bc

Diary Last Page

book_age18+
182
FOLLOW
1.6K
READ
campus
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

cerita khusus diatas usia 18+

mohon bijak membaca⚠️

Vilien Geisy Wilson, lahir dari keluarga terpandang dan terhormat. Hidupnya sempurna dan menyenangkan pada awalnya. Cantik, cerdas dan berbakat. Namun, setelah lulus dari sekolah menengah barulah dia mengerti mengapa dirinya dituntut untuk sempurna. “Biarlah angin yang membawaku ke tempat yang tepat,”

chap-preview
Free preview
Keputusan Sepihak
Halaman luas beralas rumput hijau yang biasa hanya berberapa mahasiswa yang melalui, hari ini penuh dengan lautan mahasiswa berjubah sama, memakai topi hitam dengan tali yang menggantung dibagian sisi wajah. Wajah kebahagian pun terpancar dari masing-masing. Tampak riuh dengan emosional masing-masing keluarga yang ikut berada di area itu. Sorak serempak sambil melempar topi hitam ke atas lalu menangkap kembali setelah mengabadikan gambar masing-masing kelas. Ketika semua menghampiri orang tua atau kerabat mereka, hanya satu gadis yang berdiri seorang diri menatap lautan kebahagian itu sambil tersenyum kecil. Masih berdiam diri dengan satu tangan memegang gulungan kertas dan sertifikat, berharap salah satu keluarga berdiri di depannya mengucap ‘selamat’ tapi itu hanya harapan kosong. Dia sangat tahu hari bahagianya ini sang ayah tidak akan datang karena tentu saja lebih mementingkan pertemuan dengan para koleganya. Sedangkan kakak perempuan satu-satunya juga berada di luar negeri menempuh pendidikan. Vilien Geisy Wilson. Gadis berusia dua puluh dua tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1. Putri kedua dari pengusaha properti ternama di London. Meski berasal dari keluarga terpandang yang dihormati seluruh kalangan, Vilien tetap menjadi gadis sederhana dan rendah hati. Lama berdiri Vilien lantas berbalik sambil menyeka sudut matanya yang berair agar tidak jatuh. Akan lebih baik dirinya menyingkir dari tempat ini, dirinya bukan anak lain yang mendapat perhatian dari orang tua. Berkali-kali harus menyadarkan diri tentang keadaannya ini. Baru saja membuka satu lebar kaki, suara keras mampu membuat Vilien mendelik membeku. “Vilien! Dimana kau!” teriaknya keras dan memang menggunakan pengeras suara. “Tolong menyingkirlah!” Kembali menggema dan terdengar sedikit kesal. Sedikit riuh juga karena sahutan sekitar. Sedangkan Vilien mulai mengedarkan pandangan kesana ke mari mencari sumber suara. “Tolong bukakan jalan pria ini! Siapa pun yang berada di dekat Vilien, cepat!” seru seorang pria yang berbeda menggunakan pengeras suara. Semua yang berada di sekitar Vilien menepi dan diikuti yang lain. Membelah seperti satu lurus dan tampaklah seorang pria memakai kemeja berwarna putih dengan tiga kancing atas terlepas. Lengkap dengan celana kain hitam, sepatu mengkilap dan membawa buket bunga yang sangat besar. Satu lagi, corong pengeras suara di satu tangan yang lain. Sontak semua melotot menganga melihat pria itu mulai berjalan santai menuju ke arah Vilien yang berdiri sambil melipat kedua tangan pun menatap pria itu dengan senyum. “Em. Selamat! Untuk gadisku,” ucapnya dengan senyum tampan dan netra biru yang berbinar. Senyum dan bahagia tidak lagi bisa Vilien bendung. Segera memeluk pria itu dengan erat pun disaksikan oleh semua orang yang masih melongo, terbengong dan penuh kagum. “Ryo, kau datang,” ucap Vilien pelan pun sedikit serak. “Kau senang,uh?” sahut Ryo tengil. “Tentu bodoh!” maki Vilien. “Huh!” ekspresi serempak ratusan orang sekitar seperti teriakkan untuk keduanya. Ryo mendongak sambil menyapukan pandangan yang masih menatapnya heran. “Gadisku,” ucapnya pada semua orang. Vilien terkekeh rendah hingga membuat Ryo mengerutkan dahi heran. Setelahnya menarik pria itu pergi agar fokus semua orang kembali pada kewarasannya. “Ada apa dengan mereka?” tanya Ryo masih tidak mengerti, sembari mengikuti tarikan Vilien. “Tentu saja karena kau,” sahut Vilien. Lalu masuk begitu saja ke dalam mobil Ryo yang terparkir di tengah halaman. Halaman yang tidak seharusnya ada kendaraan boleh masuk sekalipun hanya sepedah. “Aku?” masih linglung. “Aku tampan dan gagah. Tidak ada yang salah sepertinya,” ucapnya penuh percaya diri di depan spion yang berada di atas. “Baiklah tuan muda Auston yang tampan dan gagah perkasa, mari kita pergi!” seru Vilien. Sabarnya setipis tisu mengahadapi sahabatnya satu ini. Tampan, cerdas tapi sedikit bagian lambat berpikir tentang hal begini. “Em. Ya! Aku memang tampan. Kau selalu berkata jujur,” ucap Ryo sambil menghidupkan mesin dan mulai menjalankan mobil meninggalkan tempat. Sedangkan Vilien menghadap jendela dengan ekspresi seperti mau muntah. Bagaimana tidak membuat orang membeku. Ryo Exander Auston, pria berusia dua puluh enam tahun yang merupakan putra sulung dari perpaduan keluarga hebat dan mengerikan. Cucu dari pemilik sekolah privat yang super megah dan tersembunyi. Kakek buyutnya selalu harum dikalangan atas. Tahta bisnis yang tidak pernah longsor diterpa badai. Berawal dari turnamen besar yang diadakan tiga tahun lalu, dan Vilien sebagai peserta terpilih paling muda mewakili kampus di bidang memanah, berkuda, dan bela diri. Kemampuannya yang berhasil melumpuhkan lawan membuat seorang Ryo kagum. Lebih tertarik saat pertemuan keduanya dengan Vilien yang menjadi bagian pengisi acara pesta pertemuan para pebisnis. Jari-jari lentiknya memainkan Piano dengan indah mampu menghipnotis. Meski tanpa satu orang pun tahu jika kelebihan Vilien sedang digunakan ayahnya untuk menarik para kolega agar mau bekerja sama. Semua itu sudah berlaku sejak Vilien berusia empat belas tahun. “Aku ingin menikmati hidup tanpa batas waktu yang ditentukan. Aku iri pada mereka yang bahagia dengan waktu terbaiknya,” celetuk Vilien tanpa mengalihkan pandangan pada lautan yang lampu malam. “Apa yang kau inginkan?” tanya Ryo pun dengan pandangan sama sambil mengunyah makanan. Keduanya kini berada di sebuah pondok kayu sederhana tapi dipenuhi barang-barang mewah di dalamnya. Duduk bersila di atas lantai ubin yang berada di bagian balkon terbuka. “Pergi dan pulang tanpa harus ada waktu yang membuatku terpaksa pulang,” jawabnya. “Aku telah mengirimkan pesan kepada ayahmu jika kau bersamaku. Nikmatilah selama aku ada di sini,” sahut Ryo santai sambil mengunyah tentu saja. Tersenyum kecut. “Aku tidak berbeda dengan alat tukar, bukan?” ucapnya terdengar miris. “Kau bukan alat tukar,” sahut Ryo cepat. “Ayahmu memintaku untuk menikahimu satu minggu lalu,” “Kau menerimanya?” “Aku tidak tahu semua hal yang menyangkut cinta atau sebangsa itu. Tapi, jika kau mau akan aku nikahi.” Ungkapnya. “Aku tidak pernah merasakan apa pun kepadamu. Aku nyaman, terlindungi saat bersamu. Bahkan aku tidak merasakan apa pun ketika kau dikabarkan dekat dengan wanita,” ungkap Vilien. “Bagiku, kau berada di posisi sama dengan adikku. Tapi, jika kau menginginkan tempat lebih atas akan ku siapkan pena untuk kita,” papar Ryo. “Aku menganggapmu kakak. Apa itu menyakitimu?” tanya Vilien memastikan. “Kita sama-sama kosong. Akan lebih mudah. Tapi aku hanya ingin menjadi adikmu saja, aku hanya takut nanti saling menyakiti saat sama-sama dipertemukan dengan orang yang benar-benar diinginkan,” imbuh Vilien lagi. “Banyaknya drama hidup di masa lalu membuatku takut menjalin hubungan,” Ryo menatap Vilien lembut pun senyum kecil. “Aku akan menikah setelah kau benar-benar menemukan pria yang tepat.” Ungkapan itu sontak mendorong Vilien memeluk Ryo. Benarkah dirinya beruntung menjadi bagian terpenting pria dalam peluknya? Pria yang tertutup, keras, dan dingin. Bukan hal mudah bisa sedekat ini dengan keluarga Auston bahkan duduk satu lantai. “Kau menangis? Menjijikkan sekali,” ejek Ryo. Menarik diri lalu menumbuk d**a Ryo pelan. “Sialan kau!” makinya kesal. “Tertarik pergi ke Dragon light, nona?” tawar Ryo sambil memainkan alis naik turun. Wajah cemberut berubah dengan senyum tengil, “sialan! Tentu saja mau,” serunya. Keduanya beranjak dari pondok itu, lalu menuju ke sebuah area balap. Area balap mematikan yang telah dipegang oleh keluarganya sejak puluhan tahun lalu. Tempat mustahil yang jatuh di tangan neneknya. Vilien menghirup dalam udara malam yang jarang sekali bisa dia nikmati. Andai dirinya tidak memiliki sahabat seperti Ryo, tidak akan mungkin dirinya bisa menikmati dunia liar. Sampai di tempat dan memarkirkan mobil, keduanya segera bergegas menuju lantai atas yang hanya boleh di tempati oleh anggota keluarga. Ramai, riuh, padat manusia yang berada di bawah semakin membuat nuansa malam panas. “Aku ingin mencoba,” celetuk Vilien. “Tidak boleh.” Sambar Ryo ketus. “Kenapa? Hanya balapan biasa,” “Biasa? Kau tau dari mana?” menghela nafas sejenak. “Asal kau tahu. Siapa pun yang berada di sana, mereka sudah siap mati.” Ryo menekankan kalimatnya sontak Vilien menelan saliva susah payah. “Mereka sudah bosan hidup?” tanya Vilien masih dengan mimik penuh hati-hati. “Itulah kesenangan beberapa manusia,” jelas Ryo singkat lalu berdiri mencondongkan sedikit kepala ke luar pembatas besi. “Bibi! Ibu! Kalian harus menang!” teriak Ryo begitu melihat dua wanita tercinta turun ke lapangan dengan keren. Berdiri dan bersorak penuh dukungan. “Benarkah itu ibu dan bibimu?” tanya Vilien yang telah berada di samping Ryo. Melongo tak percaya, bahkan kedua bola mata seakan ingin lepas dari tempatnya. Wanita yang jarang diketahui oleh publik itu masih sangat cantik, enerjik, dan tidak terlihat jika dua wanita itu telah memiliki anak bujang yang matang. Semakin takjub dan susah meneguk saliva setelah mobil-mobil melaju dengan kecepatan kencang. Suara tembakan, besi yang terbanting nyaring, ledakkan, derum mesin dengan berbagai suara tak wajar, semua yang terjadi di area membuat Vilien bergetar. Keringat dingin mengucur dari celah pori-porinya pun kedua kaki lemas. Tapi pandangannya terus mengikuti dua mobil yang di tumpangi bibi dan ibu Ryo. Hebat. Itu lah yang ada dalam benak Vilien. “Wanitaku! Wohooo!” Ryo bersorak heboh. Bersiul keras dan berteriak kegirangan setelah dua wanita tercintanya selesai di garis terakhir tanpa lecek sedikitpun. Melirik jam sudah sangat larut dan ia harus mengantarkan gadis di sampingnya pulang. “Mengerikan,” celetuk Vilien dari jok samping kemudi tanpa menoleh ke arah Ryo. “Dua nenekku lebih menakjubkan.” Ryo mengutarakan dengan bangga. “Apa!” teriak Vilien. Masih fokus ke arah depan tapi wajahnya tercetak jelas kaget. “Para tetua keluargaku sangat mengerikan, jika kau ingin tahu.” “Aku sempat mendengar tapi tidak percaya. Tapi malam ini, semua terbukti nyata.” “Para suami membiarkan mereka karena memang itu yang membuat bahagia,” Setelah melambaikan tangan Vilien meninggalkan teras dan mendorong pintu besar. Sunyi dan gelap begitu ia memasuki. “Aku senang kau bisa mangambil hati pewaris tambang berlian itu!” Suara yang menggema di ruang tengah yang gelap membuat langkah Vilien terhenti. Wajah bahagia berubah datar, memutar tubuh ke arah sofa tunggal yang berada di sudut ruangan. “Maaf telat, Ayah.” Vilien menunduk menatap lantai dingin. “Kau tidak pulang saja tidak mengapa, nak. Asal dengan pria itu,” sahutnya penuh lembut. “Bolehkah aku masuk kamar?” tanya Vilien. “Tentu. Istirahatlah!” Vilien segera meninggalkan tempat. Tidak adakah orang tuanya sendiri menyayangi sedikit saja dengan tulus tanpa harus ada alasan? Kenyataannya tidak. Ayahnya hanya peduli dengan bisnis. Sembari menaiki anak tangga air mata Vilien tak berhenti jatuh. Ini bukan yang pertama, tapi yang kesekian kali. Semua tentang hidupnya harus menerima keputusan sepihak, setuju atau tidak, mau atau tidak, harus mengikuti apa yang dikehendaki sang ayah. Tidak adil bukan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.6K
bc

My Secret Little Wife

read
95.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook