bc

Castilia Academy

book_age16+
1.3K
FOLLOW
4.3K
READ
dark
possessive
fairy
sweet
mystery
werewolves
vampire
magical world
witchcraft
school
like
intro-logo
Blurb

Sebuah anak panah melesat cepat ke arah seorang gadis tanpa dapat dicegah pemuda itu, anak panah itu menggores lengan kiri sang gadis membuat luka sayatan menganga di sana. Sang gadis membuka matanya, ia meringis sambil memegangi lengannya yang terkena panah, bermaksud menutupi lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi.

"Kau tak apa?" tanya pemuda itu masih melempari bola api dari tangannya.

"Aku ... tak apa," kata sang gadis sambil merintih.

"Awas!" seru pemuda itu saat melihat sebuah anak panah meluncur ke arah sang gadis yang saat ini terduduk di tanah. Gadis itu hanya mampu menutup matanya rapat, saat anak panah itu mengarah padanya.

chap-preview
Free preview
Akhir yang Berujung Awal
Menatap jalanan dengan rasa sesak yang dalam, Maggie berusaha ikhlas. Kepergian orang tuanya memukul telak hatinya, menjatuhkannya ke jurang kegelapan. Rasa kehilangan masih menyelimuti, tapi ia harus bangkit. Kini ia akan pergi menjauh, meninggalkan kota kelahirannya. Menemukan kehidupan baru di tempat baru, itulah tujuannya saat ini. Ketika taksi berhenti tepat di depan gerbang academy, Maggie turun dan mengambil kopernya. Taksi berjalan menggilas jalanan dari tanah, meninggalkan kepulan debu di belakangnya. Sesaat, Maggie menatap gerbang dengan perasaan hampa, tujuannya telah hilang, pergi tak akan kembali lagi. Selepas mengembuskan napas panjang, Maggie mengetuk—menggedor lebih tepatnya—gerbang yang menjulang tinggi, perlahan sisi sebelah kanan gerbang terbuka menampilkan seorang penjaga academy tengah menatapnya penuh selidik. "Maaf, ada perlu apa?" tanyanya sang penjaga sambil membawa tombak di tangan, bersiap menghunuskan ke Maggie kapan saja ia mau. "Aku ingin bertemu dengan Miss Anne, apakah dia ada?" Suara yang keluar dari mulut Maggie serak, menandakan ia terlalu banyak menangis. "Miss Anne ada di dalam, mari saya antar," jawab penjaga. Tombak di tangan kini dalam posisi netral, ia kemudian membuka gerbang sedikit lebih lebar agak gadis itu bisa masuk. Maggie menyeret koper itu mengikuti langkah penjaga, pandangannya menyapu area academy. Bangunan tiga lantai, dengan asrama di bagian yang lain. Ruangan-ruangan untuk latihan tampak saat Maggie menyusuri lorong menuju ruang Miss Anne. Saat keduanya sampai di tempat tujuan, sang penjaga berhenti diikuti Maggie. Maggie memandang lama ruangan di hadapannya dalam diam. "Masuklah, beliau di dalam," kata penjaga yang kemudian pamit untuk melanjutkan tugas. Maggie mengetuk pintu ruang kepala dewan, menanti jawaban dari dalam. Dengan hati berdebar, harap-harap cemas menanti respons seseorang di dalam ruangan. "Masuk." Pintu terbuka perlahan, tampak wanita usia kepala tiga tengah sibuk dengan beberapa berkas di tangannya. Wanita itu mendongak, menatap seorang gadis di ambang pintu. Matanya memincing, berusaha mengingat siapa gadis itu. Sebuah pekikan lolos dari mulut wanita itu ketika ia teringat. "Maggie! Kaukah itu?" tanyanya memastikan. "Benar, Tan." Maggie mengusap lengan kanannya, agak canggung juga bertemu dengan tantenya setelah sekian lama. "Kemarilah," kata Miss Anne, menyuruh Maggie mengikutinya ke sofa di samping meja kerja. Sebuah pelukan hangat melingkupi tubuh itu dengan sayang, sudah lama mereka tidak berjumpa. Rasa senang sekaligus sedih hinggap di hati kedua orang itu, menyadari seseorang yang berharga bagi mereka telah pergi dan tak bisa dicegah lagi. Takdir sudah berjalan, mereka hanya mampu menjalani sesuai peran mereka masing-masing. "Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya Miss Anne sambil membelai rambut cokelat Maggie. "Kacau, bahkan lebih buruk dari itu." Maggie memaksakan senyumnya. "Tenang, Dear, masih ada Tante. Kamu akan aman bersama Tante. Kita memang tidak bisa melupakan mereka, tapi kita harus ikhlas. Kamu juga harus bahagia, agar orang tua kamu ikut bahagia." "Terima kasih." Ia mengembuskan napas pelan melihat respons tantenya. "Tante, sebelum mama pergi, mama bilang ada amanah untuk Tante. Mama bilang aku harus pergi ke Castilia Academy untuk bertemu Tante." Maggie berhenti, berusaha menguatkan hati. Miss Anne tahu Maggie masih terpukul, terlihat dari pancaran matanya. Kesedihan masih pekat di sana. Dielusnya punggung Maggie, menenangkan. "Mama bilang, Tante harus bilang yang sejujurnya sama Maggie." Miss Anne diam, sementara Maggie mengamati. Menghela napas panjang, Miss Anne akan bicara. Menurutnya ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Miss Anne menelisik ke dalam mata Maggie, di sana hanya ada kesedihan dan rasa penasaran. Baiklah ini saatnya. "Apa kamu kuat? Ini akan panjang." Maggie mengangguk mantap. Walau ia remuk redam, kebenaran yang sudah terpendam lama harus diungkap bukan? Maggie ingin mendengarnya, persetan dengan konsekuensi yang diterimanya nanti. "Apa kamu tahu ini sekolah apa, Maggie?" Miss Anne kebingungan ingin memulai dari mana. Semua sama-sama penting, dan pastinya akan membuat Maggie terkejut juga tidak percaya. "Ini sekolah sihir, di sini semua siswa dan guru yang mengajar memiliki kekuatan. Mereka semua penyihir, termasuk Tante." Miss Anne berhenti sejenak, menilai raut wajah Maggie yang masih diam. "Apa kamu tidak percaya sihir, Dear?" Maggie kaku, tidak sanggup merespons. Mungkin terlalu terkejut. Paham arti tatapan Maggie, Miss Anne menggerakkan tangan ke arah kertas yang ada di meja kerjanya. Maggie terbelalak, ia melihat sihir. Pandangannya teralih pada sosok Miss Anne. "Kamu percaya?" Maggie mengangguk perlahan. Kalau ini tipuan, Maggie tetap akan mengangguk. "Kedua orang tuamu sebenarnya juga seorang penyihir. David dan Emily adalah dua orang yang dulu disegani di sini, tapi mereka memilih kehidupan seperti manusia kebanyakan. Mereka memikirkan anak mereka yang akan terkena bahaya jika mereka masih menetap di sini." Pandangan Miss Anne menerawang jauh, mengingat masa lalu. Wanita itu seolah dibawa berkelana ke waktu kakaknya masih ada di sana. "Dulu Kak Emily adalah Ketua Dewan Academy, tapi semenjak memiliki kamu, ia berhenti. Mereka berdua menghilang, bersembunyi untuk sementara waktu. Sampai dirasa semua telah aman." Miss Anne menghela napas berat, mengingat kenangan tentang orang tersayang. "Beberapa tahun berlalu terasa damai, hingga Argus datang menyerang rumah kalian. David dan Kak Emily lengah saat itu hingga perlindungan mereka melemah. Saat itu juga Argus datang menyerang, membunuh mereka berdua. Argus sebenarnya juga akan membunuhmu, tapi di detik terakhir Emily mengeluarkan partnernya untuk melindungimu." Maggie bergeming, dadanya kembali sesak mengingat kejadian mengerikan itu terjadi di depan matanya. "Apa kau melihat singa putih saat Argus akan menyerangmu?" tanya Miss Anne. "Ya," jawab Maggie parau, berusaha menahan gemuruh air mata yang siap meluncur. "Itu adalah partnernya, karena kalung Crystal tidak ada. Singa putih hanya mampu melindungimu tanpa bisa melawan musuh, keberadaannya hanya sekedar menyelamatkan sesuatu yang berharga menurut pemiliknya." Pertahanan Maggie bobol, air matanya sudah menerobos keluar sedari tadi. Papa dan mama mempertaruhkan nyawa untuknya, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terisak pelan, mengingat wajah orang tuanya. Miss Anne menenangkan Maggie, mencoba menguatkan walau nyatanya itu tidak membantu banyak. "Apa mau diteruskan?" tanyanya. Maggie mengangguk sambil menghapus air matanya. Sudah kepalang basah, sekalian saja ini semua terbongkar. "Ini terakhir, sebenarnya kamu juga penyihir, Maggie. Suka tidak suka itulah kenyataannya, Tante harap kamu bisa menerima ini. Jika kamu mau, kamu bisa bersekolah di sini," tawar Miss Anne. "Terima kasih.” Maggie menghambur ke pelukan Miss Anne, pelukan ini juga hangat, tapi lebih hangat milik mamanya. Dielusnya rambut Maggie dengan rasa sesak memenuhi rongga d**a, mengapa keluarganya harus mengalami ini? "Jadi, kamu mau sekolah di sini?" Sekali lagi Miss Anne bertanya. "Iya, Tante, Maggie tidak mau jauh dari Tante." Jelas, Miss Anne sekarang adalah keluarga satu-satunya. Dan, Maggie tidak ingin wanita itu hilang dari pandangannya. "Maggie sudah tahu, kekuatan apa yang Maggie punya?" Miss Anne mengalihkan pembicaraan. Maggie menggeleng. "Belum, Tan, memang bagaimana caranya agar Maggie tahu?" "Dulu mama kamu pengendali element, kemungkinan kamu juga," pikir Miss Anne. "Element? Apa itu?" "Sihir element adalah sihir yang menggunakan alam sebagai kekuatan. Sihir dasarnya ada lima, ada air, api, tanah, udara dan roh. Kebanyakan orang hanya memiliki satu sihir element, hanya segelintir orang yang mempunyai dua sihir element dan mereka berada di kelas tingkat atas," terang Miss Anne. "Bolehkah aku tahu, mama punya sihir element apa saja?" Maggie penasaran, penasaran dengan semua kehidupan orang tuanya di academy selama ini. Bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka membangun academy sebesar ini. "Mama kamu punya dua kalau tidak salah, sepertinya air dan udara." Miss Anne tampak mengingat. "Ya, benar, mama kamu pengendali air dan udara," jawabnya yakin. "Aku bisa mencobanya? Aku ingin melindungi Tante." Mendengar perkataan Maggie membuat d**a wanita itu menghangat. "Besok saja, sekarang Tante antar ke kamar asrama kamu. Ini sudah sore, ayo," ajak Miss Anne. Dengan berat hati Maggie mengikuti langkah Miss Anne menuju asrama tempatnya akan tinggal. Pa, ma, Maggie sudah pulang. Kalian tenang saja di sana.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.2K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

A Secret Proposal

read
376.4K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook