat mereka tiba di halaman belakang sekolah yang sangat tidak terurus ini. Suasananya sangat mencekam apalagi langit sekarang juga mendukung dengan menggelapkan keadaan sekitar. "Ngeri, Ryan." Ella merapatkan gandengannya. "Kita mau ngapain di sini? Kalau ada hantu gimana?" "Gak bakalan ada. Toh, kalau ada, hantunya udah kelihatan dari tadi." Spontan, Ella mendongak. "Mana?" Ryan berisyarat dengan dagu ke arah gadis itu. "Ini." Tepukan keras di lengan kiri atas tangannya membuat meringis. Dia lupa kalau gadis ini, meskipun kalem, bisa memukul sekeras Chris John. "Kamu ngeselin!" Sudahlah, Ryan bosan tertawa karena gadis ini. Semua yang dilakukan Ella sangat menggemaskan. Dia bersyukur karena telah mengenal dan menjadi sahabat gadis itu sejak dini. Banyak momen yang telah mereka lewati dan tingkah Ella selalu bisa membuat mood-nya bagus. "Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau ke kantin. Haus banget." Ryan berpamitan. Tangannya ditahan. Ella menggeleng. "Ngeri, Ryan. Jangan pergi!" "Sebentar aja, kok. Gak bakalan ada yang tahu. Aman banget di sini. Nah, kamu duduk di bangku itu dulu, ya. Aku bakalan cepet balik." Ella tetap memegang tangan Ryan. Dia menggeleng lagi. Akan tetapi, lelaki itu meyakinkan dan mengelus puncak kepalanya gemas. "Kamu mau minum apa? Pocari atau yang lain?" "Aku, kan, gak suka Pocari." "Hehehe. Ya, udah. Ultra Milk pink?" Ella tersenyum. "Oke." Gadis itu mengangguk. "Oke banget kalau itu." "Kamu tunggu, ya. Duduk di sana dulu." Ryan menunjuk ke arah bangku itu lagi. Ella pun menurut. Di tengah kesendiriannya di bangku kosong itu, Ella menengadahkan wajahnya ke langit. Lebih baik melihat langit dari pada sekitar. Jantungnya tadi bahkan hampir copot saat menuju bangku. Dia melihat katak yang sedang berdiam di atas batu. Suasana belakang gedung sekolahnya yang menyeramkan membuat segalanya terlihat sama, kelam. Sebenarnya, melihat ke arah awan yang semakin tebal di atas sana juga sama saja, tidak memberikan ketenangan apapun. Ella malah membayangkan bagaimana kalau dia kehujanan saat pulang nanti. Dia yakin kakaknya, Dewi, pasti sudah berada di rumah. Dewi duduk di kelas tiga SMA dan sekolahannya baru saja memberikan try out minggu kemarin. Maka dari itu mereka memberikan hadiah 'hari bebas' dengan hanya masuk setengah hari. Pasti akan ada banyak kalimat yang banjir dari kakaknya. Belum lagi kalau dia demam nanti malam. Pasti ceramahnya dobel. Ella menghela napas berat. Membayangkannya saja sudah ngeri. Pikirannya melayang lagi. Dia melihat sekeliling. Masih kosong. Kepalanya penuh dengan pertanyaan 'bagaimana jika ...?' Bagaimana jika ada guru yang kebetulan lewat dan melihatnya di sini? Bagaimana jika ternyata tiba-tiba turun hujan dapahal dia tidak membawa payung? Bagaimana jika dia sebenarnya hanya dikerjai oleh Ryan? Ah, tapi Ryan juga tidak mungkin setega itu. Tapi, bagaimana jika lelaki itu berubah dan menjadi sekejam itu? Ella menggeleng kuat. Dia melempar semua overthinking-nya dari kepala. Pertanyaan yang benar untuk sekarang adalah ... Ke mana Ryan akan mengajaknya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

My Secret Little Wife

read
96.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook