bc

Mr. Scary and Me

book_age16+
2.1K
FOLLOW
23.9K
READ
family
age gap
submissive
goodgirl
drama
sweet
campus
city
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

"Dosen pembimbing lu siapa Ra?"

"Pak Aarav. Dosen muda itu."

"Gila! Gila! Dhara. Untung gue enggak dapat bimbingan sama dia."

"Kenapa emangnya?"

"Dia serem banget. Kata Kakak tingkat, bimbingan sama dia dipersulit dah. Siap-siap aja lu, skripsi dua tahun."

"Eh iya? terus gimana?"

"Ya gatau. Lu jalanin aja dah."

chap-preview
Free preview
❗S a t u❗
Sudut Pandang Pertama Tibalah aku pada semester ketujuh. Semester yang menjadi hidup dan matiku sebagai mahasiswa. Aku sudah bertekad pada semester ini aku harus lulus dengan cepat. Enam bulan semoga cukup untuk membuat skripsiku disetujui lalu aku bisa sidang dan lulus dengan gelar sarjana. Keinginanku hanya itu. Cepat lulus. Bukannya aku tidak nyaman menjadi mahasiswa. Lingkaran pertemanan di sini sangat membuatku nyaman. Hanya saja, aku ingin cepat-cepat bekerja untuk membantu keuangan keluargaku. Ayahku sudah dua tahun yang lalu meninggal dunia sehingga tidak ada lagi tulang punggung dikeluargaku. Ibu bekerja sebagai guru SD dengan gaji yang tidak seberapa, sedangkan dia harus membiayai kuliahku dan juga biaya sekolah dua adikku. Aku ingin membantu meringankan bebannya dengan cepat-cepat lulus dan bekerja. Aku ingin menanggung biaya sekolah adik-adikku agar ibuku tidak perlu bekerja lagi. Dirinya sudah ringkih, sudah seharusnya berdiam diri di rumah. "Dhara!" panggil Caca dari kejauhan. Gadis itu berjalan lalu duduk di sebelahku. Dia teman terdekatku selama aku berada di bangku kuliah. Dia teman yang selalu ada untukku saat semester satu hingga saat ini. Aku menatap ke arahnya dari ujung kepada sampai ujung kaki. "Dari mana lo? Keringetan begitu." Dia mengambil kipas portabel di tasnya lalu menyalahkannya. "Iya nih, habis ketemuan sama dosen pembimbing gue," dia menoleh ke arahku, "dosen pembimbing lu siapa Ra?" tanyanya. Aku terdiam sebentar, mengingat-ingat. "Pak Aarav. Dosen muda itu," jawabku singkat. Caca tiba-tiba membulatkan matanya sempurna. Dia menatapku dengan begitu heran. "Gila! Gila! Dhara. Untung gue enggak dapat bimbingan sama dia," ucapnya heboh. Aku mengerutkan kening. Perasaan tidak ada yang salah, tapi kenapa Caca bisa bertingkah sehiperbola itu. "Kenapa emangnya?" tanyaku penasaran. Dia berdesis pelan. "Dia serem banget. Kata Kakak tingkat, bimbingan sama dia dipersulit dah. Siap-siap aja lu, skripsi dua tahun." "Eh iya? terus gimana?" tanyaku mulai panik. Kalau begini, bisa-bisanya keinginanku cepat-cepat lulus bisa gagal. "Ya gatau. Lu jalanin aja dah." Aku terdiam cukup lama. Berusaha berpikir positif. Dosen pembimbingku katanya seram, itu kan persepsi dari kakak tingkat. Setiap orang kan bisa memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam menilai sesuatu. Bisa saja bagiku Pak Aarav itu orang yang baik. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya kembali menatap Caca. "Emangnya dosen-dosen udah pada selesai rapat, Ca?" tanyaku. Kalau sudah, aku akan segera bertemu dengan Pak Aarav. Membuat janji bimbingan dengannya atau kalau tidak bisa, aku hanya ingin melihat wajahnya dan membuat persepsi sendiri. Semoga saja first impression-ku dengannya baik. "Dih kocak. Udah dari tadi. Gue aja udah ketemu sama Pak Bani. Udah sekarang lo ketemu dah tuh sama tuh dosen killer." Aku mengangguk, menyelempangkan tasku lalu bersiap untuk pergi. "Gue duluan, Ca. Doain gue ya." Caca mengangguk mantap. "Iya, semangat. Ingat, jangan aneh-aneh di depan dia." "Iya, iya." Aku berjalan keluar dari kantin lalu bergegas mencari ruangan Pak Aarav. Dari kejauhan aku sudah dapat melihat ruangan yang di pintunya tertulis nama Pak Aarav. Aku mendekatinya lalu mengetuk pintunya beberapa kali. "Masuk." Suara berat dari dalam sana. Dari suaranya saja cukup membuatku merinding. Mungkin benar dosen ini killer. "Assalamualaikum, Pak," salamku sambil membuka pintu kaca ini lebih lebar. Pandanganku menoleh ke dalamnya yang terlihat seorang pria sedang duduk dengan tegak. Tubuhnya atletis, rahangnya tajam, dan matanya menatapku dengan tatapan mematikan. Dari fisik dan ekspresinya saja aku sudah ketakutan. Beberapa detik aku masih dalam posisi ini. Tanganku mendadak dingin dan keringat langsung membahasi tubuhku. "Kenapa mematung di situ?" tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam. Tidak tahu ingin menjawab apa. Dia menunjuk kursi di depannya. "Duduk di situ," perintahnya. Tanpa merespons aku langsung menuruti perintahnya. Kalau tidak, takut-takut dia memandangku dengan tatapan lebih tajam, "ada apa ke sini?" "Saya mau buat janji bimbingan, Pak." Dia memindahkan buku-buku ke dalam rak lalu melirikku sekilas. "Tidak bisa. Saya enggak tahu kamu siapa dan tidak mungkin saya buat bimbingan dengan mahasiswa yang tidak saya kenal." "Saya mahasiswa bimbingan Bapak." "Bagaimana saya bisa tahu kalau kamu tidak memperkenalkan diri." Iya, iya. Aku yang salah. Saking panik dan ketakutannnya aku sampai lupa memperkenalkan diri. "Perkenalkan. Nama saya Dhara, Pak. Mahasiswa jurusan Agroteknologi, semester tujuh. Kebetulan bapak yang ditunjuk sebagai dosen pembimbing skripsi saya." Pak Aarav mengangguk-angguk pelan. "Siapa namanya? Darah?" tanyanya mengulang. "Bukan Darah, Pak. Tapi Dhara. H-nya setelah huruf D." "Itu kan tulisan. Kalau dibaca Dhara dan darah ya terdengar seperti sama saja," ucapnya. Aku mencoba tersenyum, mungkin dia sedang berusaha membuat lelucon, walaupun ya sebenarnya tidak lucu. "Benar kan?" tanyanya lagi. Ini dosen begitu saja pakai minta validasi. Aku mengangguk cepat, dari pada menggeleng dan berakhir dengan masalah yang panjang. Aku memilih mengalah saja. Biarkanlah dia memanggilku darah ataupun Dhara yang penting penulisan namaku benar. "Iya, Pak. Benar." "Ya sudah kalau begitu. Kamu boleh keluar." Lah, dia kan belum merespons tentang jadwal bimbinganku. Masa udah disuruh keluar. "Tapi, Pak. Bimbingan saya gimana?" Dia menunjuk ke sebuah tulisan besar yang berada di dinding sebelah kiri. "Kamu tidak lihat itu?" tanyanya. Aku mencoba membaca tulisan di dinding itu. Begini isinya, Pada jam 12.00 - 13.00 Dosen sedang dalam jam istirahat. Diharapkan bagi mahasiswa/i tidak menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkuliahan. Aku melirik ke arah jam tanganku, waktu sudah menunjukkan 12.58. Kalau memang dia sedang dalam jam istirahat seharusnya dia tidak menyuruhku untuk masuk. Lagi juga, ini tinggal dua menit lagi menuju jam 13.00. Apa susahnya sih tinggal menjawab. "Tunggu dua menit lagi. Saya akan jawab," ucapnya lalu membuka sebuah buku kemudian membacanya. "Ya, sekarang sudah jam satu," dia menegakkan tubuhnya lalu menatap lurus ke arahku, "jadwal saya masih padat. Saya tidak tahu kapan punya waktu untuk melakukan bimbingan denganmu." Aku terdiam, menunggu dia melanjutkan ucapannya. "Minggu depan kamu boleh ke sini lagi. Mungkin saja saya sudah bisa buat janji bimbingan denganmu." Aku lagi-lagi terdiam. Ini masih buat janji bimbingan loh, bukan bimbingannya langsung. Masa sudah dipersulit begini. "Kamu paham Dhara? Kalau iya, kamu boleh keluar." "Baik, Pak. Terima kasih. Maaf menganggu waktunya." Aku keluar dari ruangannya dengan emosi uang yang sudah di ubun-ubun. First impression-ku, benar kata kakak tingkat. Dosen ini adalah dosen yang seram dan juga gemar mempersulit, tapi ada penambahan lagi. Selain kedua hal itu dia juga menyebalkan. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

My Secret Little Wife

read
96.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook