perdebatan dan obrolan
“Duit dong pa,” pinta Jenia tanpa nada memohon sedikitpun.
“Kamu ini duit-duit terus, 3 hari lalu kamu udah minta 1 juta dan sekarang kamu minta lagi. Gak, papa gak akan kasih,” tolak Ronald dengan nada tegas.
“Papa pelit banget sih, anak sendiri aja minta duit gak dikasih,” kesal Jenia.
“Papa gak pelit, papa cuma ngerasa kamu terlalu boros,” tidak terima Ronald dituduh pelit oleh Jenia.
Jenia menatap nyalang papanya, “boros? Kalo Jen boros terus anak tiri papa itu apa? Bukannya papa selalu ngasih uang ke dia lebih banyak dibanding ke Jen?”
Ronald menghembuskan nafas kasar, dia sangat tidak suka berdebat seperti ini.
“Kenapa papa diem aja? Kenapa papa gak jawab pertanyaan Jen? Apa yang dibilang sama Jen bener kan pa? Papa lebih sayang sama anak tiri papa dibanding sama Jen kan?”
Sejauh ini orang yang paling dibenci oleh Jenia adalah Nia yaitu mama tirinya dan juga Myla yaitu saudara tirinya karena bagi Jenia kedua orang itu telah merebut kasih sayang papanya dari dirinya.
“Stop ngomong hal yang gak jelas Jen. Minggu depan, Minggu depan papa akan kasih uang ke kamu,” Ronald ingin segera mengakhiri perdebatan ini.
Jenia berdecak kecal, bagaimana bisa yang dikatakannya itu adalah hal yang tidak jelas? “Udah jelas itu faktanya tapi papa masih ngelak aja,” cibir Jenia. “Oke, uangnya minggu depan tapi 5 juta ya, gak boleh kurang tapi kalo lebih boleh banget.”
Ronald langsung melayangkan ketidaksetujuannya, “papa cuma bisa ngasih kamu 1 juta, 5 juta itu kebanyakan. Lagian buat apa duit sebanyak itu?”
“Gak kebanyakan sama sekali malah menurut Jen itu kurang, pokoknya papa harus kasih Jen 5 juta,” setelah mengatakan itu Jenia kemudian berlalu, tidak ingin terus-menerus mendengar bantahan papanya.
Jenia juga tidak menjawab pertanyaan papanya, dia jelas tidak mau memberitahukan papanya kalau dia menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan kedua teman baiknya.
*****
Jenia Iris Adikara yang berumur 22 tahun adalah anak tunggal dari Ronald Adikara dan mendiang Amanda. Amanda meninggal dunia saat Jenia berumur 12 tahun dan di umur 15 tahun Ronald menikah lagi.
Jenia adalah yang penurut, perinang, dan berprestasi, namun itu dulu sebelum Amanda meninggal dan sebelum Ronald menikah lagi. Kini Jenia sudah berubah 180 derajat.
Sekarang Jenia adalah anak yang sangat sulit diatur dan selalu membuat masalah. Tentu saja semua itu dilakukan Jenia karena dia merasa papanya lebih sayang pada keluarga barunya dibanding dengan dirinya.
Jenia selalu berpenampilan berantakan, dia suka memakai ripped jeans dan jaket crop top meskipun itu di kampus sekalipun.
Jenia dengan langkah malas berjalan menuju kantin kampus, selama perjalanan orang-orang selalu menatapnya dengan tatapan aneh dan juga tatapan menghakimi. Jenia tidak memperdulikan tatapan itu karena kini dia fokus menatap kedua teman baiknya yang tengah menunggunya.
“Lama banget lo nyampenya, dari mana aja sih lo?” Clara, teman baik Jenia bertanya dengan nada penasaran karena biasanya Jenia sangat jarang datang ke kampus selama ini.
“Biasa, ribut sama papa gue, gue minta duit gak dikasih tapi giliran anak tirinya yang minta pasti dikasih,” kesal Jenia kemudian meminum jus jeruk milik Clara hingga tandas.
“Emang anak tiri gak tahu diuntung tuh si Myla, udah minta duit sama papa lo masih aja suka buat nama lo jelek di mata orang-orang,” Elena, teman baik Jenia yang lain juga ikut kesal jadinya.
Clara menatap kesal Jenia saat melihat gelasnya sudah kosong, “Jen kalo minum kira-kira doang, habis nih jus jeruk gue diminum sama lo.”
“Lo pelit banget sih sama temen sendiri, lo kan banyak duit beli aja lagi. Lagian lo gak kasian apa sama gue?” Jenia membalas tatapan Clara tak kalah kesal.
“Iya, iya deh. Gue pesen lagi, gue bakal pesen 2, satu buat lo satu buat gue.”
“Buk jus jeruk 2 ya,” teriak Clara agar dapat didengar oleh penjual jus yang berjarak beberapa meter dari mereka.
“Gitu dong, itu baru namanya temen gue.” Jenia mengalungkan tangannya di bahu Clara kemudian menepuknya pelan.
“Lo berdua keasikan sampe gak nyadarin si kata orang-orang paling sempurna masuk ke kantin,” Elena yang sedari tadi diam kini berbicara kembali namun kali ini dengan suara yang lebih pelan.
Jenia dan Clara kompak melihat ke arah Elena melihat dan kini mereka berdua sedang menatap Myla dan teman-temannya sedang asik mengobrol.
Kekesalan dan kebencian terlihat jelas di sorot mata Jenia saat melihat Myla. Bagi Jenia, Myla adalah seorang perebut. Myla sudah merebut kasih sayang papanya, merebut posisinya di rumahnya, merebut kamar miliknya, dan bahkan merebut orang yang disukai olehnya. Myla telah merebut semua yang berharga baginya.
“Liat mukanya aja gue mau muntah, dasar manusia muka dua,” Clara mengalihkan pandangannya, tidak tahan menatap kemunafikan itu begitu lama.
“Gue rasa mukanya gak cuma dua tapi berlapis-lapis,” Elena ikut menambahi.
“Kita gak usah ngomongin dia, lagian dia gak sepenting itu buat diomongin sama kita,” Jenia sudah muak, sangat muak terus membicarakan benalu seperti Myla.
Elena segera mengalihkan pandangannya ke arah lain kemudian mengubah topik pembicaraan mereka, “nanti malem kita jadi pergi kan?”
“Ke acara party itu? Jadi dong, kapan lagi kita bisa pergi ke party sebesar itu? Iya gak Jen?” Clara berucap dengan sangat antusias.
“Iya dong, pokoknya malam ini kita gak boleh telat. Bisa-bisa kita kehabisan minuman kalo telat, ditambah itu kan party gratisan, siapapun boleh ikut jadi gue rasa partynya bakal rame banget nanti.”
“Bagus kalo lo berdua ikut, gue juga bakal ikut.”
Elena kemudian kembali berbicara saat mengingat sesuatu yang penting, “lo berdua jangan lupa buat dateng ke seminar besok, katanya kalo gak dateng bakal dikasih nilai E di salah satu mata kuliah dan harus ngulang di semester depan.”
“Cuma gara-gara gak ikut seminar dikasih nilai E? Emang seminarnya sepenting apa sih?” Clara yang awalnya tidak ingin ikut seminar besok jadi mengurungkan niatnya itu, konsekuensi tidak ikut seminar itu terlalu berat, Clara tidak sanggup.
“Kalo kata anak-anak lain sih seminarnya itu gak terlalu penting, yang penting itu pembicaranya. Katanya sih pembicara di seminar itu donatur terbesar di kampus ini jadi semua mahasiswa sama mahasisiwi harus ikut seminar itu buat ngehargain dia.”
“Terus judul seminarnya apa?” Tanya Clara lagi.
“Gak tahu, gak mau tahu juga gue,” jawab Elena malas, lagian Elena sebenarnya juga malas mengikuti seminar itu.
“Gue tahu.”
Clara langsung melayangkan pertanyaan yang sama pada Jenia, “judulnya apa Jen?”
“Menjadi donatur kampus saat sudah sukses,” ucap Jenia melihat kedua teman baiknya bergantian, tentu saja Jenia mengatakan judul yang tidak benar karena dia sendiri tidak tahu apa judul seminarnya.
“Bohong lo ah, gak mungkin judulnya itu. Lagian kalo gue sukses gue gak akan mau jadi donatur di kampus ini,” Clara berucap kesal, bisa-bisanya Jenia bercanda saat dia sudah sangat penasaran dengan judul seminar besok.
Jenia hanya terkekeh pelan melihat kekesalan yang ditunjukkan oleh kedua teman baiknya, bagi Jenia mungkin dia hanya bisa merasa lepas seperti ini saat bersama-sama dengan keduanya.