Berawal dari Pertemuan tak Terduga

Berawal dari Pertemuan tak Terduga

book_age16+
19
FOLLOW
1K
READ
family
HE
friends to lovers
heir/heiress
drama
sweet
kicking
campus
city
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Jenia Iris Adikara adalah anak yang sangat sulit diatur dan selalu membuat masalah. Dulu Jenia bukan anak seperti itu, Jenia dulu adalah anak yang penurut, perinang, dan berprestasi.

Perubahan Jenia dikarenakan papanya menikah lagi setelah mamanya meninggal dunia, Jenia merasa papanya lebih menyayangi mama tiri dan saudara tirinya dibanding dirinya.

Selayaknya anak muda yang sulit diatur dan selalu membuat masalah, Jenia dan teman-temannya selalu pergi party dan mabuk-mabukan hingga menjelang pagi. Hal itu yang membuat Jenia bertemu secara tak terduga dengan seseorang bernama Theodor Rionard Wijaya. 

Orang itu kemudian duduk, menatap Theodor dengan tatapan mata sayunya. “Gue Jenia Iris Adikara, lo siapa? Ini kan kamar gue bukan kamar lo, kok bisa masuk ke kamar gue?” Tanya Jenia dengan nada suara serak dan tentunya dia masih berada di bawah pengaruh alkohol.

“Tolong, ada penculik. Tolong, ada…”

Theodor langsung menutup mulut Jenia dengan tangannya, “kenapa lo yang teriak? Harusnya gue yang teriak karena lo ada di kamar gue,” ucap Theodor penuh kekesalan, hari ini sungguh hari sial baginya.

Theodor mencium aroma alkohol dari Jenia dan sekarang Theodor sangat yakin bahwa cewek yang sedang ada di kamarnya ini adalah salah satu orang yang diundang oleh Lucy ke acara party yang baru saja dibubarkan olehnya.

Jenia menangis dan itu membuat Theodor kebingungan, dengan segera Theodor melepaskan tangannya dari mulut Jenia.

“Papa jahat ke gue, Nia jahat ke gue, Myla jahat ke gue, dan sekarang penculik juga jahat ke gue, huaaaaaaa.” Jenia menangis semakin keras.

Tangis Jenia yang semakin keras membuat Theodor kelabakan, dia tidak pernah menghadapi situasi seperti ini dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan olehnya.

“Jangan nangis lagi gue gak akan jahat sama lo,” Theodor berucap pelan, tidak ada lagi kekesalan apalagi kemarahan di nada suaranya.

Berawal dari pertemuan tak terduga itu, takdir mengantarkan Theodor dan Jenia pada pertemuan-pertemuan tak terduga lainnya. Mungkinkah pertemuan-pertemuan tak terduga itu menimbulkan rasa diantara mereka berdua?

ic_default
chap-preview
Free preview
perdebatan dan obrolan
“Duit dong pa,” pinta Jenia tanpa nada memohon sedikitpun. “Kamu ini duit-duit terus, 3 hari lalu kamu udah minta 1 juta dan sekarang kamu minta lagi. Gak, papa gak akan kasih,” tolak Ronald dengan nada tegas. “Papa pelit banget sih, anak sendiri aja minta duit gak dikasih,” kesal Jenia. “Papa gak pelit, papa cuma ngerasa kamu terlalu boros,” tidak terima Ronald dituduh pelit oleh Jenia. Jenia menatap nyalang papanya, “boros? Kalo Jen boros terus anak tiri papa itu apa? Bukannya papa selalu ngasih uang ke dia lebih banyak dibanding ke Jen?” Ronald menghembuskan nafas kasar, dia sangat tidak suka berdebat seperti ini. “Kenapa papa diem aja? Kenapa papa gak jawab pertanyaan Jen? Apa yang dibilang sama Jen bener kan pa? Papa lebih sayang sama anak tiri papa dibanding sama Jen kan?” Sejauh ini orang yang paling dibenci oleh Jenia adalah Nia yaitu mama tirinya dan juga Myla yaitu saudara tirinya karena bagi Jenia kedua orang itu telah merebut kasih sayang papanya dari dirinya. “Stop ngomong hal yang gak jelas Jen. Minggu depan, Minggu depan papa akan kasih uang ke kamu,” Ronald ingin segera mengakhiri perdebatan ini. Jenia berdecak kecal, bagaimana bisa yang dikatakannya itu adalah hal yang tidak jelas? “Udah jelas itu faktanya tapi papa masih ngelak aja,” cibir Jenia. “Oke, uangnya minggu depan tapi 5 juta ya, gak boleh kurang tapi kalo lebih boleh banget.” Ronald langsung melayangkan ketidaksetujuannya, “papa cuma bisa ngasih kamu 1 juta, 5 juta itu kebanyakan. Lagian buat apa duit sebanyak itu?” “Gak kebanyakan sama sekali malah menurut Jen itu kurang, pokoknya papa harus kasih Jen 5 juta,” setelah mengatakan itu Jenia kemudian berlalu, tidak ingin terus-menerus mendengar bantahan papanya. Jenia juga tidak menjawab pertanyaan papanya, dia jelas tidak mau memberitahukan papanya kalau dia menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan kedua teman baiknya. ***** Jenia Iris Adikara yang berumur 22 tahun adalah anak tunggal dari Ronald Adikara dan mendiang Amanda. Amanda meninggal dunia saat Jenia berumur 12 tahun dan di umur 15 tahun Ronald menikah lagi. Jenia adalah yang penurut, perinang, dan berprestasi, namun itu dulu sebelum Amanda meninggal dan sebelum Ronald menikah lagi. Kini Jenia sudah berubah 180 derajat. Sekarang Jenia adalah anak yang sangat sulit diatur dan selalu membuat masalah. Tentu saja semua itu dilakukan Jenia karena dia merasa papanya lebih sayang pada keluarga barunya dibanding dengan dirinya. Jenia selalu berpenampilan berantakan, dia suka memakai ripped jeans dan jaket crop top meskipun itu di kampus sekalipun. Jenia dengan langkah malas berjalan menuju kantin kampus, selama perjalanan orang-orang selalu menatapnya dengan tatapan aneh dan juga tatapan menghakimi. Jenia tidak memperdulikan tatapan itu karena kini dia fokus menatap kedua teman baiknya yang tengah menunggunya. “Lama banget lo nyampenya, dari mana aja sih lo?” Clara, teman baik Jenia bertanya dengan nada penasaran karena biasanya Jenia sangat jarang datang ke kampus selama ini. “Biasa, ribut sama papa gue, gue minta duit gak dikasih tapi giliran anak tirinya yang minta pasti dikasih,” kesal Jenia kemudian meminum jus jeruk milik Clara hingga tandas. “Emang anak tiri gak tahu diuntung tuh si Myla, udah minta duit sama papa lo masih aja suka buat nama lo jelek di mata orang-orang,” Elena, teman baik Jenia yang lain juga ikut kesal jadinya. Clara menatap kesal Jenia saat melihat gelasnya sudah kosong, “Jen kalo minum kira-kira doang, habis nih jus jeruk gue diminum sama lo.” “Lo pelit banget sih sama temen sendiri, lo kan banyak duit beli aja lagi. Lagian lo gak kasian apa sama gue?” Jenia membalas tatapan Clara tak kalah kesal. “Iya, iya deh. Gue pesen lagi, gue bakal pesen 2, satu buat lo satu buat gue.” “Buk jus jeruk 2 ya,” teriak Clara agar dapat didengar oleh penjual jus yang berjarak beberapa meter dari mereka. “Gitu dong, itu baru namanya temen gue.” Jenia mengalungkan tangannya di bahu Clara kemudian menepuknya pelan. “Lo berdua keasikan sampe gak nyadarin si kata orang-orang paling sempurna masuk ke kantin,” Elena yang sedari tadi diam kini berbicara kembali namun kali ini dengan suara yang lebih pelan. Jenia dan Clara kompak melihat ke arah Elena melihat dan kini mereka berdua sedang menatap Myla dan teman-temannya sedang asik mengobrol. Kekesalan dan kebencian terlihat jelas di sorot mata Jenia saat melihat Myla. Bagi Jenia, Myla adalah seorang perebut. Myla sudah merebut kasih sayang papanya, merebut posisinya di rumahnya, merebut kamar miliknya, dan bahkan merebut orang yang disukai olehnya. Myla telah merebut semua yang berharga baginya. “Liat mukanya aja gue mau muntah, dasar manusia muka dua,” Clara mengalihkan pandangannya, tidak tahan menatap kemunafikan itu begitu lama. “Gue rasa mukanya gak cuma dua tapi berlapis-lapis,” Elena ikut menambahi. “Kita gak usah ngomongin dia, lagian dia gak sepenting itu buat diomongin sama kita,” Jenia sudah muak, sangat muak terus membicarakan benalu seperti Myla. Elena segera mengalihkan pandangannya ke arah lain kemudian mengubah topik pembicaraan mereka, “nanti malem kita jadi pergi kan?” “Ke acara party itu? Jadi dong, kapan lagi kita bisa pergi ke party sebesar itu? Iya gak Jen?” Clara berucap dengan sangat antusias. “Iya dong, pokoknya malam ini kita gak boleh telat. Bisa-bisa kita kehabisan minuman kalo telat, ditambah itu kan party gratisan, siapapun boleh ikut jadi gue rasa partynya bakal rame banget nanti.” “Bagus kalo lo berdua ikut, gue juga bakal ikut.” Elena kemudian kembali berbicara saat mengingat sesuatu yang penting, “lo berdua jangan lupa buat dateng ke seminar besok, katanya kalo gak dateng bakal dikasih nilai E di salah satu mata kuliah dan harus ngulang di semester depan.” “Cuma gara-gara gak ikut seminar dikasih nilai E? Emang seminarnya sepenting apa sih?” Clara yang awalnya tidak ingin ikut seminar besok jadi mengurungkan niatnya itu, konsekuensi tidak ikut seminar itu terlalu berat, Clara tidak sanggup. “Kalo kata anak-anak lain sih seminarnya itu gak terlalu penting, yang penting itu pembicaranya. Katanya sih pembicara di seminar itu donatur terbesar di kampus ini jadi semua mahasiswa sama mahasisiwi harus ikut seminar itu buat ngehargain dia.” “Terus judul seminarnya apa?” Tanya Clara lagi. “Gak tahu, gak mau tahu juga gue,” jawab Elena malas, lagian Elena sebenarnya juga malas mengikuti seminar itu. “Gue tahu.” Clara langsung melayangkan pertanyaan yang sama pada Jenia, “judulnya apa Jen?” “Menjadi donatur kampus saat sudah sukses,” ucap Jenia melihat kedua teman baiknya bergantian, tentu saja Jenia mengatakan judul yang tidak benar karena dia sendiri tidak tahu apa judul seminarnya. “Bohong lo ah, gak mungkin judulnya itu. Lagian kalo gue sukses gue gak akan mau jadi donatur di kampus ini,” Clara berucap kesal, bisa-bisanya Jenia bercanda saat dia sudah sangat penasaran dengan judul seminar besok. Jenia hanya terkekeh pelan melihat kekesalan yang ditunjukkan oleh kedua teman baiknya, bagi Jenia mungkin dia hanya bisa merasa lepas seperti ini saat bersama-sama dengan keduanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Shifted Fate

read
531.9K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
123.9K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
664.7K
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
126.9K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
280.5K
bc

The Pack's Doctor

read
598.9K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
707.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook