bc

Tenggelam Bersama Wanita Simpanan

book_age16+
2.2K
FOLLOW
10.7K
READ
goodgirl
confident
inspirational
drama
sweet
office/work place
spiritual
affair
polygamy
lawyer
like
intro-logo
Blurb

Ketangguhan Alya sebagai istri pelaut kembali diuji. Saat anaknya menjalani operasi hernia, nomor ponsel tak dikenal mengiriminya gambar lelaki dan perempuan di kamar hotel. Sosok pria dengan senyum merekah itu tak lain adalah Wildan, suaminya. Rupanya Wildan telah melangsungkan pernikahan diam-diam bersama Nely, janda anak dua yang dikenal Wildan di klub mobil.

Circle pertemanan Alya yang positif mengarahkannya agar menjadikan syariat sebagai landasan menyelesaikan ujian rumah tangga, tak hanya mengikuti perasaan. Perempuan berkulit kuning langsat itu sampai memastikan apakah pernikahan suaminya sah atau batil.

Tak hanya itu, ia juga berusaha membongkar sosok Nely yang sebenarnya demi membuka kesadaran sang suami. Pemahaman Alya tentang perceraian yang akan berdampak pada kondisi psikologis Rohim dan Rheza, menjadikannya sekuat tenaga mempertahankan pernikahan.

Berhasilkah Alya? Bagaimana akhir kehidupan mereka?

chap-preview
Free preview
1. Mendadak Operasai
Sebagai istri seseorang yang bekerja di kapal, ketangguhanku sekali lagi diuji. Rheza, anak laki-lakiku divonis hernia sejak usia tiga bulan. Kini dia harus dilarikan ke rumah sakit. Balita yang belum genap berusia dua tahun ini menangis begitu kencang dalam gendongan. Ususnya turun ke buah zakar. Sehingga salah satu bagian organ reproduksi itu membesar. Biasanya saat hernianya kambuh, Rheza kugendong dan kuayun hingga posisi kepala di bawah. Setelah itu kupijat area di bawah perutnya agar ususnya kembali naik ke rongga perut, tetapi kali ini upaya itu tidak berhasil. Rheza tetap menjerit dan menangis. Hingga tetanggaku datang menghampiri. “Segera dibawa ke rumah sakit saja Bu Alya, khawatir ususnya terjepit. Sebelum terlambat,” saran mereka. Di sinilah aku sekarang–di bangku tunggu–menanti Rheza selesai dioperasi. Aku sendirian tanpa ditemani suami. Sebab Mas Wildan belum giliran libur. Hari ini kapal dijadwalkan tiba di pelabuhan. Kucoba menghubungi ponsel Mas Wildan. Namun, hanya operator yang menjawab. Aneh, harusnya sekarang sudah ada sinyal karena jadwal kapal sudah saatnya berlabuh. Dalam situasi normal, biasanya aku menunggu beberapa jam lagi untuk menghubungi Mas Wildan. Sebab, kadang memang ada keterlambatan jadwal akibat cuaca di tengah laut yang kurang bersahabat. Kedatangan kapal pun bisa molor dari waktu yang telah ditentukan. Karena sekarang kondisinya genting, kuputuskan untuk menghubungi Mila, temanku yang suaminya juga bekerja sekapal dengan Mas Wildan. Setelah nada panggilan ke empat, barulah telepon diangkat. Selepas mengucap salam, aku langsung bertanya kepadanya, “Mil, kapalnya belum nyampe, ya? Aku telepon suamiku hapenya enggak aktif terus.” “Kapal sudah nyampe dari Subuh tadi, Say. Aku sudah nelepon Mas Dhimas sampe kupingku panas.” Sontak jantungku berdetak lebih kencang mendengar jawaban Mila. Apa? Kapal sudah nyampe Subuh? Sementara sekarang sudah Isya, mengapa Mas Wildan belum memberi kabar?              “Hm … tolong tanyakan ke suamimu ya, Mil. Mas Wildan kenapa enggak aktif hapenya. Kali aja rusak atau gimana gitu.” “Oke, Say. Tunggu sebentar, ya. Ntar kutelepon balik.” “Oke, trims, ya.” Sambil menunggu kabar dari Mila, kucoba lagi menghubungi ponsel Mas Wildan. Dia harus tahu jika anaknya sedang dioperasi. Beberapa bulan ini kami sudah riwa-riwi ke dokter spesialis bedah anak, menjadwalkan operasi hernia secepatnya. Namun, rencana operasi berulang kali diundur karena kondisi Rheza yang belum mendukung. Terkadang Rheza batuk dan pilek. Setelah sembuh, eh berikutnya gantian berat badannya yang kurang. Anakku memang sulit gemuk. Sakit hernia yang dideritanya membuat dia sering menangis ketika kambuh. Alhasil, energinya banyak terbuang karena kesakitan. Kucoba lagi menghubungi Mas Wildan. Alhamdulillah kali ini teleponnya tersambung. Mas, ayo angkat teleponnya, Mas! Begitu Mas Wildan mengucap salam, aku segera bicara. “Mas … cepet pulang, Mas! Rheza masuk rumah sakit.” “Loh, Rheza kenapa?” Kutangkap ada kepanikan dalam suaranya. “Dioperasi karena ususnya kejepit.” “Baik, aku pulang sekarang.” “Mas sekarang di mana?” Belum dijawab pertanyaanku itu, panggilan telepon keburu ditutup. Tak lama kemudian ponselku berbunyi lagi. Panggilan dari Mila. “Kata suamiku Pak Wildan lagi enggak di kapal, Say. Sudah turun sejak tadi sore setelah bongkar muatan selesai.” “Ya Mil, sudah bisa kuhubungi barusan.” “Ada apa? Tumben kamu panik banget.” “Enggak pa-pa, Mil. Ini anakku sakit.” “Sakit apa?” “Hernianya kambuh. Ini lagi dioperasi.” “Ya ampun … semoga lancar ya, operasinya! Besok pas longgar aku jenguk.” “Enggak perlu Mil, rumahmu jauh. Operasi kecil saja kok. Makasih perhatiannya.” Kucegah Mila untuk datang, sebab kami tinggal di kota yang berbeda. Sidoarjo–Nganjuk, masih butuh waktu lebih dari dua jam untuk menempuhnya. Sejam kemudian, tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor yang belum kusimpan. Kuklik nomor asing tersebut. Foto profilnya sudah membuatku memicingkan mata. Laki-laki dan perempuan memakai kaus couple warna hitam dengan tulisan warna putih. Wajah laki-laki itu sangat kukenal. Ya, betul ini Mas Wildan. Lantas perempuan ini siapa? Tanganku gemetar melihat foto profil itu. Belum lagi gambar yang dikirim. Foto itu masih buram. Harus kuklik dulu agar ter-download sempurna. Sekian detik kemudian barulah gambar itu terlihat jelas. Mereka berdua selfie di atas ranjang. Dari model furnitur dan ornamen yang tertangkap kamera, mereka tampaknya berada di sebuah kamar hotel mewah. Tubuh keduanya ditutup selimut tebal warna putih. Senyum Mas Wildan dan perempuan itu merekah. Gawaiku langsung meluncur dari genggaman, terjatuh di pangkuan. Kedua tanganku mengepal. Air mata seketika tumpah tak tertahan. Bisa-bisanya kamu enak-enakkan sama perempuan lain, Mas. Sementara aku tiap malam terjaga menenangkan Rheza saat hernianya kambuh. Segera kuseka buliran bening yang menyembul dari kedua netra. Aku tak ingin menangis untuk masalah ini. Terlalu berharga air mataku jika tumpah untuk mereka. Namun, tetap saja buliran bening ini terus menganak sungai. Hingga Ibu dan Mbak Cahya–kakak perempuanku–datang menghampiri. “Alya, gimana kondisi Rheza?” tanya Ibu tampak cemas. “Masih belum selesai operasinya, Buk. Mungkin sebentar lagi. Nanti akan dipanggil jika sudah selesai.” “Sudah Nduk, jangan nangis terus kayak gini.” Tangan keriput itu menepuk-nepuk perlahan pundakku.  “Pasrah saja sama Gusti Allah. Dokter juga akan melakukan yang terbaik buat Rheza. Mudah-mudahan lancar operasinya. Biar enggak kambuh lagi hernianya.” Sambil mengambil posisi duduk di samping kananku, Ibu terus berusaha menghiburku. Ibu pikir, aku menangis karena Rheza dioperasi. Padahal karena ayahnya Rheza layak dikebiri. “Wildan sudah tahu kalo anaknya operasi sekarang?” tanya Mbak Cahya. “Sudah, Mbak. Ini lagi perjalanan pulang.” Benar-benar panjang umur suamiku itu. Baru saja namanya disebut, kini sosoknya terlihat keluar dari lift. Kuamati Mas Wildan yang melangkah ke arah kami. Laki-laki ini memang terlihat makin menawan. Lihatlah alisnya yang tebal. Juga rambut dan cambangnya yang dirapikan dengan model terkini. Namun, mata ini langsung terpejam begitu membayangkan dia telah menyentuh perempuan lain. Sehingga kepalaku menggeleng-geleng dibuatnya. Tahan emosimu Alya. Tahan! Ini rumah sakit. Begitu sampai di hadapanku, laki-laki berjaket cokelat itu mengangsurkan tangannya untuk kucium seperti biasa. Aku menatapnya tanpa berkata-kata. “Aku pilih naik pesawat ini tadi. Kebetulan ada penerbangan. Biar bisa segera lihat Rheza,” jelas Mas Wildan. Dia seolah memberi penjelasan atas pandanganku yang mengintimidasinya. Padahal, bukan hal itu yang ingin kudengar. “Keluarga Anak Rheza!” panggil perawat yang muncul dari balik pintu ruang pemulihan pasca operasi. “Ya, Mbak!” Aku segera berdiri diikuti Ibu dan Mas Wildan. “Anak Rheza sudah selesai operasinya, tapi sekarang belum sadar. Silakan salah satu anggota keluarga menunggu di dalam!” Mas Wildan meminta untuk melihat Rheza terlebih dahulu. Kemudian disusul Ibu dan Mbak Cahya secara bergantian. Setelah itu, barulah aku masuk. Kususuri ranjang pasien yang berjejer, hingga kudapati wajah anakku di sana. Tubuhnya masih terbungkus baju pasien warna hijau muda. Di hidungnya ada alat bantu penyuplai oksigen. Kubuka kain yang menutupi raga mungil itu. Ada perban di bagian bawah perut sebelah kirinya, kira-kira sepanjang sepuluh sentimeter. Aku pandangi lekat wajahnya. Wajah selucu ini, ternyata tak cukup mengalihkan hasrat bapaknya dari pesona perempuan di luar sana. Apa yang harus bunda lakukan sekarang, Nak? Apakah memisahkanmu dari seorang ayah yang telah berkhianat adalah pilihan tepat? Kuraih tangan mungilnya. Lalu kuhujani kecupan. Bahuku terguncang oleh isakan. Tiba-tiba, kurasakan tangan seseorang memegang dan memijit bahuku pelan. Rasanya begitu nyaman. “Dik, kamu istirahat saja dulu. Ibu ingin gantiin jaga Rheza.” Perhatian Mas Wildan masih sama, tetapi kali ini aku merasa muak dibuatnya. Dengan berat hati kutinggalkan Rheza. Kemudian mengikuti langkah Mas Wildan hingga kami keluar dari ruang pemulihan. “Dik, kamu belum makan, ya? Ayo kita cari makan di kantin!” “Aku enggak lapar, Mas!” “Jangan begitu. Nanti kalo kamu sakit siapa yang bakal jagain anak-anak?” “Oh, jadi bagimu keberadaanku hanya seperti baby sitter sekarang?” Suaraku meninggi. Emosiku mulai tak terkendali. “Kok ngomong gitu?” “Enggak apa-apa. Lupakan! Ayo kita cari makan!” Hampir saja aku tak bisa mengendalikan amarah. Kutenangkan jantungku yang berdetak lebih cepat. Aku ingin tahu sampai kapan Mas Wildan bersandiwara di depanku. Sementara perempuan itu sudah tak tahan ingin menunjukkan permainannya. Kantin rumah sakit cukup lengang. Bangku-bangkunya banyak yang tak bertuan. Hanya ada dua orang lelaki duduk di pojokan. Mas Wildan langsung memesan makanan. Sementara aku menuju kursi di dekat jendela. Lalu terdengar bunyi notifikasi pesan masuk secara beruntun. Siapa mengirim pesan sebanyak ini? Setelah kucek, ternyata perempuan itu lagi. Kali ini dia mengirim 25 buah foto. Kuklik tanda plus di antara gambar yang tertindih itu. Kini, setiap gambar seolah mengejekku. Oh, rupanya mereka telah mengunjungi banyak tempat. Luar biasa. Jadi, sudah berapa lama mereka bermain di belakangku? Siapa perempuan yang telah menaklukkanmu itu, Mas?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook