Salah Sebut
“Mas Arka ganteng banget dengan setelan jas seperti ini.” Aku tersenyum saat melihat foto pernikahan kami dari layar ponselku.
Ini hari minggu kedua Aku menjadi Nyonya Arka Emyr Haddad, istri dari seorang dokter spesialis kandungan di tempatku bekerja.
Ya, kami bekerja di rumah sakit yang sama. Di sanalah kami bertemu pertama kali dan memutuskan untuk menikah, tanpa melalui proses pacaran sama sekali.
Bukan karena aku tidak suka dengan proses pacaran, tapi karena Mas Arka yang langsung meminangku. Aku sama sekali tidak menyangka. Kami hanya beberapa kali bertemu dan saling sapa namun Mas Arka langsung mengajakku menikah di bulan kedua Mas Arka bekerja di rumah sakit itu.
Aku akui pesona Mas Arka memang luar biasa. Laki-laki tampan dengan tubuh bak model itu begitu intens memberiku perhatian selama dua bulan aku mengenalnya. Banyak orang mengira kami telah lama berpacaran karena terlihat begitu dekat, padahal batinkupun sempat bertanya-tanya bagaimana sebenarnya isi hati Mas Arka terhadapku. Dia tidak pernah memintaku untuk menjadi pacarnya, namun dia langsung meminangku untuk menjadi istrinya. Wanita mana yang sanggup menolak semua pesona sempurna seperti itu?
Netraku beralih kepada seorang wanita yang berada di samping suamiku itu, yang tak lain adalah diriku sendiri.
“Gaun pengantinku. Ck!” Aku segera mematikan layar ponselku sembari memejamkan kedua mataku.
Gaun pengantin yang aku pakai di acara pernikahannku bukanlah gaun pengantin impianku. Itu merupakan pilihan dan keinginan Mas Arka. Gaun pengantin super terbuka yang hampir memperlihatkan seluruh lekukan tubuh indahku. Bahkan seluruh keluarga dan teman-temanku begitu terkejut saat melihat aku memakai gaun itu.
“Sudahlah. Yang penting Mas Arka senang. Toh ini kan pernikahan kami.” Aku menghelakan napas dengan kasar, berusaha menghibur hatiku sendiri. aku meletakkan ponselku ke atas meja nakas yang ada di samping tempat tidur kami.
“Ada apa?” tanya Mas Arka yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.
Aku mengangkat wajahku yang tadi tertunduk lesu, melihat ke arah suamiku yang baru saja selesai mandi. Tubuh bidang kekar menjulang dengan otot kotak-kotak di bagian perutnya selalu berhasil menghipnotis netraku setiap hari semenjak berstatus sebagai istri dari laki-laki tampan itu.
Wajahku perlahan memerah begitu mengingat bagaimana nyamannya tubuh itu memelukku setiap malam. Begitu menyadari bahwa suamiku akan segera membuka handuk yang membungkus bagian bawah tubuh kekarnya itu, Aku langsung membaringkan tubuhku dan membenamkannya ke dalam selimut. Entah kenapa Aku masih selalu malu setiap kali melihat tubuh suamiku, padahal sudah hampir dua minggu aku menikmati kepolosan tubuh itu.
Aku masih bisa melihat Mas Arka terkekeh melihat tingkah malu-maluku barusan dari celah selimut yang menutupi wajahku. Dengan cepat Mas Arka mengambil baju tidurnya yang ada di dalam lemari dan memakainya.
Mas Arka berjalan menuju ke tempat tidur dan beringsut ke bawah selimut yang sama denganku.
“Mau berapa lama tangannya nutupin muka begitu?” tanya Mas Arka sambil terus menatapku. Tubuhnya kini telah miring sempurna menghadap ke arahku.
Aroma wangi dan segar langsung merambat ke penciumanku. Aroma favoritku yang membuatku candu. Aku membuka tanganku dengan perlahan dan melihat ke arah Mas Arka. Alis matanya yang tebal dengan tatapan tegas dan menggoda mengarah kepadaku, membuatku tersenyum malu.
Mas Arka ikut tersenyum melihat tingkahku, namun perlahan senyum itu memudar begitu netranya menyadari sesuatu.
“Kenapa masih memakai baju itu?” tanya Mas Arka. Wajahnya menyiratkan kekesalan dan sedikit amarah.
Aku terkejut dan spontan melihat ke baju tidur yang sedang Ku pakai.
“Kan Mas sudah bilang jangan pakai pakaian seperti itu lagi. Mas kan sudah membelikan kamu banyak baju tidur yang lain.” Kali ini nada suara Mas Arya terdengar sedikit meninggi.
“Ma-maaf, Mas. Aku merasa kurang nyaman memakainya. Terlalu ter-“
Belum selesai Aku menjelaskan alasannya, Mas Arka sudah menyibakkan selimut yang tadi menutup tubuh kekarnya dan berjalan menuju ke lemari.
Mas Arka membuka pintu lemari itu dan mengeluarkan semua piyama panjang milikku yang sejak lajang sudah aku miliki.
“Mulai besok Mas tidak ingin semua baju ini ada di lemari. Pakai baju yang Mas belikan untukmu, Kinanti,” ucap Mas Arka marah dengan menyebut namaku.
“I-iya, Mas.”
“Ganti baju itu sekarang!” perintah Mas Arka.
Aku bergerak turun dari tempat tidur, mengambil sebuah baju tidur yang lebih terlihat seperti bikini dalam balutan kain transparan dan menggantinya di kamar mandi.
“Tak kusangka Mas Arka semarah itu. Aku benar-benar belum terbiasa dengan semua pakaian minim seperti ini.” Aku merentangkan lingerie merah ke hadapanku.
“Sudahlah. Mas Arka sepertinya suka kalau aku berpenampilan terbuka di depannya. Ini kan termasuk ibadah. Aku harus membiasakan diriku.”
Aku keluar dari dalam kamar mandi begitu selesai memakai lingerie pemberian Mas Arka tadi. Aku melihat ke arah Mas Arka yang sedang sibuk dengan ponselnya di atas tempat tidur. Aku segera masuk ke dalam selimut. Pendingin ruangan itu terasa langsung menusuk kulitku dengan pakaian yang sangat minim seperti ini.
“Mas, maafin aku soal yang tadi ya. Aku masih belum terbiasa dengan pakaian ini. Tapi nanti akan aku usahakan agar bisa terbiasa dengan ini,” ucapku dari dalam selimut sambil menatap ke arah Mas Arka.
Mas Arka meletakkan ponselnya. Netranya melihat ke arahku dan tersenyum, kemudian membaringkan tubuhnya.
“Tidak apa. Maaf tadi mas juga terlepas emosi.” Mas Arka tersenyum sambil mengelus lembut pipiku.
Mas Arka menatap wajahku cukup lama, membuatku merasa kikuk dan bingung.
“Kenapa lihatin aku begitu sih, Mas?” tanyaku.
Baru saja Aku menyelesaikan kalimatku, Mas Arka langsung melahap bibirku. Aku terpejam menikmati serangan tiba-tiba itu.
“I love you, Win,” ucap Mas Arka di sela ciumannya.
Kedua netraku spontan terbuka, “Win? Siapa Win?” batinku.
***
Aku berkutat di dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh tadi. Dengan cekatan aku mempersiapkan sarapan untuk aku dan Mas Arka.
“Mas sudah sudah mandi?” tanyaku saat melihat Mas Arka turun dari lantai dua.
Aku meneruskan kegiatanku menata sarapan yang baru saja aku buat di atas meja makan.
“Selamat pagi, Sayang.” Mas Arka memelukku dan mencium keningku.
“Ayo sarapan dulu, Mas. Hari ini Mas ada pertemuan dengan POGI kan?” tanyaku.
Mas Arka menganggukkan kepalanya kemudian mengambil tempat duduk di meja makan.
“Kamu juga sudah mulai masuk kerja kan hari ini?” tanya Mas Arka sambil mulai menikmati sarapannya.
“Iya, Mas,” ucapku sambil mengambilkan air minum untuk Mas Arka.
“Nanti pulangnya Mas jemput ya.”
Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Mas, aku boleh nanya gak?”
“Mau nanya apa sayang?” Mas Arka mengambil air minum yang adi atas meja begitu makanan yang ad aid dalam mulutnya telah ditelannya.
“Kenapa sih mas sering manggil aku dengan panggilan ‘Win’ kalau kita lagi mesra-mesranya?”
Air minum yang baru saja masuk ke dalam mulut Mas Arka langsung menyembur ke arahku. Aku spontan menutup kedua mataku.
“Ma-maaf. Mas tidak sengaja,” ucap Mas Arka panik sambil mengambil tisu dan mengelap wajahku yang basah.
“Gak apa-apa, Mas. Aku juga masih belum mandi kok,” jawabku sambil meraih tisu yang ada id tangan Mas Arka dan mengelap sendiri wajah dan tanganku.
“Jadi Win itu siapa, Mas?” tanyaku lagi karena masih belum mendapatkan jawaban dari Mas Arka. Aku tidak mau setiap hari overthinking sendiri karena hal ini.
“Itu kan nama kamu,” jawab Mas Arka.
“Namaku?” Aku mengernyitkan keningku sambil melihat ke arah Mas Arka.
“Kadang Mas memang tidak terlalu fokus dengan omongan mas kalau sedang bersama kamu. Itu maksudnya Kin bukan Win. Itu Kinan maksudnya, Sayang,” jelas Mas Arka.
Aku terdiam sejenak. Bukannya tidak yakin dengan penjelasan Mas Arka. Mestinya khilaf itu sekali atau dua kali kan? Tapi kalau setiap menciumku Mas Arka selalu salah memanggil namaku, bukankah hal itu cukup aneh?