bc

Like a Dandelion

book_age16+
145
FOLLOW
1K
READ
fated
aloof
powerful
confident
drama
humorous
lonely
reckless
like
intro-logo
Blurb

Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya.

Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan.

Tak pernah terbesit sebelumnya di pikiran mereka, tetapi seperti inilah takdir membawa.

Jika kita diibaratkan Dandelion, maka takdir diibaratkan angin.

"Seperti Dandelion yang tidak tau ke mana angin membawa, dan di mana kehidupan baru berlanjut."

chap-preview
Free preview
Prolog
Hari sudah malam, kendati demikian, gadis cantik itu masih saja berkutat dengan pekerjaan yang belum juga usai. Rambut yang dicepol asal menampilkan leher putih mulusnya, kaos putih lengan panjang serta celana jeans pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Penampilan sederhana yang membuat orang lain terutama kaum adam terpesona. Dia salah satu desainer muda di Paris. Usianya bahkan masih 25 tahun. Sekarang ia sedang merancang sebuah design gaun pengantin untuk client barunya. Sesekali ia merentangkan tangannya yang terasa pegal, atau memijat leher dan bahu. Diliriknya arloji yang berada di samping laptop. 10:00 p.m "Huh, sudah jam segini," keluhnya yang mulai terasa penat, tetapi pekerjaannya tak kunjung usai. Dia mulai kehilangan konsentrasi karena mengantuk. Padahal baru jam segini, pikirnya. Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak menuju dapur dan membuat secangkir cokelat. Lalu dibawanya cangkir berisi cokelat itu menuju balkon apartemen. Dia sangat menikmati cokelat buatannya sembari memandangi indahnya kota Paris. Dengan lampu jalan yang menghiasi jalanan kota, dan kondisi kendaraan yang masih berlalu lalang. Ia menyeruput cokelat itu dalam diam, sesekali meniup lalu meneguknya. Tak lama kemudian terdengar suara dering ponsel. Ia segera beranjak untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di meja ruang tengah. Senyum tipis terukir ketika ia melihat siapa yang menelponnya. "Fussy." Kemudian ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga. "Kamu masih belum tidur?!" ucapnya dengan nada yang tinggi, membuat gadis itu menjauhkan ponsel dari telinga. "Kamu terlalu berlebihan, ini baru jam sepuluh malam," ucap gadis itu. "'Baru' kamu bilang? Ini udah malam Adel." Ya, gadis yang sekarang tengah memutar bola matanya dengan malas itu bernama Adel. "Pokoknya aku nggak mau tau setelah pembicaraan ini selesai, kamu harus sudah meninggalkan pekerjaanmu lalu tidur!" titah lelaki di seberang tidak terbantahkan. "Okey, baik fussy," kata Adel seraya terkekeh. "Biar aku tebak, kamu masih belum mengganti namaku yang ada di ponselmu, hmm?" "Hehe, oke-oke nanti aku ganti. Thanks, you're always be a good friend for me." Terdengar suara helaan napas di seberang sana. "Hallo," panggil Adel karena tak kunjung mendapat jawaban dari sang teman. "Iya Adel, mm-sudah dulu ya, good night!" ucap pria itu, belum sempat Adel menjawab sambungan teleponnya terputus. Adel melihat layar ponselnya lalu bergumam, "Apa kata-kataku ada yang salah?" Adel mengernyitkan dahinya bingung sekaligus mengingat-ingat apa saja yang barusan ia katakan, kemudian pandangannya teralihkan oleh kotak kayu yang berada di bawah meja kerjanya. Dia menunduk lalu mengambil kotak tersebut. Kotak itu berisi barang-barangnya sewaktu ia masih SMA. Kenangan masa-masa SMA di negara kelahirannya. Dahulu dia hanyalah seorang gadis remaja polos yang berpenampilan nerd. Berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini. Ia mulai membuka kotak tersebut, sekelebat kenangan langsung terlintas di benaknya. Dahulu ia hanyalah seorang gadis SMA yang tidak memiliki teman, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan laki-laki itu. Pertemuan yang tidak biasa, pertemanan yang tidak biasa. Seulas senyum terpampang di wajah cantiknya. *** 8 tahun yang lalu di Indonesia Beberapa hari yang lalu jalanan ini menjadi saksi bisu tingkah generasi bangsa. Sisa kekacauan kemarin masih memghiasi tiap sudut jalan. Beberapa orang berpakaian oren sudah sibuk dengan perkakas yang mereka bawa. Lelaki berhoodie hitam melewati jalan itu dengan kepala tertunduk. Sejujurnya, ia sudah tidak sabar ingin meregangkan seluruh saraf tubuhnya. Tertidur di kursi kayu semalaman membuat ia merindukan kasir king size di kamarnya. Benda pipih di dalam sakunya bergetar, membuat ia harus merogohnya. 'Papa pulang cepat. Tetap di kamarmu!' Sebuah notifikasi muncul di layar gawainya. Sebaris kalimat yang baru ia terima. "Ngapain juga dibebasin, tapi dipenjara lagi," desahnya sambil memasukkan kembali gawainya ke dalam saku celana. Tangannya yang lain ikut masuk ke dalam saku untuk mengambil sebatang nikotin yang tersisa. *** Alarm jam beker itu berbunyi sangat nyaring, tetapi masih tak mampu membangunkan sang empunya. Pasalnya tadi malam dia harus menonton tim bola kesayangannya. Tangannya kini meraba-raba nakas yang berada di samping tempat tidur berspreikan logo ‘barca’. Setelah tangan itu berhasil menggapai alarm, dia langsung mematikannya dan menarik tangannya yang masih memegang alarm. Mengarahkan jam itu ke wajahnya untuk melihat angka yang tertera di jam digital tersebut. 06.15 “Hah!” ia benar-benar terkejut. Dia langsung bergegas keluar kamarnya menuju kamar mandi. Setelah keluar kamar mandi ia langsung mencari seragam di lemari. Dikeluarkan asal bajunya hingga kini baju-baju itu berserakan di lantai. Setelah menemukan apa yang dicari, ia langsung mengenakannya. Seragam putih ber-nametag Adelina Putri, dan rok abu-abu selutut itu ia gunakan secara kilat. Bahkan rambut pendek sebahunya pun hanya disisir menggunakan tangan. Tak lupa dengan kacamata besarnya. Di luar kamar ia menemukan sang bunda yang sudah menyiapkan bekalnya. “Makasih, Bun, bekalnya. Assalamualaikum." Adel segera menyambar kotak makan berwarna merah itu dan langsung berlari ke arah teras. “Waalaikumsalam, hati-hati!" Adel hanya mengangkat jempolnya tanda mengiyakan ucapan bundanya. Adel bergegas mengeluarkan sepeda kesayangannya, lalu mengayuhnya dengan tempo yang cepat. Embusan angin menerpa wajahnya yang tengah fokus memerhatikan jalan. Rambut pendeknya bertebrangan karena bertabrakan dengan angin. Mobil yang baru ingin memasuki gerbang sekolahnya terpaksa harus berdecit karena mengerem mendadak. Adel mengendarai sepedanya dengan cepat menyalip mobil yang hendak masuk. Tinn! "Woy! Nyari mati ya!" seru si pengendara mobil. Adel segera menuju parkiran dan memarkirkan sepeda. Matanya memicing melihat mobil yang hampir saja ia serempet. Mobil itu juga akan memasuki parkiran khusus kendaraan roda empat. Adel berjalan menunduk, bersembunyi di balik tanaman di area parkir itu. "Huh." Ia mengusap dadanya yang cukup cepat berdebar. Hatinya lega, untung saja ia tidak bertemu dengan si pengendara itu. Dengan langkah cepat ia buru-buru masuk ke dalam kelasnya. Untunglah dia belum terlambat, masih ada waktu 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Dia duduk di bangku paling belakang. Melihat di sekelilingnya tampak beberapa anak perempuan sedang bergosip, ada yang sedang tertawa, membicarakan idola mereka, dll. Sedangkan dia... Mungkin karena dia yang introvert? Entahlah. Suara derap langkah santai terdengar jelas di telinga Adel. Perempuan itu menoleh dan menemukan si empunya suara itu. “Jangan lupa sabtu siang ke rumah gue ya, kerja kelompok bahasa Indonesia.” Dia adalah Dion, ketua kelasnya yang dingin. Jika diperhatikan Dion memiliki wajah yang tampan sebenarnya. Tingginya 175 cm, kulitnya kuning langsat, Dion memiliki alis yang tebal dan sepasang mata yang tajam. Namun, karena sikap tidak ramahnya membuat ia tidak pernah terlihat berdekatan dengan perempuan, dengan kata lain Dion salah satu idola di Sekolahnya yang tak memiliki pacar. “Adel! Lo denger gak sih?” tanya Dion yang tak kunjung mendapat jawaban. Ia mengernyit karena lawan bicaranya hanya menatapnya. “E..eh, i..iya, aku denger kok. Hari sabtu, 'kan?” ucap Adel gugup. ‘Kenapa harus gugup juga sih?’ batin Adel. “Hm, gue tunggu.” Lalu pergi Baru saja Adel ingin membalas Dion sudah berlalu dari hadapannya. See? Ketua kelas yang dingin

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DENTA

read
17.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook