bc

My Sexy Housemate

book_age18+
2.8K
FOLLOW
10.6K
READ
love-triangle
friends to lovers
drama
sweet
campus
coming of age
secrets
colleagues to lovers
classmates
passionate
like
intro-logo
Blurb

Disalahkan karena kematian kakaknya, membuat Dela jenuh dan muak. Ditambah menjalin hubungan dengan Revo---laki-laki egois, semakin menambah beban yang Dela rasakan. Dela memilih pergi dari rumah dan memutuskan hubungan dengan Revo, demi menjaga kewarasannya. Dia tak ingin gila di usia muda.

Berkat bantuan dari sahabatnya, Dela mendapat tempat tinggal yang sesuai dengan isi dompetnya, meski dengan syarat yang sedikit dibilang sulit. Dan hebatnya, Dela serumah dengan Dave, laki-laki yang memiliki b*kong seksi di kelasnya.

Pergi dari rumah berniat ingin menjaga kewarasan, yang Dela dapatkan malah semakin gila karena serumah dengan Dave. Dela harus melihat b*kong seksi dan perut kotak-kotak milik Dave setiap hari.

Bisakah Dela melewati ini?

chap-preview
Free preview
Part 1
Dela melihat jam di dinding, pukul tujuh kurang lima menit, yang artinya 20 menit lagi mata kuliah pertama dimulai. Dengan tergesa-gesa perempuan itu berlari menuju kamar mandi, mengambil handuk yang menggantung di dinding. Tidak sampai lima menit, Dela keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil asal baju yang ia dapat di lemari. Dosen mata kuliah promosi kesehatan hari ini sangat lah galak, jika terlambat satu menit saja dapat dipastikan nama kita akan ditandai merah olehnya. Dela langsung keluar kamar, bergitu sudah selesai bersiap. Melihat jam yang berada di pergelangan tangan kirinya, pukul tujuh lewat satu menit. Jika bus tidak penuh, dia bisa sampai tepat waktu. “Dela,” panggil Alicia—Ibunya, yang berdiri di belakangnya. Dela memejamkan matanya sebentar, kenapa Ibunya harus terbangun saat dia buru-buru ke kampus. Dela berbalik, “Iya, Bu?” Alicia meregangkan tubuhnya, sambil menguap. “Siapkan sarapan untuk Ibu dan Ayah, hari ini kami akan belanja bahan untuk toko, jadi Ibu mau langsung bersiap.” Ayah dan Ibu Dela memiliki toko kue yang sedikit jauh dari rumah mereka. Pertemuan kedua orang tuanya memang berasal dari kelas kursus membuat kue yang diikuti keduanya. Menjalin hubungan selama satu tahun, mereka memilih menikah. Penghasilan keluarga Dela memang hanya berasal dari toko kue yang sudah berdiri kurang lebih tujun tahun itu. “Tapi, Bu. Dela sudah terlambat. Kalau gak buru-buru berangkat, bakalan ditandai dosen, Bu,” jelas Dela sedikit memelas. Alicia menoleh, menatap Dela dengan tatapan tajam. “Saya tidak perduli dengan pendidikan kamu. Kamu harus ingat, saya kehilangan anak saya, karena kamu.” Memang seperti itu, semenjak kepergian Caliista—kakak Dela, orang tuanya membencinya. Mereka menganggap, kepergian Callista karena dirinya. Dela harus menahan semua luka itu dan menganggap mereka belum siap kehilangan sang kakak. Namun, sudah 17 tahun berlalu, apa orang tuanya juga belum menerima kenyataan? Dela menarik napasnya pelan, melihat kembali jam tangannya. Sudah pukul tujuh lewat lima menit, andai sekarang dia berlari menuju halte bus, dia tetap saja terlambat. “Dela juga anak Ibu,” katanya dengan gumaman kecil. “Buruan siapin makanan!” bentak Alicia, kemudian berjalan menuju kamarnya. Dela meletakan tas dan buku yang ia pegang di atas meja. Berjalan menuju dapur. Dengan cepat, Dela membuka kulkas, mengambil beberapa bahan yang akan ia pakai untuk membuat nasi goreng. Mulai dari memotong bawang, mengiris cabai, Dela lakukan dengan sangat ahli. Wajar saja, dia sudah terbiasa melakukan itu semua sejak berumur enam tahun. Alicia selalu memaksanya untuk memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian. Wanita itu tidak perduli meski Dela masih sangat kecil. Kebenciannya pada Dela, membuatnya lupa bahwa Dela juga anaknya. Selesai menyiapkan sarapan, Dela menatanya dengan rapi di meja. Perempuan itu tersenyum senang. Meski dia terlambat di mata kuliah pertama, tapi Dela tak akan terlambat di mata kuliah kedua. Dela melihat pintu kamar ibunya yang masih tertutup. Dengan cepat, Dela mengambil tas dan bukunya, kemudian memakai sepatu. Ini kesempatan buat dia segera pergi, sebelum Ibunya itu akan menyuruhnya kembali. *** Andin---teman baik Dela, mengerutkan keningnya melihat penampilan Dela yang tidak ada bagus-bagusnya. Perempuan itu duduk di sudut kanan kantin, sambil menikmati nasi goreng yang ia bawa dari rumah, dan sebotol s**u cokelat. “Kenapa nggak masuk mata kuliah pertama?” tanya Andin tiba-tiba dan langsung duduk di samping Dela. Dela mengelus dadanya, karena terkejut akan kehadiran Andin. “Kebiasaan lo nggak pernah hilang, ya. Kayak jelangkung aja, datang tak dijemput, pulang tak diantar.” Andin hanya terkekeh, menarik tempat nasi goreng milik Dela, kemudian melahapnya. Untuk urusan masak, Dela jagonya. “Jadi, kenapa lo nggak masuk?” tanya Andin lagi. “Biasalah,” jawab Dela seakan hal seperti memang sering terjadinya. “Ibu lo? Atau Revo?” “Ibu, gue belum ada ketemu Revo pagi ini. Lo lihat dia nggak?” Andin meneguk air putih yang ada di depannya. “Ngapain lo cari-cari dia?” “Lah, Revo kan pacar gue, wajar gue carilah.” Selama dua tahun terakhir, Dela menjalin hubungan dengan Revo. Menurut beberapa orang termasuk Andin, Revo itu bukan orang yang baik. Revo hanya memanfaatkan Dela saja, dan Dela tau itu. Andin sering mengatakan pada Dela, tinggalkan Revo, tapi perempuan itu tak mau. Dia takut, setelah Revo tidak akan ada lagi yang mencintainya, tidak ada yang mau menerimanya. Terdengar Andin menghela napasnya kasar. “Kapan si mata lo itu ke buka, Del? Revo manfaatin lo doang.” “Nggak papa, Din. Berarti gue bermanfaat bagi orang lain.” Andin mendengus kesal. “Terserah lo, deh. Capek gue. Tadi pas keluar kelas, gue ngelihat Revo.” “Di mana?” “Di fakultas ekonomi, gandeng cewek blonde yang bajunya nggak sesuai badan. Badannya besar, baju yang dipakai buat anak SD.” “Mungkin itu temannya, Din. Nanti selesai kelas kedua, Revo pasti datangi gue di kelas.” Andin memutar bola matanya malas, berdiri kemudian meninggalkan Dela sendirian. Dia sudah lelah melihat kebodohan temannya itu. *** Hampir 15 menit, Dela dan teman sekelasnya menunggu kehadiran dosen mata kuliah yang akan masuk siang ini, namun batang hidungnya tak juga terlihat. “Keluar yuk, tuh dosen nggak akan masuk,” ajak Andin yang sudah bersiap merapikan buku-bukunya. “Gue di sini aja, mau nunggu Revo,” jawab Dela tanpa menoleh. Andin menoleh, “Yaudah gue di sini aja, nunggui lo,” katanya kemudian duduk dengan kasar. “Lo kenapa, sih? Sensian banget sama Revo?” tanya Dela. Andin memasang wajah begonya menatap Dela. Benarkah Dela bertanya seperti itu? “Lo sadar gak sih nanyak begitu, Del?” “Sadar, lah.” “Lo tau Revo kan? Laki-laki yang selalu nyelingkuhi lo? Dan kembali lagi dengan lo setelah bosen sama selingkuhannya?” Dela mengangguk. “Lo tau juga kan, kalau lo teman gue?” Dela mengangguk lagi. “Jadi, kenapa masih nanya lo? Sakit jiwa lo, ya!” “Revo tuh baik sama gue, Din, cuma Revo yang mau sama gue, cewek yang nggak ada cantik-cantiknya ini. Lo lihat aja, penampilan gue nggak secantik lo dan yang lainnya, tapi Revo tetap nerima gue. Dan gue tempat dia, untuk kembali pulang,” jelas Dela dengan sangat yakin. Sedangkan Andin memilih menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan dari pada mendengar kebucinan Dela yang sudah level t***l. Teriakan beberapa mahasisiwa dari luar, membuat Dela menoleh ke arah pintu. Terlihat sosok Dave yang berjalan memasuki kelas. Dave---laki-laki yang memiliki b****g seksi di kelas Dela. Laki-laki pendiam dengan seribu pesonanya. Selain memiliki b****g yang seksi, Dave juga memiliki wajah yang tampan dan rahang yang tegas, membuat para perempuan semakin memujanya. Dela tidak munafik, dia suka melihat wajah yang Dave miliki. Alis tebal, rahang tegas, dan mata yang tajam. Sosok sempurna bagi Dela. Namun, Dave tak mungkin menyukainya, banyak perempuan seksi di kampus ini, dan pastinya Dave memilih di antara mereka. Dave juga terkenal sebagai playboy, namun itu semua tak menjadi penghalang untuk mengidamkannya. Dave sempat melihat Dela yang sedang menatapnya, tapi hanya sebentar, setelah itu dia membuang pandangannya dan fokus pada ponsel yang ia pegang. Tidak berapa lama, sosok Revo terlihat. Dia tidak sendiri, melainkan bersama perempuan bahkan memeluk pinggangnya dengan posesif. Dela menahan napasnya melihat itu, sesak? Tentu. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Andin mengangkat wajahnya, menoleh ke arah pintu di mana Revo sedang tertawa bersama perempuan yang entah berasal dari fakultas mana kali ini. “Itu laki-laki yang lo cintai? Buka mata, Del! Lem apa yang lo pakai di mata, sampai susah banget buat ke buka? Lem setan? Setannya Revo!” “Itu pasti teman tongkrongannya doang, Din.” “Astaga, Dela! Kita sering nongkrong, tapi nggak pernah tuh gue lihat lo dipeluk-peluk cowok lain.” Andin mengangkat satu alisnya melihat Dela. “Gue kan udah punya pacar, buat apa dipeluk sama cowok lain?” “Ya, terus menurut lo si Revo nggak punya pacar makanya bebas meluk tuh betina?! Terus lo ini siapanya Revo, dong? Heran gue!” Andin mengeluarkan kipas kecil yang memang selalu ia bawa keman-mana. Terkadang menyadarkan Dela dari cinta begonya itu lebih sulit dari pada memahami matematika kelas 12 SMA. Dela tak menggubris perkataan Andin. Perempuan itu membalas senyum yang Revo berikan. Tampak Revo mengecup pipi perempuan itu, kemudian masuk ke dalam kelas. Dan anehnya, perempuan itu juga masuk ke dalam kelas, berjalan menuju kursi Dave. Mata Dela mengikuti langkah kaki perempuan itu seraya mengerutkan kening. Begitu juga dengan Andin. “Lo lihat? Perempuan yang didekati Revo, nggak pernah ada yang genah.” “Alasan gue nggak pernah marah, ya, itu, Din. Gue ngerasa lebih baik dari pada perempuan-perempuan yang Revo dekati, ya walaupun mereka lebih cantik dari gue.” Andin memutar bola matanya. Dela ini sebenarnya cantik, tapi dia malas untuk berdandan. Kata Dela, sudah sukur kantongnya cukup untuk ongkos ke kantin. Jadi, perempuan itu memilih tidak perduli dengan penampilannya. Yang Dela inginkan sekarnag hanya cepat selesai kuliah dan terbebas dari semua beban yang dia pikul. “Ayo kita pulang, Sayang. Aku rindu banget sama kamu,” kata Revo yang sudah berdiri di depan Dela, bahkan mengecup pipi kanan Dela, dengan bibir yang baru saja ia pakai mengecup pipi perempuan lain. “Hai, Andin,” sapa Revo memainkan satu matanya. “Gue colok tuh mata, buta lo!” Revo terkekeh kecil mendengar itu. Cuma Andin yang tidak tertarik dengan Revo, padahal jika dibandingkan dengan Dave, Revo tak kalah tampan. Hanya saja, Dave lebih cool karena tidak suka tebar pesona, sedangkan Revo kebalikannya. Lebih tepatnya sok ganteng! “Lo kapan putusin, Dela sih?” tanya Andin menatap jijik ke arah Revo. “Kalau lo mau jadi pacar gue, gue tinggalin Dela.” Lihatlah? Apa ada pacar yang mengatakan hal seperti itu di depan pacarnya sendiri? Jika ada, hanya Revo lah orangnya. Dan yang paling membuat Andin kesal, Dela terlihat baik-baik saja dengan itu semua. Dela tersenyum tipis, menoleh ke arah Andin. “Gue duluan ya, Din.” Sebelum benar-benar keluar kelas, Dela sempat menoleh ke arah Dave dan mendapati laki-laki itu yang menatapnya .

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook