bc

Independent Wife

book_age16+
274
FOLLOW
2.2K
READ
HE
heir/heiress
blue collar
sweet
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

"Suami lo begitu lembut memperlakukan lo, tapi malah lo-nya yang begitu keras sama diri sendiri."

Devira bergumam.

"Suami lo begitu penyayang, tapi malah lo-nya yang enggak sayang sama diri sendiri."

Devira menatap ke arah Zenna. "Lo bisa diam nggak?!"

"Dunia enggak sejahat itu, Dev. Buktinya dunia mengirimkan Mas Arsa yang jadi pasangan lo."

chap-preview
Free preview
?First?
Sudut Pandang Devira  "Devira enggak punya siapa-siapa lagi selain Papa. Mama dan Kakak satu-satunya sudah meninggal akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu." Papa menarik napas berat. "Anak itu juga sulit untuk mencari pasangan. Kamu tahu sendiri kan, waktunya full dia gunakan buat kerja." Papa menatap ke arah Mas Arsa dengan tatapan pias. "Sa, umur Papa udah tua. Papa udah sakit-sakitan. Kalau Papa meninggal, Devira enggak ada yang jaga." Begitu mendengar pembicaraan Papa dengan Mas Arsa, hatiku langsung terguncang. Seharusnya Papa enggak usah mengkhawatirkan aku, aku bisa jaga diri sendiri. Seharusnya Papa lebih lebih fokus pada penyembuhan penyakitnya aja, bukan fokus memikirkan aku. Aku selama ini berusaha untuk jadi perempuan yang mandiri. "Arsa akan terus jaga Vira, Pah. Dia adik ipar Arsa." "Bukan sebagai adik ipar. Kalau kamu berkenan, Papa lebih tenang kalau kamu dan Devira menikah." Aku terpaku di tempat. Masih belum menyangka Papa meminta Mas Arsa yang notabenya sebagai Kakak iparku-lebih tepatnya mantan Kakak ipar -untuk menikah denganku. Selama ini, aku sama sekali enggak kepikiran untuk menikah. Di kepalaku hanya memikirkan cara mengejar karir dan uang. Enggak pernah sekalipun terlintas di kepalaku tentang rencana menikah, apalagi sama mantan Kakak iparku sendiri. Dua bulan setelahnya, kondisi Papa semakin memburuk dan akhirnya berakhir dengan duka. Papa meninggal dunia dan kata terakhir yang dia katakan persis seperti tempo lalu, dia akan lebih tenang jika aku dan Mas Arsa menikah. "Adek," Mas Arsa memberikan aku secangkir teh hangat, "diminum dulu. Kamu dari kemarin belum minum, belum makan." Aku hanya bergumam kemudian Mas Arsa menyentuh tanganku. "Masih kepikiran kata-kata Papa?" Aku mengangguk sambil meliriknya dengan tatapan kosong. "Jujur aja, aku enggak mau menikah. Pernikahan enggak ada didaftar keinginan yang mau aku realisasikan, tapi kalau Papa menginginkan itu. Aku bingung juga." Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mataku. "Selama ini aku jarang banget menuruti permintaan Papa. Keinginannya selalu bertolak belakang dengan keinginan aku. Aku yang keras kepala seringkali mendahulukan keinginanku daripada keinginan orang lain, termasuk Papa." Mas Arsa mengangguk pelan, seolah dia paham dengan apa yang aku sampaikan. "Kalau kamu enggak bersedia, fine. Enggak apa-apa Dek." Aku menarik napasku panjang kemudian menatap kedua matanya lekat. "Mas Arsa mau nikah sama aku? Kita enggak saling cinta." "Memang, tapi perihal cinta, cinta akan tumbuh sendirinya. Mas bersedia mengikuti keinginan Papa, Mas bersedia menikahi kamu karena sampai saat ini Mas juga belum memiliki calon." Aku mengigit bibir dalamku. "Aku sifatnya beda sama Kak Danina, meskipun kami adik kakak. Aku enggak selembut dia. Aku keras kepala." "Memang. Mas tahu." "Kalau tipe istri Mas Arsa seperti Kak Danina, berarti aku enggak masuk. Aku bukan tipe Mas Arsa banget." "Adek," dia tersenyum kecil, "meskipun kita jarang berinteraksi intensif, Mas tahu sifat kamu. Kita kenal enggak satu ataupun dua tahun." Aku mengusap keningku yang mulai berdenyut-denyut kemudian kembali menatap ke arahnya. "Aku kerjanya di luar rumah, setiap hari harus ke kantor, sedangkan Mas Arsa bisa bekerja dimana aja. Dirumah pun bisa." "Ya, lalu?" "Kalau Mas Arsa nyuruh aku resign biar kita sama-sama bekerja di rumah. Sorry, aku enggak mau. Meskipun sebenarnya bisa, tapi aku enggak mau. Aku lebih suka bekerja dengan orang lain, bekerja di kantor, bersama-sama daripada bekerja di rumah cuma di depan laptop." "Ya, lantas?" "Kalau Mas Arsa enggak menghalangi aku buat berkarir. Aku bisa bertimbangkan lagi rencana pernikahan kita." "Iya, dengar sini," Mas Arsa menarik kursi lebih dekat denganku, "dari awal enggak ada yang menghalangi kamu berkarir. I know, kamu pekerja keras dan wanita yang mandiri." "Intinya? Boleh kan?" "Ya. Asal bisa menyeimbangkan peran sebagai istri dan wanita karir." Aku mengangguk. Enggak berat. Kayanya bisa aku mengambil peran ganda itu. "Oh ya, umur Mas udah enggak muda lagi. Jika kita menikah nanti, Mas enggak mau menunda punya anak. Jika kamu hamil nanti, enggak ada kompromi, kamu harus cuti kerja. Bisa kan?" Napasku seketika tercekat. Belum juga menikah, dia usah bahas tentang anak. Kayanya ininya nih yang berat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook