bc

Noktah Cinta

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
possessive
playboy
arrogant
police
campus
city
highschool
expirenced
like
intro-logo
Blurb

Miranda yang tak tahu jika kekasihnya telah menikah dengan orang lain, memutuskan hubungannya setelah istri sah dari Effendy menelepon.

Effendy yang sangat mencintai Miranda pun tak rela diputusin, mengambil kesucian Miranda agar ia tak ditinggalkan. Namun semua tak seperti yang diharapannya. Miranda tetap memutuskan hubungan dan pergi menjauhinya.

Setelah kehilangan kesuciannya, Miranda pulang ke kota kelahirannya.

Ia bertemu kembali dengan Aldi, Om dari Ratna, sahabatnya semasa sekolah.

Aldi telah jatuh cinta pada Miranda saat Miranda masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Bagaimana jika Aldi tahu bahwa wanita yang selama ini dicintainya sudah tak virgin lagi?

Akankan ia tetap maju dan menerima Miranda apa adanya? Akankah Miranda pun menerima pinangan Aldi? Ataukah Miranda akan kembali lagi dan menikah dengan Effendi?

chap-preview
Free preview
NC bagian 1
"Halo, Assalamualaikum." Terdengar suara seorang wanita dari seberang sana setelah ada panggilan masuk dari nomor tanpa nama, kuangkat. "Wa'alaikum salam." Aku mencoba menjawabnya dengan tenang meskipun hati ini penuh dengan rasa tanya. "Mbak punya hubungan apa dengan suamiku?" Wanita itu langsung bertanya tanpa berbasa-basi. "Maksudnya?" tanyaku semakin tak mengerti. Aku saja tak kenal siapa wanita ini apalagi suaminya, yang jelas-jelas aku tak tahu siapa suami dari wanita ini. "Maaf sebelumnya, apa benar ini Mbak Mi-Miranda ...," ucapnya ragu-ragu dalam menyebutkan namaku. "I-iya .... Saya Miranda." Aku mencoba mengeluarkan suaraku dengan nada hati-hati. "Mbak Miranda kenal dengan Mas Effendy?" Mas Efendy? Siapa wanita ini? Apa mungkin Mas Effendy sudah menikah? Sejak kapan? Lantas kenapa ia tak pernah cerita padaku? "Mbak kenal dengan Mas Effendy?" ujarnya lagi yang membuyarkanku dari lamunan. "Maaf, Mbak, Effendy siapa?" tanyaku mencoba memastikan apakah yang dimaksud adalah Effendy kekasihku atau Effendi yang lain. "Effendy Sanjaya," jelasnya singkat. "Eh, iya ,Mbak. Saya kenal," jawabku sedikit gugup. Jantungku kini terasa mulai berdebar kencang bak usai lari maraton "Ada hubungan apa Mbak dengan suami saya?" "Suami?" gumamku. "Ya, Saya istri dari Mas Effendy Sanjaya." "Maaf, Mbak, Saya nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman." Aku mencoba menutupi segalanya. "Betul? Mbak Miranda nggak bohong 'kan?" tanyanya ragu-ragu. "Iya, Mbak. Mbak tenang aja," jawabku berusaha meyakinkannya. "Aku akan segera mengakhiri segalanya," lanjutku dalam hati. "Oke, omongan Mbak saya pegang. Akan tetapi tolong Mbak Miranda jauhi suami saya dan jangan pernah berhubungan dengannya lagi." "Baik, Mbak," jawabku sebelum telepon dimatikan secara sepihak tanpa salam. Sungguh perempuan ini tak ada sopan santunnya. Mengakhiri pembicaraan tanpa ucap dan salam. Betapa hancurnya hatiku mendengar kenyataan ini. Orang yang selama ini kucintai, ternyata sudah beristri. Aku tak tahu harus bagaimana. Apakah aku sanggup mengakhiri semuanya? Apakah aku sanggup mengubur cintaku padanya? Akan tetapi jika tak segera kuakhiri, aku pun tak ingin menjadi perusak rumah tangga Mas Effendy. Tak terasa mataku memanas, tak lama kemudian air bening nan hangat, mengalir membasahi pipi putihku. . . . "Mas, lebih baik kita akhiri hubungan kita ini," pungkasku to the poin saat bertemu dengan Mas Effendy di sebuah kafe yang ada di salah satu mall di Samarinda. Mas Efendy menghentikan makannya, menatapku tak percaya. "Aku ada salah apa, Dek? Kenapa kamu minta putus?" ujar Mas Effendy dengan wajah yang penuh penasaran. "Kamu sudah bohongi aku, Mas." Kini suaraku mulai bergetar. Rasanya seperti ada ribuan sembilu yang telah menusuk ulu hatiku "Aku berbohong tentang apa, Dek?" Mas Effendy masih dengan wajah penasarannya bertanya. Dia seperti tak sadar apa yamg telah diperbuatnya. 'Dasar lelaki tukang selingkuh.' "Kamu selama ini nggak pernah jujur kalau kamu sudah punya istri," cicitku, kini air tak berombak yang sedari tadi kutahan akhirnya pun mengalir, membasahi kedua pipiku. "Tau dari mana kamu, Dek?" Mas Effendy terkejut mendengar penuturanku. "Kamu nggak perlu tau, Mas. Yang jelas aku mau kita akhiri hubungan kita sekarang juga. Percuma hubungan ini kita lanjutkan. Aku nggak mau menjadi wanita perusak rumah tanggamu, Mas." Aku mulai terisak. Tak sanggup merasakan sakitnya hatiku. "Tapi aku sangat mencintaimu, Dek. Aku tak pernah mencintai istriku Devi. Aku menikah dengannya karena permintaan kedua orang tuaku. Kami dijodohkan, Dek. Hingga detik ini pun, perasaan cinta dan sayang itu nggak pernah tumbuh di dalam hatiku, Dek. Meskipun usia pernikahan kami sudah lebih dari empat tahun --" Mas Effendy berusaha menjelaskan. Namun bagiku semua itu terasa percuma. Mengkhianati sebuah hubungan dengan atas nama 'tak ada cinta dan sayang'. Sungguh alasan yang klasik. "Iya, tetap saja, Mas. Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah mau menikah denganmu. Karena aku nggak mau merebut kamu dari istrimu. Aku bukan pelakor, Mas!" Kini rasanya aku tak bisa menahan emosiku. Aku tak peduli jika banyak pasang mata yang menonton pertengkaran kami. "Aku akan ceraikan Devi!" ujarnya dingin. Lalu bangkit dari duduknya, meninggalkan aku sendiri. Aku terdiam terpaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, Aku sangat mencintai Mas Effendy. Akan tetapi di sisi lain, Aku tak ingin merusak rumah tangganya. Aku tak ingin menyakiti hati istrinya. . . . Sebulan setelah kejadian itu, Mas Efendy tak pernah menghubungiku ataupun datang menemuiku. Ada rasa rindu dalam hati ini. Aku tak boleh begini. Aku harus bisa bangkit dan melupakannya. Hari ini aku sengaja tak masuk kerja. Badanku terasa sedikit lemas dan panas. Mungkin karena kemarin aku kehujanan saat pulang dari kerja. Kalau sedang sakit begini, biasanya Mas Effendy selalu datang menjengukku, membawakan obat dan makan. Memaksaku makan, minum obat dan beristirahat. Ah, entah kenapa aku selalu teringat dia. Aku tahu, Aku salah karena telah mencintai suami orang. Terdengar pintu kamar kosku diketuk. "Siapa yang datang pagi-pagi begini," gumamku. Karena yang aku tahu semua penghuni kos pasti sudah pada berangkat kerja atau bahkan kuliah. Dengan menahan rasa sakit di kepala, Akupun berusaha bangkit dan membukakan pintu. "M-mas Efendy!" Aku sangat terkejut akan kedatangannya. Tanpa kata, ia menarikku ke dalam kamar. "Aku sudah bicara dengan Devi!" ujarnya dingin. Saat ini dia sudah duduk di single bad yang ada di kamarku. "Setelah aku menceraikannya, Aku akan menikahimu," lanjutnya lagi. Aku tersenyum sinis, "Enak betul kamu ngomong, Mas. Aku nggak mau. Aku memang mencintaimu. Tapi aku nggak mau jadi perusak rumah tanggamu, Mas. Aku nggak mau jadi ...," "Tapi aku sangat mencintaimu, Dek, dan aku tak ingin kehilangan kamu," potongnya yang berusaha meyakinkanku. "Setelah proses perceraian kami selesai, Aku akan segera melamarmu," lanjutnya dingin. "Aku nggak mau, Mas. Aku nggak mau menikah dengan pria pembohong seperti kamu!" ucapku sinis. Mas Efendy menatapku tajam. Mencengkeram bahuku dengan kuat. "Mas mau apa?" Kini aku sedikit takut, saat ia berusaha menciumku dengan paksa. "M-mas jangan. A-aku m-mohon." Aku terus berusaha menolak dan memohon agar ia tak merebut kesucianku. Mas Effendy yang sudah gelap mata terus saja melancarkan aksinya. Aku terus meronta dan menolak, namun apalah dayaku. Tenagaku tak sekuat tenaganya yang telah kalap. Aku kalah dan menyerah. Sehingga Mas Efendy pun dapat menyalurkan birahinya padaku dengan bebas. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya butiran air bening yang keluar, mewakili hatiku yang telah hancur. "Aku minta maaf, Dek. Aku janji akan segera menikahimu," ujarnya setelah ia berhasil merebut mahkota yang selama ini aku jaga. Aku hanya diam membisu, menahan rasa sakit di hatiku. Hanya butiran air bening yang keluar, mewakili hatiku yang telah hancur. Mas Effendy menghapus air mataku, mencium kedua mataku, kening dan bibirku. Lantas ia memeluk tubuhku yang tak mengenakan sehelai benang pun dengan erat. "Badanmu panas. Kamu sakit, Dek?" Ia kini melepaskan pelukannya dan memegang keningku. "Kamu sudah makan, Dek?" lanjutnya dengan raut wajah yang sangat khawatir. Aku hanya diam dan menggeleng. Mas Effendy pun bangkit, mengenakan pakaiannya dan berlalu pergi. .

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook