Heroes of The Dead

Heroes of The Dead

book_age18+
103
FOLLOW
1K
READ
dark
curse
mystery
scary
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Seseorang ingin menghabisinya. Sebuah tabrakan dari belakang—terlalu cepat untuk dihindari, terlalu tepat untuk dibilang kecelakaan. Mobilnya terjun ke jurang. Gelap. Sunyi. Dan saat dia terbangun, dunia tak lagi sama.

Matanya rusak parah. Tapi mereka memberinya mata baru—mata dari seorang pendonor yang tak dikenal. Sejak itu, dia bisa melihat hal-hal yang seharusnya tak terlihat. Bayangan berbisik dari balik cermin. Sosok pucat duduk di pojok ruangan sambil menangis tanpa suara. Makhluk-makhluk yang menempel di tubuh orang-orang, menatapnya seolah tahu dia bisa melihat mereka.

Ketakutan jadi rutinitas. Tidur tak lagi membawa istirahat. Setiap malam adalah mimpi buruk yang menolak padam.

Sekarang hidupnya cuma punya satu tujuan: menemukan siapa yang mencoba membunuhnya, dan lebih penting lagi—siapa yang telah memberinya mata ini. Karena mata itu tak hanya melihat kegelapan. Mereka mengundangnya.

chap-preview
Free preview
Babak Pagi Yang Tak Biasa
Tak ada yang terasa aneh saat Emran Danial menghabiskan menit-menit terakhir pagi ini di ruang kerjanya yang cukup luas. Ia sudah mengecek semua anggota yang satu shift dengannya. Semua CCTV juga telah dipantau—semuanya aman dan terkendali, seperti malam-malam sebelumnya. Bahkan, satu termos kopi seduhan Qisya—istri tercintanya—telah tandas ia habiskan, meskipun di ruangannya tersedia berbagai jenis kopi kemasan yang tersusun rapi di dalam lemari. Tak hanya kopi, aneka teh pun tersedia lengkap, termasuk gula putih dan gula aren. Namun, entah kenapa pagi ini perasaannya berbeda. Ada kekhawatiran kecil yang meresap masuk ke pikirannya. Mungkinkah karena ponsel Qisya tak bisa dihubungi? Setelah salat subuh dan berkemas, Emran kembali mencoba menghubungi Qisya. Ranselnya sudah tergantung di punggung, siap untuk pulang. Tapi ponsel Qisya masih juga tak aktif. Mungkin kehabisan baterai? Atau sedang dicas? Biasanya Qisya memang mematikan ponselnya saat mengisi daya. Emran menarik napas panjang. Ya, pasti begitu. Qisya baik-baik saja di rumah. Lingkungan perumahan mereka aman dan nyaman, dengan sekuriti di setiap pintu masuk. Tak sembarang orang bisa keluar masuk. Pikiran itu menenangkan Emran. Tiba-tiba air phone di ruang kerjanya berdering. Cepat ia angkat, karena jika alat itu berbunyi, hanya ada dua kemungkinan: panggilan dari atasan atau masalah. “P-Pak, bisa tolong ke lantai dua? Ada pelanggan mabuk yang mengamuk!” suara seorang wanita terdengar panik. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Emran meletakkan ranselnya dan langsung berlari menuju tangga. Salah satu pintu ruang karaoke keluarga terbuka, terdengar teriakan dan bentakan dari dalam. "Panggil dia! Gue mau lo semua panggil dia sekarang juga! Kalau enggak, gue bakal tetap di sini dan nyakitin siapa pun yang coba macem-macem sama gue! Ngerti?!" Emran tiba di pintu dan melihat pemandangan kacau: seorang pria bertubuh besar berdiri sambil mengacungkan pisau. Ia hanya mengenakan celana panjang dan kaos dalam; kemejanya tergeletak di lantai. Wajahnya memerah, matanya liar, rambutnya acak-acakan—jelas pria itu mabuk berat. Ruangan itu hancur berantakan: gelas dan botol pecah berserakan, sofa dan meja terbalik, TV plasma di dinding pecah. Di lantai, Verry—anak buah Emran—terduduk sambil memegangi pahanya yang terluka parah. Darahnya menggenang. Beberapa pria lain, mungkin teman si pemabuk, meringkuk di sudut ruangan. Dua gadis karaoke saling berpegangan tangan, gemetar ketakutan. Emran mundur ke balik dinding luar ruangan dan segera menelepon polisi serta ambulans. Prosedur menetapkan, jika ada ancaman bersenjata, harus segera lapor—jangan ambil risiko sendiri. Selesai menelepon, Emran melangkah perlahan ke ambang pintu, hati-hati agar tidak mengejutkan pelaku. “Hei, siapa lo?! Jangan maju! Atau gue lukai cewek-cewek ini!” bentak si pria, pisaunya diarahkan ke dua gadis itu. Emran berhenti. “Sabar, Pak. Tolong bersabar,” ucapnya pelan. Ia melirik ke arah Verry yang masih mengerang kesakitan. “Saya Emran Danial, kepala keamanan di sini. Saya cuma mau periksa kondisi anak buah saya. Bisa saya masuk, Pak?” “Enggak! Panggil dia dulu! Baru lo boleh masuk!” “Dia siapa, Pak?” “Siska! Panggil Siska, atau gue ngamuk lagi kayak tadi!” “Siska siapa, Pak? Mungkin saya bisa bantu telepon kalau Bapak kasih nomornya?” “Siska itu mantan istri gue! Udah gue telepon berkali-kali, tapi nomornya gak aktif! Dia pasti udah ganti nomor!” “Kalau begitu, gimana caranya kami bisa manggil dia, Pak?” “Itu urusan lo! Cari dia! Gue gak mau tahu!” Emran berpikir cepat. Ia harus mengulur waktu sampai polisi datang. “Bapak ada ponsel? Siapa tahu ada kontak temannya Siska di sana?” “Udah gue coba! Gak ada yang jawab! Semua perempuan emang sama, b*****t!” Pria itu makin histeris. “Jangan buang waktu! Cari Siska! Dia harus hadap gue! Kalau enggak, gue bakal di sini sampe kiamat!” Emran mengepalkan tangan. Secara fisik, ia mampu menumbangkan pria itu—ilmu bela dirinya cukup. Tapi aturan tegas dari departemen melarang konfrontasi langsung yang berpotensi memperparah keadaan. Ia tak boleh gegabah, apalagi melihat Verry yang mungkin terluka akibat mencoba hal serupa. “Pak! Tolong bebaskan dulu dua gadis itu. Mereka ketakutan, kasihan.” “Enak aja lo! Gue gak sebodoh itu! Sebelum lo bisa manggil Siska kemari, mereka semua akan tetap di sini. Bersama gue. Paham Lo?” Emran kembali berlindung ke balik dinding. Saat itulah Irfan Huzair, pemilik café, muncul dari lift dan cepat menghampiri. “Ada apa ini?” tanya Irfan. Emran menjelaskan situasinya. Membuat Irfan mengumpat pelan. “Pantas aja ditinggal istrinya. Manusia tak berguna.” Beberapa polisi bersenjata tiba melalui tangga. Seorang pria dengan seragam lengkap memperkenalkan diri sebagai Iptu Hendrawan. Setelah menerima penjelasan singkat dari Emran, mereka langsung menyerbu ruangan. Situasi mendadak meledak: teriakan, barang pecah, suara benturan. Si pria mencoba menyandera salah satu gadis, tapi Iptu Hendrawan bertindak cepat—melompat, menghantam punggung si pelaku, dan menjatuhkannya di atas meja kaca. Suara kaca pecah menggelegar. Tak sampai lima menit, pria itu telah diborgol dan digiring keluar. Petugas medis segera mengevakuasi Verry, dan semua sandera dibawa untuk dimintai keterangan. Irfan menepuk bahu Emran sambil tersenyum. “Thanks, Bro. Lo udah ambil langkah yang benar. Nggak nekat jadi pahlawan. Padahal gua tahu banget Lo mampu bikin orang gila tadi jadi tape.” Emran tergelak dan mengangguk sedikit. “Makasih, Bang.” “Lo udah ganti shift, kan? Pulanglah. Istri lo pasti nunggu.” “Siap, Bang. Sampai jumpa besok. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Irfan membalas dengan menepuk lengannya ringan. * Jam baru menunjukkan pukul lima pagi saat Emran menyalakan motor besarnya. Jalanan masih sepi. Baru beberapa angkutan kota dan motor melintas. Matahari belum muncul, dan udara pagi masih menggigit, meski jaket tebalnya cukup menahan dingin. Udara pagi masih menggigit, menusuk masuk lewat celah helm meski jaket Emran cukup tebal. Perjalanan menuju rumah biasanya hanya butuh sekitar setengah jam—kalau lalu lintas selancar ini. Beberapa menit lagi, dia akan tiba di rumah. Di sana, wanita yang telah ia cintai selama tiga tahun terakhir sedang menunggunya. Emran melirik kaca spion. Ada cahaya terang dari belakang—mobil pick up. Terlalu dekat. Terlalu cepat. Emran mempercepat motornya, menjaga jarak. Tapi mobil itu ikut ngebut, tetap menempel di ekornya. "Apa-apaan, sih?!" gumamnya, mulai kesal. Dia menambah kecepatan, tapi mobil itu seperti bayangan—tak mau lepas. Ada apa ini? Si pengemudi iseng? Mau ngajak ribut? Atau ... Di kejauhan terlihat persimpangan. Emran membelok tajam, mencoba kabur, memastikan apakah memang sedang dibuntuti. Mobil itu terus melaju lurus. Tidak mengejar. Emran menghela napas. Lega. Tapi hanya sebentar. Cahaya terang lainnya muncul dari arah depan. Kali ini, lebih cepat. Lebih membabi buta. Emran spontan menghindar ke kiri. Tapi belum sempat berpikir, mobil pick up lain sudah muncul dari tikungan, menabrak dengan kecepatan maksimal, menghantam dari depan. BRAGG! Tubuh Emran terlempar ke udara seperti boneka. Teriaknya menggema, hanya sekilas, sebelum tubuhnya menghantam aspal keras — dan dunia langsung berubah jadi gelap.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
153.4K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
176.5K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
298.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
216.8K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.8K
bc

TERNODA

read
193.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook