bc

Number Seven

book_age18+
49
FOLLOW
1K
READ
dark
goodgirl
badgirl
sensitive
brave
student
bxg
mystery
scary
campus
like
intro-logo
Blurb

Adisti merasa tertolong begitu mendapat pesan di ponselnya dengan bunyi, “Capek dengan pembully itu? Apa perlu bantuan? Unduh aplikasi ini dan biarkan orang-orang itu merasakan hukuman yang kau pilihkan untuk mereka.”

Setelah Adisti putus asa dan memutuskan untuk mengunduh aplikasi itu hidupanya berubah. Tidak tenang dan tidak bisa sendirian. Terus terbayang dengan apa yang dia lakukan.

Ketika memutuskan untuk berhenti, aplikasi itu harus dipindah tangankan setelah tujuh kali melakukan perintah. Jika sudah lebih tujuh kali dipaksakan untuk memenuhi perintah, Adisti sendiri yang akan menerima hukuman.

Apa aplikasi itu pantas melakukan itu? Bagaimana cara menghentikannya?

Entah, hanya penciptanya yang tahu.

chap-preview
Free preview
I: Kasus Bunuh Diri
I: Kasus Bunuh Diri Pagi itu, Adisti sedang mendengarkan lagu melalui earphone yang biasa ia gunakan. Adisti tersenyum kecil ketika menyapa beberapa orang yang kenal di daerah rumahnya. Adisti memang di kenal sebagai orang murah senyum dan baik hati. Adisti Pratiwi Yulandia. Gadis dengan umur dua puluh satu tahun yang bersekolah di salah satu fakultas favorite di daerah itu. Jurusan komunikasi yang tidak cukup terkenal di kampusnya. Dia hanya orang yang baik kepada semua orang. Nmaun, tidak smeua orang baik kepadanya. Entah, namun Adisti menikmati hidupnya sekarang. Saat Adisti masuk ke kampusnya, dia mengerutkan keningnya karena beberapa siswa lain usdah pada di sana sedangkan dirinya yang selalu datang paling awal kini seperti merasa paling terakhir datang dan mengetahui apa yang terjadi. “Ada apa?” tanya dia pada diri sendiri. Kemudian ada yang keluar dari kerumunan itu dan menarik Adisti untuk tidak melihatnya. Adisti menggeleng dan semakin penasaran pada apa yang sedang dan sudah terjadi ketika Adisti sampai di kampus ini. “Ada apa sebenarnya, Kak?” tanya Adisti. “Lo sebaiknya jangan liat dulu deh.” Kata orang yang menarik Adisti untuk keluar dari kerumunan orang – orang yang semakin banyak. Adisti menggeleng pelan, “gue harus tau dulu. Ada apa dan kenapa bisa terjadi.” Kata Adisti bersikeras untuk melihat apa yang sedang terjadi di sekolahnya., di kampusnya dan juga di tempat belajarnya selama setahun ini. “Dena.” Kata orang di depan Adisti itu menghentikan gerakan tangan Adisti yang meminta untuk di lepaskan, “Dena, dia bunuh diri di depan kelas lo.” Lanjutnya. Setelah mendengar kalimat itu, Adisti hanya melihat orang yang dipanggilnya kakak itu dengan tatapan kosongnya. Adisti benar – benar tidak menyangkanya. Adisti benar – benar harus memastikan bahwa itu adalah Dena. Saat orang yang dipanggil kakak itu lengah, Adisti benar – benar memasukkan tubuhnya ke kerumunan setelah melepaskan diri dari genggaman tangan orang yang tadi terus menerus menariknya untuk tidak melihat dan tidak meneruskan perjalanannya. Adisti hanya perlu satu hal. Dia ingin memastikan bahwa itu adalah Dena dan memastikan bahwa Dena memang bunuh diri. Karena ada alasan lain ketika Adisti harus memastikan bahwa Dena bunuh diri atau di bunuh. Ada alasan dimana Adisti tidak bisa mengakuinya sekarang. Alasan yang mungkin tidak masuk akal dan mungkin saja Adisti tidak tahu harus mulai dari mana tentang penjelasannya. Yang Adisti hanya inginkan adalah kepastiannya. Dimana Dena memang bunuh diri dengan keinginannya atau bahkan Dena diposisikan sebagai bunuh diri oleh seseorang yang membencinya. Banyak. Banyak orang yang mungkin bisa menjadi beberapa tersangka jika Dena adalah orang yang dibunuh. Bukan hanya Adisti yang menginginkan Dena terbunuh dan menyerah. Hanya saja, melihat dari kelakuan Dena tiap harinya, Dena memang pantas untuk dibunuh. Saat Adisti sampai di depan orang – orang yang bahkan hanya memotret tanpa meminta bantuan orang lain untuk menurunkan mayat Dena yang tergantung, mata Adisti benar – benar hampir keluar. Dena ada di sana. Tergantung dengan tali tambang yang entah di dapat dari mana dengan kursi yang terjungkal di bawah kakinya. Memang tampak seperti bunuh diri. Dena dengan baju kampus yang terakhir terlihat oleh Adisti kemarin, memang Dena yang itu. Pakaiannya hampir sobek dibeberapa tempat kemudian Dena terlihat sangat pasrah dan matanya sembab. Dena terlihat menangis sejadi – jadinya sebelum ‘bunuh diri’ itu. Tangan Dena terlohat ada beberapa goresan dan beberapa bagian bajunya terkoyak. Dena benar – benar diperlakukan sesuai dengan perilakunya selama masih hiudp. Bukan hanya Adisti yang beranggapan seperti itu. Bnayak orang yang dulu pernah mengenal Dena dan menjadi bahan untuk Dena tertawakan. Berbicara tentang kelaukan Dena semasa ia hidup, Dena adalah seorang pembully terkenal di kmapus itu. Sudah seharusnya lulus tahun ini namun nilainya tidak mencukupi. Selalu saja berbuat onar dan tidak bisa di kendalikan. Banyak orang yang sudah menjadi korbannya dan tentu saja mungkin sebagian banyak dari korban perpeloncoan yang dilakukan Dena puas karena Dena sudah mati sekarang. Sebenarnya, ada sedikit dalam hati Adisti merasa lega tentang Dena yang meninggal walaupun mungkin meninggalnya tidak sadar. Mata Adisti yang tadi menatap mayat Dena yang masih tergantung dengan keadaan sedikit terbuka dan telanjanang itu kini bergetar saat getaran ponsel di saku celananya merebut perhatian Adisti. Mengalihkan perhatiannya dari Dena ke ponselnya. Tangannya ikut bergetar. Adisti takut. Entahlah, namun sebenarnya kematian Dena ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Adisti yang masih tidak berani membuka ponsenya yang bergetar tanpa henti di sakunya. Tidak ada hubungan secara langsung dengan Adisti yang berada di hadapan Dena sekarang ini. Ketika tangannya baru saja ingin mengambil ponselnya yang berhenti bergetar di sakunya, tangannya yang bergetar juga itu ditarik oleh orang yang berhasil sampai ke tempat Adisti sekarang. “Kita harus pergi dari sini, Dis.” Kata orang itu.  Adisti menatap orang itu dengan tatapan yang tidak bisa di baca oleh orang itu, “Kak Rizal.” Kata Adisti  pelan kemudian menelan ludahnya. Yang dipanggil itu menatap Adisti lembut, “kita keluar dulu dari sini, Dis.” Ucapnya, “lo pasti jadi sasaran polisi nantinya.” Lanjutnya kemudian menarik paksa Adisti yang menurut edngan langkah pelannya. Ketika sudah di tempat yang aman, Rizal yang satu fakultas dengan Adisti kemudian mendudukkan Adisti di bangku kantin. “Gue beli minum dulu buat lo.” Ucap Rizal, “diem. Jangan kemana – mana.” Lanjutnya kemudian berdiri beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah orang yang berjualan air di dekat sana. Adisti dengan tangan gemetarnya merogoh saku celananya. Dengan ragu, dia memegang ponselnya yang sudah berhenti bergetar. Selanjutnya, ADisti membuka kunci dengan pola yang sudah ia terapkan. Ada beberapa, ah tidak, banyak notifikasi dari satu aplikasi yang sekarang sedang sering Adisti buka. Belakangan ini, Adisti sering membuka dan menutup aplikasi itu. Entah, namun rasanya menyenangkan ketika dia membuka dan merasa dia punya teman yang mengerti dirinya saat itu. Namun, sekarang bukan senyuman yang mengiringi jempolnya untuk menekan aplikasi berangka tujuh itu di ponselnya. Namun, rasa takut dan juga gemetar. Jantungnya seperti di pijat cepat dari dalam. “Bukankah kerjaku sebagus itu, Dis?” Itu adalah tulisan saat Adisti membuka aplikasi itu. Lalu Adisti menekan beberapa tombol lagi dan memperlihatkan foto – foto dimana ada Dena di dalamnya. Dena yang masih hidup. Dena yang tersenyum namun air matanya ada di pelupuk matanya. Luka di bagian tangan itu dibuat oleh cutter yang ada di dalm foto itu. Berlumur daraah. Ada satu video yang membuat Adisti penasaran. Namun, ketika Adisti akan menekannya Rizal datang dengan minumannya. “Tenangkan dirimu dulu.” Ucap Rizal pelan.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.5K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook